Zakat dan Pajak

الزكاة و الضريبة

Oleh : Gusfahmi Arifin, SE., MA., MM.*)

  1. Pajak dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 74.499 kata, 325.345 suku kata, 604 halaman, terdapat kata ‘pajak’ sebagai terjemahan kata Jizyah dalam QS. At-Taubah [9]:29:

قَٰتِلُواْٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلۡحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. At Taubah [9]:29).

  • Rasulullah  dan Umar Bin Khattab RA Memungut Jizyah (Pajak)

عَنْ عَمْرٍو عَنْ بَجَالَةَ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ لَمْ يَكُنْ عُمَرُ أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ

Dari Amr dari Bajalah ia berkata; aku mendengarnya berkata; “Umar tidak pernah mengambil Jizyah (pajak) dari orang-orang Majusi hingga Abdurrahman bin ‘Auf bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ mengambilnya (Jizyah) dari orang-orang Majusi Hajar.” (HR. Darimi no. 2501).

  • Rasulullah  Mengangkat Khalid Bin Al Walid sebagai Petugas Jizyah (Pajak)

حدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَى أُكَيْدِرِ دُومَةَ فَأُخِذَ فَأَتَوْهُ بِهِ فَحَقَنَ لَهُ دَمَهُ وَصَالَحَهُ عَلَى الْجِزْيَةِ 

Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Abdul ‘Azhim, telah menceritakan kepada kami Sahl bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Zaidah, dari Muhammad bin Ishaq dari ‘Ashim bin Umar, dari Anas bin Malik, dan dari Utsman bin Abu Sulaiman, bahwa Nabi ﷺ telah mengirimkan Khalid bin Al Walid ke Ukaidir Dumah, kemudian ia ditangkap, lalu mereka membawanya kepada beliau. Kemudian beliau memampatkan darahnya dan berdamai dengan syarat ia memberikan Jizyah (Pajak). (HR. Abu Daud No. 2641 – Dalam kitab terjemahan Sunan Abu Daud, Muhammad Nashiruddin Al Albani hadits no. 3037 halaman 416).

  • Rasulullah  Mengangkat Mu’adz bin Jabal Sebagai Petugas Zakat dan Jizyah (Pajak) ke Yaman

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْلَى وَهُوَ ابْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ مَسْرُوقٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَا قَالَ مُعَاذٌ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ بَقَرَةً ثَنِيَّةً وَمِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ تَبِيعًا وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Ya’la bin ‘Ubaid dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Syaqiq dari Masruq dan Al A’masy dari Ibrahim mereka berdua berkata; Mu’adz berkata; “Rasulullah ﷺ mengutusku ke negeri Yaman, lalu beliau memerintahku untuk mengambil dari setiap empat puluh ekor sapi – zakatnya – seekor anak sapi betina berumur dua tahun lebih, dari setiap tiga puluh ekor sapi – zakatnya – seekor sapi jantan yang berumur setahun lebih, serta dari setiap orang yang baligh diambil (Jizyah) satu dinar atau yang sebanding dengan nilai pakaian dari Yaman.” (HR. Nasa’i no. 2450).

  • Rasulullah  mengutus Al ‘Ala Ibnul Hadlrami RA memungut ‘Usyur (Zakat) dan Kharaj (Pajak) di Bahrain.

عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ أَوْ إِلَى هَجَرَ فَكُنْتُ آتِي الْحَائِطَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ يُسْلِمُ أَحَدُهُمْ فَآخُذُ مِنْ الْمُسْلِمِ الْعُشْرَ وَمِنْ الْمُشْرِكِ الْخَرَاجَ

Dari Al ‘Ala Ibnul Hadlrami ia berkata, “Rasulullah ﷺ mengutusku ke Bahrain, atau ke Hajar. Lalu aku mendatangi kebun milik beberapa orang yang bersaudara yang salah seorang dari mereka masuk Islam. Maka aku mengambil ‘Usyur (sepersepuluh) dari orang yang telah masuk Islam dan mengambil Kharaj (pajak) dari mereka yang masih musyrik.(HR. Ibnu Majah no. 1831).

