Buruknya Komunikasi Pejabat di Ruang Publik

Oleh : Dr. M.A Dalmenda M.Si*)

Terminologi buruk yang sering digunakan oleh pejabat publik ketika berkomunikasi di ruang publik. Penggunaan bahasa yang tepat dan santun sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat, menghindari kesalahpahaman, dan membangun citra positif pemerintah.

Komunikasi pejabat publik di ruang publik memiliki peran krusial dalam membentuk opini publik, membangun kepercayaan, dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Namun, penggunaan terminologi yang buruk dapat merusak upaya-upaya tersebut.

Terminologi buruk dapat mencakup bahasa yang kasar, merendahkan, diskriminatif, ambigu, atau menyesatkan yang berunjung terjadinya konflik di tengah masyarakat.

Terminologi buruk yang menyentak terkesan meremehkan rakyat baru saja terjadi dilancarkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dihadapan sejumlah awak media usai dilantik Presiden Prabowo.

Wartawan menanyakan  soal 17+8 tuntutan rakayat saat unjuk rasa. Katanya, “Saya belum mempelajari itu (tuntutan 17+8), tapi basically begini, itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa, mungkin sebagian merasa keganggu, hidupnya masih kurang ya. Saya ciptakan pertumbuhan ekonomi  6-7 persen, itu akan hilang  dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo…”

Sementara Presiden Parabowo dilain kesempatan menyatakan bahwa tuntutan rakyat 17+8 itu adalah hal yang masuk akal dan hal-hal lain dapat dibicarakan. Kontradiktif tentunya, antara Purbaya dengan Presiden Prabowo.

Narasi blunder yang dilontarkan Purbaya mengisyarakan dan bahkan mempertegas kearogansian dia sebagai pejabat baru saja dilantik sebagai Menteri Keuangan Kabinet Merah Putih. Respon negatif dituainya bersileweran di media sosial, hujatan dan dan bahkan caci maki netizen yang terbendung karena dianggap meremehkan rakyat atas perjuangannya dan kondisi kekinian.

Terminologi yang digunakan oleh Purbaya Adalah Generalisasi yang Berlebihan dan Eufemisme yang Menyesatkan. Generalisasi yang Berlebihan, yaitu membuat generalisasi yang berlebihan atau tidak akurat tentang suatu kelompok atau situasi.

Generalisasi yang berlebihan (bahasa Inggris: hasty generalization atau overgeneralization) adalah sesat pikir informal yang terjadi ketika seseorang menarik kesimpulan tentang seluruh populasi atau kelompok berdasarkan sampel yang terlalu kecil atau tidak representatif.

Dengan kata lain, seseorang membuat pernyataan yang terlalu luas dan tidak didukung oleh bukti yang memadai. Ini seringkali terjadi karena malas berpikir, prasangka, atau kurangnya informasi yang relevan.

Eufemisme, yang secara harfiah berarti “berbicara dengan baik,” adalah penggantian ekspresi yang dianggap ofensif, vulgar, atau tidak menyenangkan dengan ekspresi yang lebih halus atau tidak langsung. Namun, ketika eufemisme digunakan secara tidak tepat atau dengan sengaja, mereka dapat menjadi alat untuk menutupi kebenaran, memanipulasi opini publik, dan menghindari tanggung jawab.

Garis antara penggunaan eufemisme yang bijaksana dan penggunaan eufemisme yang menyesatkan seringkali tipis. Ketika eufemisme digunakan untuk menyembunyikan kebenaran yang tidak menyenangkan atau untuk mempromosikan agenda tertentu, mereka dapat menjadi alat yang sangat berbahaya.

Berapapa dampak terminologi buruk. Penggunaan terminologi buruk oleh pejabat publik dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, antara lain:

1. Kehilangan Kepercayaan Publik: Masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada pejabat publik dan pemerintah jika mereka menggunakan bahasa yang tidak jujur, merendahkan, atau diskriminatif.

2.Meningkatkan Polarisasi: Terminologi buruk dapat memperburuk polarisasi dan konflik sosial dengan memicu kemarahan, kebencian, atau permusuhan antar kelompok.

3. Menghambat Komunikasi yang Efektif: Bahasa yang ambigu, tidak jelas, atau kasar dapat menghambat komunikasi yang efektif dan menyebabkan kesalahpahaman.

4.Merusak Citra Pemerintah: Penggunaan terminologi buruk dapat merusak citra pemerintah dan negara di mata masyarakat domestik maupun internasional.

5. Memicu Reaksi Negatif di Media Sosial: Di era media sosial, terminologi buruk dapat dengan cepat menyebar dan memicu reaksi negatif dari masyarakat, yang dapat merusak reputasi pejabat publik dan pemerintah.

Selaras apa yang disampaikan oleh Guru besar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Prof. Dr. Gun Gun Heriyanto, M.Si dalam suatu dialog secara online bertemakan “Tantangan dan Persoalan Komunikasi Publik Kita” yang digelar ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) Pusat menyampaikan kritik dan keprihatinannya terhadap banyak terjadi dipelbagai tempat begitu buruknya komunikasi pejabat publik ketika tampil di ruang publik.

Senafas dengan itu juga ditegaskan pula dalam ungkapan keprihatinan oleh Guru Besar Komunikasi dan Dekan FIKOM Unpad Bandung yang notabene Ketua Umum ISKI Pusat, Prof. Dr. Dadang Rahmat Hidayat. M.Si

Penggunaan terminologi yang buruk oleh pejabat publik dalam bekomunikasi di ruang publik dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kepercayaan masyarakat, polarisasi sosial, citra dan reputasi pemerintah.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan pejabat publik dalam menggunakan bahasa yang tepat, santun, dan inklusif. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, diharapkan pejabat publik dapat berkomunikasi secara efektif dan membangun hubungan yang positif dengan masyarakat agar tak terjadi kegaduhan dan kericuhan.[]

Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik, Sekretaris Magister Komunikasi Fisip Unand*)

Exit mobile version