Belajar dari Bali: Mencegah Krisis Iklim dan Banjir Bandang di Sumatera Barat

Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si.*)

Banjir besar yang melanda Bali pada September 2025 adalah pengingat betapa rapuhnya kita di hadapan krisis iklim. Data BMKG mencatat curah hujan ekstrem mencapai 385,5 mm di Jembrana dan 188,4 mm di Denpasar dalam satu hari.

Angka ini jauh melampaui batas “ekstrem” yang ditetapkan, yakni 150 mm/hari. Banjir itu menghancurkan rumah, merusak infrastruktur, melumpuhkan aktivitas pariwisata, dan meninggalkan trauma bagi masyarakat.

Sumatera Barat, dengan kondisi geografis yang mirip—pegunungan Bukit Barisan, banyak sungai, serta lahan pertanian dan pemukiman di lereng—sebenarnya memiliki potensi kerentanan yang sama besar. Perbedaan utamanya hanya waktu.

Jika kita tidak bersiap, maka banjir bandang seperti di Bali bisa saja terjadi di Sumbar dalam skala yang tak kalah dahsyat.

Krisis Iklim Nyata, Bukan Sekadar Alarm

Kita sering menganggap bencana sebagai peristiwa musiman. Padahal, pola hujan ekstrem di berbagai wilayah menunjukkan bahwa ini adalah gejala krisis iklim. Hujan deras turun lebih sering, intensitasnya semakin tinggi, dan datang tanpa pola yang jelas. Sumbar, dengan curah hujan rata-rata tahunan di atas 3.000 mm, jelas sangat rentan.

Laporan IPCC menegaskan bahwa Asia Tenggara akan menghadapi peningkatan intensitas hujan ekstrem. Jika Bali sudah merasakannya, maka Sumatera Barat tinggal menunggu giliran jika tidak ada perubahan tata kelola lingkungan.

Lembah Anai: Bukti Nyata di Sumbar

Kita tidak perlu menunggu contoh dari luar daerah. Tahun lalu, banjir bandang Lembah Anai menerjang Kabupaten Tanah Datar dan sekitarnya. Air bah bercampur material kayu dan batu menutup jalan utama Padang–Bukittinggi, menghanyutkan rumah, serta menelan korban jiwa.

Peristiwa itu menunjukkan bahwa Sumbar sudah merasakan dampak nyata krisis iklim. Lereng gundul, curah hujan ekstrem, dan lemahnya perlindungan kawasan hulu berpadu menjadi bencana besar. Jika pengalaman pahit ini tidak dijadikan pelajaran, maka kejadian serupa hanya tinggal menunggu waktu di lokasi lain.

Kerentanan Sumatera Barat

Topografi curam Bukit Barisan membuat Sumbar rentan longsor dan banjir bandang. Ketika hujan lebat turun, air langsung meluncur ke hilir. Lereng yang gundul akibat alih fungsi hutan membuat daya serap berkurang drastis. Sungai-sungai kecil yang bermuara ke Batang Anai, Batang Arau, atau Batang Sinamar bisa meluap dalam hitungan jam.

Di sisi lain, kota-kota di Sumbar seperti Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh menghadapi masalah klasik: drainase sempit dan sering tersumbat sampah. Jika hujan ekstrem terjadi seperti di Bali, bukan tidak mungkin jalan protokol tergenang, rumah terendam, dan aktivitas ekonomi lumpuh.

Jangan Ulangi Kesalahan Bali

Salah satu pelajaran dari Bali adalah pembangunan pariwisata yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Hotel, vila, dan destinasi wisata dibangun cepat, tapi infrastruktur hijau dan drainase tidak diperkuat. Akibatnya, hujan deras langsung berubah menjadi banjir besar.

Sumatera Barat juga sedang gencar mengembangkan wisata alam baru: air terjun, lembah, danau, hingga spot pendakian. Jika pembangunan ini dilakukan tanpa memperhatikan tata ruang ekologis, maka potensi bencana hanya menunggu waktu. Jangan sampai destinasi yang kita banggakan justru menjadi titik rawan banjir bandang.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk mencegah skenario Bali terulang di Sumatera Barat, ada tiga langkah mendesak:

  1. Perlindungan Kawasan Hulu

Hutan dan daerah tangkapan air harus dijaga. Reboisasi di hulu sungai menjadi prioritas agar lereng kuat menahan hujan ekstrem.

  1. Modernisasi Drainase Perkotaan

Kota-kota di Sumbar perlu sistem drainase yang sesuai dengan standar iklim baru. Data BMKG jelas menunjukkan curah hujan ekstrem bisa terjadi kapan saja.

  1. Wisata Berkelanjutan

Semua pengembangan destinasi alam harus memasukkan analisis risiko bencana. Tanpa ini, pariwisata hanya akan menambah kerentanan.

Bali sudah membayar mahal akibat krisis iklim yang nyata di depan mata. Sumatera Barat pernah merasakan hal serupa melalui banjir bandang Lembah Anai tahun lalu. Kini waktunya belajar dan bersiap agar peristiwa tragis itu tidak terulang di daerah lain.

Menjaga tata ruang, memperkuat infrastruktur hijau, dan membangun wisata berkelanjutan adalah langkah kunci agar Sumbar tidak bernasib sama. Pada akhirnya, ini bukan hanya soal menjaga tanah Minang, tetapi juga komitmen kita bersama terhadap SDGs 13: Penanganan Perubahan Iklim. Alam sudah memberi peringatan, tinggal kita mau belajar atau mengulang kesalahan yang sama.

Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.*)

Exit mobile version