  • Rasulullah  Memungut Kharaj (Pajak) di Khaibar. Rasulullah ﷺ pernah tidak membagikan tanah Ghanimah kepada kaum Muslimin, tapi menjadikannya sebagai tanah Kharajiyah (tanah milik khalifah yang dipungut pajak atas hasil bumi), dipungut Kharaj dari tanah Khaibar dengan tarif setengah dari hasilnya (50%).

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا مُوسَى أَخْبَرَنَا نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظَهَرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوا بِهَا حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأَرِيحَاءَ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Miqdam telah menceritakan kepada kami Fudhoil bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Musa telah mengabarkan kepada kami Nafi’ dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata; “Ketika Rasulullah ﷺ”. Dan berkata, ‘Abdur Razzaaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata, telah menceritakan kepadaku Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu mengusir Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan Rasulullah ﷺ ketika menaklukan Khaibar berkehendak untuk mengusir Kaum Yahudi dari wilayah tersebut. Dan ketika Beliau menguasainya tanah Khaibar Beliau manfaatkan untuk Allah, RasulNya dan Kaum Muslimin dan Beliau berkehendak mengusir Kaum Yahudi darinya, namun Kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah ﷺ agar Beliau mengizinkan mereka tetap tinggal disana untuk memanfaatkannya dan mereka mendapat hak bagian separuh dari hasil buah-buahannya (Kharaj/pajak), maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kami tetapkan kalian tinggal dan memberdayakannya sesuai kehendak kami”. Maka mereka menetap disana hingga akhirnya ‘Umar radliallahu ‘anhu mengusir mereka ke daerah Taima’ dan Ariha’. (HR. Bukhari no. 2170). Juga terdapat dalam (HR. Muslim no. 2899).

  • Rasulullah  Melarang Mengambil Maks (Memalak/Memeras/Preman)

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ 

Dari Uqbah bin ‘Amir, ia berkata; saya mendengar Rasulullah ﷺ berkata: Tidak akan masuk surga Shahibu Maks (orang yang mengambil harta orang lain secara zhalim). (HR. Abu Daud no. 2937).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْقَطَّانُ عَنْ ابْنِ مَغْرَاءَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ قَالَ الَّذِي يَعْشُرُ النَّاسَ يَعْنِي صَاحِبَ الْمَكْسِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Qaththan dari Ibnu Maghra`, dari Ibnu Ishaq ia berkata; orang yang mengambil ‘Usyur (Sepersepuluh) dari orang-orang maka adalah Shahibul Maks (mengambil pajak secara zhalim). (HR. Abu Daud no. 2549). (Kitab lain: HR. Abu Daud no. 2938).

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ قَالَ قَالَ أَبُو مُحَمَّد يَعْنِي عَشَّارًا

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abu Habib dari ‘Abdurrahman bin Syamasah ia berkata, aku mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak masuk Surga Shahibu Maks (pemeras, preman, tukang palak – pemungut pajak).” Abu Muhammad berkata, “Yaitu orang yang mengambil berlawanan dengan hukum syari’at.” (HR. Darimi no. 1606). (Kitab lain: HR. Darimi no. 1666).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ التُّجِيبِيِّ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ يَعْنِي الْعَشَّارَ

Telah meneritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dari Ibnu Ishaq dari Yazid bin Abi Habib dari Abdurrahman bin Syimasah At Tujibi dari Uqbah bin Amir dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga, yaitu pemungut ‘Usyur (pajak Sepersepuluh) ilegal (secara tidak benar).” (HR. Ahmad no. 16656).

