ANTARA HARAPAN DAN KECEMASAN (Tinjauan Psikologis Catatan Refleksi Pasca Bencana Alam di Sumbar, Sumut, dan Aceh)

Oleh : Idal, M.Pd.*)

Bencana alam datang tanpa mengetuk pintu. Ia hadir tiba-tiba, mengubah ritme hidup yang sebelumnya tenang menjadi luka kolektif bagi setiap makhluk.

Dalam beberapa minggu terakhir, tepatnya tanggal 27 November 2025 wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh disapu banjir, longsor, dan galodo yang merusak rumah, fasilitas umum, serta merenggut ratusan korban jiwa.

Di balik tumpukan puing, lumpur, dan tangis kehilangan, terdapat satu sisi lain dari bencana yang tak selalu terlihat ditinjau dari psikologis.

Manusia bukan hanya makhluk fisik; kita juga makhluk emosional. Saat bencana terjadi, tubuh merasakan guncangan, tetapi jiwa pun merasakan retakan.

Dalam masa pemulihan, dua perasaan kerap hadir bersamaan “Antara harapan dan kecemasan”. Kedua emosi ini menjadi dinamika yang menentukan bagaimana seseorang mampu bangkit atau justru terperosok dalam trauma berkepanjangan.

Luka yang Tak Terlihat

Pasca bencana, banyak orang tampak kuat dan tabah. Namun, di balik senyum tipis mereka, tersimpan ketegangan batin yang tidak mudah terlihat.

Secara psikologis, mereka yang terpapar bencana berpotensi mengalami luka yang tak terlihat atau taruma, di antaranya adalah:

  1. Trauma dan Gangguan Stres Akut
    Dalam ilmu psikologi, trauma muncul ketika seseorang mengalami kejadian ekstrem yang mengancam keselamatan diri atau orang lain. Ciri-cirinya meliputi: sulit tidur, mimpi buruk, mudah terkejut, dan muncul gambaran berulang tentang peristiwa bencana.

Bagi korban banjir bandang atau galodo, suara hujan ringan saja bisa memicu ketakutan mendalam. Mereka takut sejarah buruk terulang.

  1. Kecemasan Akan Masa Depan
    Rumah dapat dibangun kembali, namun rasa aman dan cemas jauh lebih sulit dipulihkan. Kekhawatiran-kekhawatiran muncul secara tiba-tiba.
    Bagaimana besok saya hidup?
    Apakah bencana akan datang lagi?
    Bisakah anak-anak belajar seperti biasa? dll.

Kecemasan ini wajar. Dalam psikologi, kejadian ekstrem mengganggu kontrol diri dan persepsi atas dunia yang aman. Ketidakpastian memperbesar rasa takut.

  1. Duka yang Tak Sempat Ditangisi
    Sebagian keluarga kehilangan anggota keluarga, ternak, atau sumber penghidupan. Duka seperti ini membutuhkan proses, tetapi dalam situasi bencana, banyak orang tidak punya ruang untuk menangis; mereka harus segera bangkit demi bertahan hidup.

Kekuatan Harapan adalah Modal Psikologis untuk Bangkit

Meski diliputi kecemasan, masyarakat Indonesia memiliki ketangguhan sosial dan spiritual luar biasa. Di tengah reruntuhan, selalu ada cerita tentang solidaritas, doa bersama, gotong royong, dan keinginan untuk memulai kembali.

Dalam psikologi positif, harapan adalah modal resiliensi. Ia bukan sekadar perasaan optimis, tetapi keyakinan bahwa masa depan bisa diperbaiki melalui usaha, diantaranya adalah:

  1. Spirit Religius Masyarakat Sumatera

Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh identik wilayah dengan tradisi keagamaan yang kuat. Keimanan memberikan makna terhadap peristiwa, sehingga membantu korban melalui dua mekanisme utama:

coping spiritual, yaitu menggunakan doa dan ibadah sebagai penguat mental,

meaning making, yaitu kemampuan menafsirkan musibat sebagai ujian, bukan hukuman.

Makna membantu seseorang meredakan kecemasan yang tak terkontrol.

  1. Dukungan Sosial yang Tinggi

Gotong royong adalah obat psikologis ampuh. Kehadiran relawan, tetangga, dan keluarga menumbuhkan perasaan “tidak sendirian.” Secara ilmiah, dukungan sosial terbukti: menurunkan hormon stres kortisol, membantu seseorang mengambil keputusan rasional, dan meningkatkan kecepatan pemulihan emosional.

Ketika masyarakat saling menguatkan, harapan tumbuh lebih cepat daripada rasa takut.

  1. Pemulihan Ekonomi dan Infrastruktur

Harapan juga lahir ketika masyarakat melihat adanya tindakan nyata: bantuan logistik, hunian sementara, perbaikan fasilitas pendidikan, dan upaya pemerintah memperbaiki sistem mitigasi.

Langkah-langkah ini memberi kepastian bahwa kehidupan akan kembali stabil.

Pertarungan Sunyi

Pasca bencana, psikologi korban berada di wilayah abu-abu. Mereka ingin kembali hidup normal, tetapi kenangan tentang air bah, gemuruh longsor, dan jeritan minta tolong masih membekas.

Di titik inilah terjadi ketegangan emosional, yaitu harapan dan kecemasan.

  1. Harapan Mendorong untuk Bergerak
    Mereka ingin memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, kembali bekerja, dan menata masa depan. Harapan membuat korban berani melangkah meskipun kondisi belum sepenuhnya pulih.
  2. Kecemasan Menarik Kembali ke Belakang
    Namun, setiap hujan lebat membuat jantung berdebar. Setiap informasi peringatan dini menimbulkan ketakutan. Sebagian korban memilih tetap berjaga sepanjang malam karena merasa tidak aman.

Pertarungan ini sangat manusiawi. Tidak ada cara instan untuk menghapus ketakutan, tetapi ia bisa dikelola melalui edukasi kebencanaan, pendampingan psikologis, dan rutinitas yang kembali stabil.

Menumbuhkan Cahaya dari Reruntuhan

Bencana di Sumbar, Sumut, dan Aceh telah meninggalkan luka mendalam. Namun, di balik air mata dan ketakutan, kita juga melihat ketangguhan, kerja sama, dan kekuatan spiritual yang luar biasa. Di sinilah kita memahami bahwa manusia tidak hanya ditakdirkan untuk jatuh, tetapi juga untuk bangkit.

Harapan dan kecemasan memang berjalan berdampingan, tetapi selama masyarakat terus saling menggenggam, selama doa-doa digantungkan ke langit, selama usaha tidak berhenti, maka harapan akan selalu menang.

Membangun kembali rumah mungkin memakan waktu berbulan-bulan. Tetapi membangun kembali hati membutuhkan sentuhan yang lebih halus: empati, ilmu, dan kebersamaan.

Semoga dengan memahami dimensi psikologis ini, kita mampu mendampingi para penyintas dengan lebih manusiawi dan bersama-sama menata masa depan yang lebih tangguh. []

Guru SMPN 18 Padang dan Dosen DLB UIN Imam Bonjol Padang*)

Exit mobile version