Menakar Harga Kejujuran

Oleh : Refdinal Castera*)

SAAT ini sedang terjadi masalah serius dengan kejujuran. Ibarat penyakit, kondisi harga diri telah mencapai stadium 3, dan perlu penanganan serius. Tentunya dengan harapan, agar sosok kejujuran itu bisa sehat dan pulih seperti sedia kala kembali.

Kenapa kejujuran itu telah menjadi barang mahal harganya, sehingga sulit untuk diperoleh dan ditegakkan untuk suatu keadilan? Apakah kejujuran itu tidak diperlukan lagi untuk mengelola negeri yang cukup besar ini? Semua itu artinya, negeri kita ini sedang tidak baik-baik saja.

Sebenarnya apa hakikat dari kejujuran itu sendiri? Kenapa sungguh begitu sulitnya ditegakkan di negeri ini?

Ada yang mengatakan kejujuran itu sesuai perkataan atau lisan dengan perbuatan. Segala sesuatu itu apa adanya, tidak dilebihkan dan tidak pula dikurangi. Kejujuran adalah sifat lurus hati yang tercermin dalam perkataan, perbuatan, dan niat yang sesuai dengan kenyataan.

Hakikatnya kejujuran itu melekat pada diri setiap orang dan harus menjadi miliknya. Seperti jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap keluarga. Jujur terhadap lingkungan masyarakat. Jujur dalam lingkungan pekerjaan. Dan jujur terhadap negara, nusa, agama serta bangsa.

Becermin kepada yang terjadi saat ini, kejujuran itu seperti tergerus oleh keadaan sehingga tidak jelas sosoknya. Kita merasa susah untuk mendapatkan rasa dan harga dari suatu kejujuran. Ibarat suatu produk telah mahal harganya sehingga susah untuk dibeli dan didapatkan. Akibatnya terjadilah yang namanya dekadensi atau kemerosotan harga suatu kejujuran.

Jika harga kejujuran telah tergerus itu terus dibiarkan, tidak cepat diatasi, bakal berpengaruh dan merusak berbagai sendi kehidupan. Dapat merusak norma, etika, adab, moral, karakter, institusi, dan estetika yang telah ada selama ini.

Salah satu contoh pudarnya kejujuran, seorang dengan begitu mudahnya menggelengkan kepala mengatakan tidak. Sekalipun yang digelengkan itu tidak sesuai dengan hati nurani atau isi hatinya. Mengatakan iya atau benar, sekali pun itu bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya.

Sehingga hipokrit atau istilah untuk orang yang suka berpura-pura memiliki moral, tak sesuai ucapan dengan tindakan. Sepertinya mulai merajalela dalam tindak pernyataan atau perkataan, bukan lagi merasa sesuatu hal yang tabu jika dilakukan.

Dan kemunafikan menjadi dagelan atau barang tontonan yang murah untuk didapatkan. Tidak lagi merasa risih, malu jika kelihatan oleh orang lain. Berkurangnya harga suatu kejujuran, mulai menjamur seperti cendawan tumbuh diawal musim penghujan.

Pada hakikatnya kejujuran itu harus menjadi milik setiap orang. Menjadi milik diri sendiri, milik keluarga, milik masyarakat, milik bangsa, dan milik negeri ini. Karena tegak-berdiri kokohnya suatu negara dan bangsa, tidak lepas dari harga serta nilai kejujuran bangsa itu sendiri.

Lalu, tegak dan berdiri kokohnya kejujuran tersebut, tentu tidak lepas dari peranan segenap pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada. Artinya kejujuran itu akan punya nilai, jika kejujuran  tersebut dihargai dan dijunjung tinggi.  

Ketika kejujuran itu telah punya nilai, dijadikan supremasi hukum tertinggi dalam kehidupan, munculah rasa keadilan. Timbul rasa saling percaya mempercayai, dan hormati menghormati. Tidak ada rasa saling dusta mendustai, curiga mencurigai, meremehkan orang lain dan menganggap rendah orang lain.

Kejujuran itu memang suatu yang hakiki, merupakan milik, kewajiban dan tanggungjawab setiap orang. Kita tidak bisa membayangkan dan memprediksi yang bakal terjadi, jika harga dan rasa kejujuran semakin tergerus dan hilang di negeri ini.

Rasa dan harga kejujuran telah dikesampingkan, disepelekan atau tidak lagi diperlukan. Tentu yang bakal terjadilah adalah hukum rimba. Yang besar menindas yang kecil. Yang kuat menindas yang lemah. Yang kaya menindas yang miskin. Yang pintar memperalat yang bodoh. Teruslah bodoh jangan pintar, dengan tujuan agar bisa disuruh dan diatur.

Sebaliknya, rasa khawatir hilangnya kejujuran tersebut tidak akan terjadi jika kita semua satu niat dan sepakat. Seayun selangkah, satu arah, satu tujuan dalam setiap ucapan dan tindak perbuatan. Baik untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat, berbangsa, agama, bernegara dan bangsa.

Sehingga dalam aktivitas keseharian, tidak lagi bercampur antara hipokrit dengan kemunafikan. Jadi orang yang pandai berpura-pura, berupa-rupa sehingga keseharian telah berubah menjadi bunglon. Bisa merubah warna kulit dimana dirinya berada dan dalam lingkungan diinginkan.

Sehingga jika timbul pertanyaan, berapa harganya suatu kejujuran dan bagaimana cara menakar kejujuran itu? Jawabannya ada pada sewaktu orang itu bisa menghargai dan menghormati kaidah alur dan patut-sesuai dengan aturan yang berlaku.

Sepanjang orang itu tidak melanggar atau menabrak etika, tatakrama, norma yang ada serta aturan adat istiadat. Selagi kejujuran itu dijunjung tinggi, dihargai, dimiliki, dijadikan supremasi hukum, dan ada dalam setiap orang.

Sebaliknya, jika kejujuran telah pupus dalam diri, tidak lagi menjadi suatu. percayalah hukum tabur tuai tentu bakal datang dengan sendirinya. Maka tuai dan petiklah, apa yang ditaburkan atau ditanam selama ini. Baik itu untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat ataupun dalam pekerjaan telah dilakukan selama ini.

Jiika tidak dari sekarang mulainya, kapan lagi? Jika tidak memulainya dari diri sendiri, kita tunggu siapa lagi. Hidup manusia itu tidaklah lama. Jaraknya ibarat antara azan dan iqamah. [].

Penulis alumni Universitas Negeri Padang. Tulisan berupa artikel, esai, opini, puisi, cerpen telah diterbitkan di koran Haluan, Singgalang, Semangat, Padang Ekspres, Mingguan Canang, Fokus Sumbar dan koran ibu kota Sinar Pagi Minggu, Majalah Ceria dan Majalah Sahabat Pena. Buku telah terbit seperti: Ensiklopedi Penulis Indonesia, Meniti Buih Menerobos Tantangan (novel), Antologi Pemenang Lomba Cipta Puisi FAM Indonesia, 500 Kata Mutiara Inspiratif, Satu Huruf di Mesin Tik (novel).*)

Exit mobile version