Abu Ubaid Al Qasim ibn Sallam (w.224 H) dalam kitab Al Amwal mengatakan:

المَكْسُ هُوَ مَا يُؤْخَذُ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَيُظْلَمُ بِهِ النَّاسُ فِي أَمْوَالِهِمْ، وَقَدْ وَرَدَ فِيهِ الْوَعِيدُ الشَّدِيدُ.

Artinya: Muks adalah sesuatu yang diambil tanpa hak, sehingga manusia dizalimi dalam harta mereka. Sungguh telah datang ancaman yang keras mengenainya.

Ibnu Qudamah (w.620 H) dalam kitab Al Mughni mengatakan:

صَاحِبُ الْمَكْسِ هُوَ الَّذِي يَأْخُذُ مِنَ التُّجَّارِ عُشُورًا بِغَيْرِ حَقٍّ، وَهَذَا كَبِيرَةٌ مِنَ الْكَبَائِرِ.

Artinya: Shāhibul maks adalah orang yang mengambil pungutan dari para pedagang tanpa hak. Itu adalah dosa besar dari dosa-dosa besar.

Ibnu Taimiyah (w.728 H) dalam kitab Majmu’atul Fatawa mengatakan:

أَصْحَابُ الْمَكَاسِ وَمَنْ يُعِينُهُمْ مِنْ أَعْظَمِ مَنْ ظَلَمَ فِي الْحُقُوقِ، وَهُمْ أَحَقُّ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ».

Artinya: Para pemungut muks dan orang yang membantu mereka termasuk di antara orang yang paling besar kezalimannya dalam hal hak-hak manusia. Mereka paling berhak terkena sabda Nabi ﷺ: “Tidak masuk surga pemungut muks.”

Banyak terjadi kekeliruan dalam penerjemahan kata “Al Maks” dalam berbagai kitab terjemahan bahasa Indonesia, maupun tulisan dari para ulama/ustadz/muballigh, yang sering menerjemahkan “Shahibu Maks” menjadi “Pegawai Pajak” atau “Pegawai Cukai”. Hal ini sungguh suatu kesalahan besar. Menurut kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur, Al Maks adalah:

في (اللسان) المَكْسِ دَراهِمْ كانَتْ تُؤخَذُ مِن بَائِعُ السُلِعَ في الأسُُُُُُُُُُُُُُوْقِ الجاهِلِيَةِ.  ) لسان العرب، لابن منظور، ص. ١١٠

Maks menurut bahasa adalah uang yang dipungut dari pedagang-pedagang di pasar zaman jahiliyah. (Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, hal.110).

Beda Shahibu Maks dengan Pegawai Pajak adalah:

 SHAHIBU MAKSPEGAWAI PAJAK
1Tukang palak/ Pemeras/ PremanPetugas resmi dari negara
2Mengambil uang tanpa dasar Undang-Undang (jelas Objek, Tarif, Saat terutang)Memungut berdasarkan Undang-Undang (Jelas Objek, Tarif, Saat Terutang, dll)
3Tanpa persetujuan Nabi ﷺ sebagai Kepala Negara atau wakil rakyat (DPR)Disetujui oleh rakyat melalui wakil mereka di DPR
4Digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri (bukan kepentingan rakyat)Digunakan untuk kepentingan rakyat, tertuang dalam APBN
5Tidak ada pengawasan penggunaannya oleh pihak lain ( BPK/KPK/Itjen, BPKP), digunakan sesuka hatinya.Diawasi penggunaannya oleh pihak eksternal (BPK, KPK, Inspektorat, dll).

Sumber-Sumber Pendapatan Negara Menurut Islam

  1.  Ghanimah (Harta Rampasan Perang)

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS. Al Anfaal [8]:1).

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus sabil.(QS. Al Anfaal [8]:41).

فَكُلُواْ مِمَّا غَنِمۡتُمۡ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٦٩

Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al Anfaal [8]:69).

أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa’at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari no. 335).

  • Fa’i 

Fa’i adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, karena itu, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fa’i pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah. 

وَمَآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡهُمۡ فَمَآ أَوۡجَفۡتُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ خَيۡلٖ وَلَا رِكَابٖ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُۥ عَلَىٰ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٦

Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al Hasyr [59]:6).

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُوجِفْ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ فَكَانَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ مِنْهَا نَفَقَةَ سَنَتِهِ ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِيَ فِي السِّلَاحِ وَالْكُرَاعِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Dari Umar RA ia berkata: “Harta kekayaan Bani Nadhir yang telah dijadikan Fa’i oleh Allah atas Rasul-Nya ﷺ adalah termasuk harta yang diperoleh tanpa campur tangan sedikit pun dari kaum muslimin, baik itu dengan kuda perang atau yang lainnya. Sesungguhnya harta itu adalah milik Rasulullah ﷺ secara khusus dan sebagai nafkah bagi keluarganya. Sedangkan sisanya untuk perlengkapan persenjataan perang dan sejumlah kuda perang fi Sabilillah.” (HR. Bukhari no. 4885).

  •  Jizyah (Upeti/Pajak kepala)

Jizyah adalah Pajak yang dibayar oleh non Muslim khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jizyah juga adalah hukuman atas kekafiran mereka, dilaksanakan sesuai perintah Allah SWT dalam QS.At Taubah [9]:29. 

قَٰتِلُواْٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلۡحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. At Taubah [9]:29).

  • Kharaj (Sewa Tanah) 

Kharaj adalah pungutan kepada non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Kaum Kafir tetap diberikan  hak kelola tanah, namun mewajibkan mereka membayar Kharaj (pajak atas hasil tanah) yang diolah tersebut. 

عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ أَوْ إِلَى هَجَرَ فَكُنْتُ آتِي الْحَائِطَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ يُسْلِمُ أَحَدُهُمْ فَآخُذُ مِنْ الْمُسْلِمِ الْعُشْرَ وَمِنْ الْمُشْرِكِ الْخَرَاجَ

Dari Al ‘Ala Ibnul Hadlrami ia berkata, “Rasulullah ﷺ mengutusku ke Bahrain, atau ke Hajar. Lalu aku mendatangi kebun milik beberapa orang yang bersaudara yang salah seorang dari mereka masuk Islam. Maka aku mengambil “‘Usyur (sepersepuluh) dari orang yang telah masuk Islam dan mengambil Kharaj (pajak) dari mereka yang masih musyrik. (HR. Ibnu Majah no. 1831).

  • ‘Usyur (Bea Masuk)

‘Ushur adalah bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. ‘Usyur yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat. 

  •  Zakat (Shadaqah) 

Zakat adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaannya terwujud pada tahun ke-9 H.

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. At Taubah [9]:103.

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At Taubah [9]:60).

Munculnya Pajak dalam Islam Sebagai Ijtihad

Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya ijtihad tentang Pajak, sebagaimana Ijtihad itu dibolehkan oleh Rasulullah ﷺ:

عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Dari Mu’adz, saat Rasulullah ﷺ mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda; “Apa yang akan kau lakukan bila terjadi perkara yang harus kau hukumi?” Mu’adz menjawab; Aku menghukumi berdasarkan yang ada dalam kitab Allah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bila didalam kitab Allah tidak ada, apa yang akan kau lakukan bila terjadi perkara yang harus kau hukumi?” Mu’adz menjawab; Dengan sunnah Rasulullah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bila tidak ada dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab; Saya berijtihad dengan pendapatku, dan saya tidak mengabaikannya. Kemudian Rasulullah ﷺ menepuk dadaku dan bersabda; “Segala puji bagi Allah yang memberi pertolongan pada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang membuatnya ridha.” (HR. Ahmad no. 21000).

Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam

  1. Karena Ghanimah Dan Fay’i Tidak Ada

Pada masa pemerintahan Rasulullah ﷺ dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah).

  • Karena Terbatasnya Tujuan Penggunaan Zakat

Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk  kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah ﷺ mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup.

  • Sebagai Jalan Pintas Untuk Pertumbuhan Ekonomi

Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak.

  • Khalifah Berkewajiban Memenuhi Kebutuhan Rakyatnya 

Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah).

Dalil Dibolehkannya Pajak (Dharibah) dalam Islam

  1. QS. Al Baqarah [2]:177, Tentang Adanya Kewajiban Lain Atas Harta Selain Zakat

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS. Al Baqarah [2]:177).

وءاتى المال على حبه, artinya, “dan memberikan harta yang dicintai”. Ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk memberikan harta selain Zakat. Pendapat ini didukung antara lain oleh Abu Zahrah, Imam al-Ghazali, Sa’id Hawwa, Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah, Kitab Zakat, hal. 281);

  • QS. Al An‘Aam [6]:141, Perintah Mengeluarkan Harta Tatkala Panen

وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ١٤١

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al Al An’am [6]:141).

  • Hadits Rasulullah  tentang Adanya Kewajiban Lain Atas Harta Selain Zakat

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ 

Dari Fathimah binti Qais dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain harta zakat.” (HR. Tirmidzi no. 660).

  • Hadits Tentang Kewajiban Seorang Khalifah Mencukupi Kebutuhan Rakyatnya

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Dari Ibnu ‘Umar RA berkata; Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya “. (HR. Bukhari no. 2751).

Dalam keadaan kekosongan Baitul Mal, seorang Khalifah tetap wajib mengadakan berbagai kebutuhan pokok rakyatnya, untuk mencegah timbulnya kemudharatan, dan mencegah suatu kemudaratan adalah juga kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang  mengatakan:

 مَا لَا يَتِمُ الْوَاجِبْ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبْ 

”Segala sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya kewajiban selain harus dengannya, maka sesuatu itupun wajib hukumnya.”

  • Hadits Nabi  tentang wajibnya kaum Muslimin untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Dari Salamah bin ‘Ubaidullah bin Mihshan Al Anshari dari Ayahnya dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman jiwanya dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 4141).

Pajak untuk Umat Islam Disebut Dharibah (Beban)

Pajak untuk umat Islam tidak disebut Jizyah tapi Dhariibah (beban). Menurut Khalifah Umar bin Khattab sungguh tidak pantas kaum Muslim dipungut Jizyah (kehinaan) karena segala aktifitas Muslim yang mengikuti perintah Allah SWT termasuk ibadah yang berarti kemuliaan. Oleh sebab itu, Pajak bagi kaum Muslim tidak dapat diartikan kehinaan, rendah atau berkurang. Rasulullah ﷺ melarang pengenaan Jizyah untuk kaum Muslim.

Padanan kata yang paling tepat untuk Pajak adalah Dhariibah (الضريبة), artinya beban. Mengapa disebut Dharibah (beban)?  Karena Pajak merupakan kewajiban tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah Zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat (Qardhawi, Fiqhuz Zakah, Bab Zakah wa Dharibah,1973).

Karakteristik Pajak (Dharibah) Menurut Syari’at

Ada beberapa ketentuan tentang Pajak (Dharibah) menurut Syari’at Islam, yang sekaligus membedakannya dengan Pajak (tax) dalam sistem kapitalis (non Islam), yaitu:

  1. Pajak (Dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontiniudapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Pajak (Dharibah) hanya dipungut ketika kas negara (Baitul Mal) tidak ada harta atau kurang. Ketika kas negara sudah terisi kembali, maka pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan Zakat yang tetap harus dipungut walau tidak ada lagi pihak yang membutuhkan (mustahik).
  2. Pajak (Dharibah) hanya boleh digunakan untuk membiayai keperluan yang wajib diadakan kaum Muslim secara bersama-sama (ijtima‘iyyah) yaitu keamanan, pendidikan dan kesehatan, sebatas hanya sejumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
  3. Pajak (Dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya saja, tidak dipungut dari orang miskin. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta setelah pembiayaan kebutuhan pokok (makanan, pakaian dan perumahan) bagi diri dan keluarganya, menurut kelayakan masyarakat sekitarnya (lihat QS.[2]:215).
  4. Pajak (Dharibah) hanya dipungut sejumlah pembiayaan yang diperlukan saja, tidak boleh lebih. Artinya, jika sudah cukup maka pemungutannya segera harus dihentikan.
  5. Pajak (Dharibah) bukanlah suatu pemerasan atau kezhaliman, karena Pajak (Dharibah) dibuat dengan persetujuan rakyat melalui musyawarah melalui wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), digunakan untuk kepentingan rakyat yang juga disetujui rakyat dalam APBN, diawasi penggunaannya oleh pihak eksternal (KPK, BPK, Inspektorat, LSM, dll).

Zakat (Shadaqah) Sebagai Rukun Islam

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ

Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Islam dibangun atas lima dasar: persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” (HR. Tirmidzi no. 2534).

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At Taubah [9]: 103).

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ‘Amil (pengurus-pengurus zakat), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, Fisabilillah (untuk orang yang berjuang jalan Allah) dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah [9]: 60).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِخْ كِخْ لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ

Muhammad bin Ziyad berkata; Aku mendengar Abu Hurairah RA berkata; “Suatu hari Al Hasan bin ‘Ali RA mengambil kurma dari kurma-kurma shadaqah (zakat) lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, maka Nabi ﷺ bersabda: “Hei, hei”. Maksudnya supaya ia membuangnya dari mulutnya. Selanjutnya Beliau bersabda: “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak boleh memakan zakat”.(HR. Bukhari no. 1396).

عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ، وَدَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ، وَ اسْتَقْبِلُوْا أَمْوَاجَ الْبَلاَءِ بِالدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ.

Dari Hasan RA, ia bekata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,“Jagalah harta kalian dengan perantaraan Zakat, obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan perantaraan sedekah, hadapilah berbagai musibah dengan doa dan merendahkan hati dihadapan Allah SWT (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 2/274 no. 1963)

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

Dari Hidzaifah ia berkata, “Nabi kalian ﷺ bersabda: “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Abu Daud no. 4296).

وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ كُلُّهُمْ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَرْسَلَ بِنَفَقَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَقَامَ فِي بَيْتِهِ فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ دِرْهَمٍوَمَنْ غَزَا بِنَفْسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْفَقَ فِي وَجْهِ ذَلِكَ فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ أَلْفِ دِرْهَمٍ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ }وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ{

Dari Jabir bin Abdullah dan Imran bin Husain semuanya menceritakan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Barang siapa yang membekali seseorang dalam peperangan sedang ia berada di rumahnya saja, maka pada setiap dirhamnya dilipat gandakan tujuh ratus dirham. Sedang bagi yang ikut berperang di jalan Allah dan ia berinfak karena itu maka baginya untuk satu dirham dilipat gandakan menjadi tujuh ratus ribu.” Kemudian beliau membaca ayat: ‘ Wallahu Yudha’ifu Liman Yasyaa` ‘(Dan Allah melipat gandakan pahala bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya).” (HR. Ibnu Majah no. 2751).

Hubungan Zakat dan Pajak

  1. Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban sekaligus atas umat Islam, yang muncul atas sebab dan kegunaan yang berbeda. DR. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqhuh Zakah menulis Bab Zakah Wa Dharibah, yang artinya Zakat dan Pajak.
  2. Zakat muncul disebabkan adanya kelebihan atas harta (nishab) dan waktu (haul), digunakan hanya untuk asnaf yang delapan. Sedangkan Pajak (Dharibah) muncul karena adanya kekosongan/kekurangan kas negara (baitul mal), sedangkan Ulil Amri wajib memenuhi kebutuhan rakyat berupa keamanan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Kalau tidak diadakan akan muncul kemudharatan yang lebih besar (kekacauan, hukum rimba, penyakit menular, kebodohan, dsb).
  3. Zakat dan Pajak adalah dua barang komplementer (saling melengkapi), bukan barang substitusi (pengganti). Zakat untuk asnaf yang 8 (Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Gharim, Riqab, Ibnu Sabil dan Fisabilillah), sedangkan Pajak untuk kebutuhan bersama (orang kaya dan miskin).
  4. Zakat dibayarkan kepada Amil Zakat (BAZ/LAZ), sedangkan Pajak dibayarkan melalui Bank Persepsi yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan kas negara. Keduanya diatur dan dikelola oleh Pemerintah atau Lembaga yang disahkan oleh Pemerintah.
  5. Zakat tidak termasuk objek Pajak Penghasilan (PPh) yang diterima oleh Amil Zakat (Pasal 4 (3) huruf a angka 1, UU No. 36 Tahun 2008 stdtd UU No.7 Tahun 2021).
  6. Zakat Bukan Termasuk Biaya Yang Diperkenankan Untuk Mengurangi Penghasilan (Pasal 6 UU No 36 Tahun 2008 stdtd UU No.7 Tahun 2021).
  7. Zakat dapat dikurangkan sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Terutang (Pasal  9 (1) huruf g UU No. 36 Tahun 2008 stdtd UU No.7 Tahun 2021).

Kesimpulan

  1. Pajak ada dalam Islam, sudah diberlakukan sejak zaman pemerintahan Rasulullah ﷺ berupa Jizyah (upeti), terhadap kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi sebagai tanda ketundukan mereka kepada khalifah dan jaminan keamanan diri mereka sehingga mereka wajib dilindungi.
  2. Pendapatan negara (mawaarid ad Daulah) dalam pemerintahan Islam dimasa Rasulullah ﷺ dan Shahabat terdiri dari Ghanimah, Fa’i, Kharaj, ‘Usyur, Jizyah, Zakat dan pendapatan sekunder lainnya. Belum ada pajak (Dhariibah). Kas negara/baitul mal surplus. Negara memakai prinsip anggaran berimbang, tidak ada utang.
  3. Pajak (Dharibah) muncul sebagai pendapatan negara  pada masa sekarang berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi), disebabkan karena tidak adanya Ghanimah dan Fa’i, terbatasnya tujuan penggunaan Zakat, Jalan pintas untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan alternatif terbaik bagi khalifah. 
  4. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat karena  kekosongan Baitul Mal. Ia adalah kewajiban tambahan (tathawwu’) sesudah Zakat, digunakan untuk berbagai pengeluaran ijtima’iyyah  seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan.
  5. Pajak berlaku secara temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada/tidaknya harta, sementara sumber-sumber pendapatan negara tidak ada.
  6. Objek Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, tidak boleh dikenakan atas orang miskin. Agar tidak terjadi pemungutan ganda dengan Zakat, Zakat harus dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan.
  7. Zakat dan Pajak (Zakah wa Dharibah) adalah dua kewajiban atas kaum Muslim sekaligus. Keduanya merupakan barang komplementer (saling melengkapi), seperti makan nasi dan lauk, bukan barang substitusi (saling menggantikan) seperti nasi dan jagung. Zakat untuk asnaf yang delapan (QS. At Taubah [9]:60) dan Pajak untuk seluruh lapisan masyarakat (si kaya dan si miskin). 
  8. Zakat dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik dimasa mendatang yaitu zakat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang (credit tax). 
  9. Pajak (Dharibah) harus digunakan untuk hal-hal yang benar-benar diperlukan bagi kaum muslimin, seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang bersifat maksiat, hura-hura, apalagi membiayai hal yang diharamkan oleh agama, apalagi dikorupsi!

Penyuluh Pajak Ahli Madya, Kanwil DJP Riau*)

Exit mobile version