Ketika Kritik Disandera oleh Negara: Tradisi Pemberontakan ala Minang

Oleh : Khairul Fadli Rambe*)

Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam.” Wiji Thukul

Apakah benar semangat kritis dan pemberontakan hanya identik dengan sekelompok orang atau ideologi tertentu? Mengapa dalam sejarah pergerakan bangsa, nama-nama dari Ranah Minang seperti Tan Malaka dengan Madilognya dan Sutan Sjahrir dengan pandangan sosialisnya, selalu muncul sebagai pionir yang menantang kemapanan?

Kini, kita kembali menyaksikan sebuah pola yang berulang, di mana seorang anak Minang kembali menjadi target karena suaranya yang berani.

Akhir-akhir ini, algoritma media sosial kembali heboh, bukan lagi dengan petualangan Uda Ferri Irwandi melawan entitas gaib atau perenungannya tentang arah dunia filsafat, melainkan dengan kisah yang jauh lebih ironis. Seorang anak Minang yang berani menantang kegelapan, kini justru “disandera” oleh negara sendiri, terbungkus tuduhan pidana yang terasa begitu puitis.

Dikutip dari media Tempo.co, 09 september 2025, menyampaikan bahwa influencer Ferri Irwandi terancam dilaporkan ke polisi oleh Komandan Satuan (Dansat) Siber Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) Brigadir Jenderal Juinta Omboh atau J.O. Sembiring atas dugaan melakukan tindak pidana.

Kabar ini dengan cepat menyeba, melintasi batas-batas virtual dan menjadi perbincangan utama di setiap platform media sosial, dari linimasa Instagram hingga grup WhatsApp. Perdebatan sengit tentangnya tak hanya bergaung di dunia maya, namun juga merambah ke ruang-ruang nyata, yang mendadak menjadi topik hangat di warung kopi, di pinggir jalan, bahkan di tempat tongkrongan massa yang biasanya membicarakan hal-hal sepele.

Semua orang tiba-tiba memiliki perspektif, yang mempertanyakan apakah Ferri adalah korban dari suaranya yang berani, ataukah ini memang bukti kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan?

Hal ini memaksa kita untuk kembali merenungkan batas antara kebebasan berpendapat dan potensi pelanggaran hukum, serta mengajukan sebuah pertanyaan yang lebih dalam lagi, Siapa sebenarnya yang lebih mistis—kegelapan yang ia lawan atau sistem yang kini menyelimutinya?

DNA Perjuangan yang Menjadi Cikal Bakal

Sejarah telah mencatat, Ranah Minang bukanlah tempat yang nyaman bagi kemapanan. Dari rahimnya, lahir tokoh-tokoh yang seolah sengaja diciptakan untuk membuat pusing para penguasa. Sebut saja Tan Malaka dengan gagasan Madilognya, sebuah pemikiran yang mencoba meramu materialisme, dialektika, dan logika untuk memahami realitas sosial politik.

Ia berani menentang kebijakan kolonial dan bahkan statu quo di dalam gerakan pergerakan itu sendiri. Begitu pula dengan Sutan Sjahrir, yang dengan pandangan sosialisnya, menempatkan intelektualitas sebagai fondasi perjuangan.

Keduanya adalah contoh nyata bagaimana kritik dan pemikiran mendalam menjadi senjata utama dalam melawan kemapanan dan ketidakadilan, membuktikan bahwa keberanian orang Minang tidak hanya terbatas pada keberanian fisik, tetapi juga keberanian untuk berpikir beda.

Perjuangan yang mereka lakukan bukanlah sekadar upaya untuk meraih kemerdekaan, melainkan sebuah tradisi intelektual yang menempatkan kritik sebagai alat esensial untuk mencapai perbaikan. Mereka mengajarkan bahwa untuk membangun bangsa, seseorang harus berani mempertanyakan dan menantang kemapanan.

Semangat kritis ini mengalir turun-temurun, menjadi sebuah DNA yang mengubah mereka menjadi “troublemakers” yang berani berpikir, di mana upaya tersebut mewujudkan sebuah warisan yang tak bisa dibeli dan tak bisa dibungkam. Kehadiran mereka menjadi cermin yang menguji seberapa jauh bangsa ini berani menerima kritik.

Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Tradisi yang Terus Berlanjut

Kini, warisan tersebut seolah menemukan perwujudan terbarunya. Ketika seorang anak Minang, berani bersuara dan mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan. Ia seakan-akan tidak bertindak atas nama pribadi, melainkan mewarisi sebuah tradisi.

Siapa lagi kalau bukan seorang aktivis yang berperang tanpa senjata, melainkan bermodalkan argumen, seorang juru bicara yang tidak mewakili suara mayoritas yang bisu, melainkan suara minoritas yang terpinggirkan, ialah Ferri Irwandi founder dari Malaka Project.

Dugaan kasus pidana yang dilaporkan terhadapnya bukanlah sekadar perkara hukum biasa, melainkan bukti nyata bahwa semangat kritis orang Minang masih relevan dan terus berlanjut. Mereka cenderung tidak nyaman dengan statu quo dan selalu berani menantang kekuasaan demi kebaikan yang lebih besar.

Dengan demikian, Ferri bukanlah individu yang kebetulan vokal, melainkan cerminan dari tradisi Minang yang menempatkan intelektualitas dan keberanian sebagai nilai luhur. Ia adalah bagian dari mata rantai panjang para pemberontak gagasan yang dimulai dari Tan Malaka dan Sutan Sjahrir.

Kehadirannya hari ini membuktikan bahwa peran orang Minang sebagai garda terdepan kritik masih eksis, bahkan ketika harus berhadapan dengan kekuasaan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa di Ranah Minang, daya pikir itu dilestarikan, bukan untuk mencari masalah, melainkan untuk memastikan bahwa bangsa ini selalu berjalan di jalur yang benar.

Pada akhirnya, mungkin bukan Ferri Irwandi yang menjadi korban dari kasus ini, tetapi pertanyaan besarnya adalah apakah bangsa ini sudah terlalu nyaman dengan keheningan, sampai suara kritis dianggap sebagai sebuah kejahatan?

Daya Pikir yang Dilestarikan: Warisan Pemberontakan Intelektual

Fenomena ini bukanlah sebuah kebetulan. Apa yang terjadi pada Ferri Irwandi dan para pendahulunya adalah hasil dari sebuah budaya yang menghargai diskursus, perdebatan, dan pemikiran mandiri sebagai pilar utama kehidupan.

Di ranah Minang, tradisi merantau mendorong orang untuk melihat dunia dari berbagai sudut pandang, membentuk karakter yang tidak mudah menerima hal-hal secara mentah-mentah. Akibatnya, mereka terbiasa untuk selalu mempertanyakan, menganalisis, dan mencari kebenaran.

Orang Minang secara historis telah membuktikan bahwa mereka adalah pembawa pemberontakan dalam konteks yang paling positif—yaitu pemberontakan gagasan. Mereka tidak memberontak untuk menghancurkan, melainkan untuk menciptakan tatanan yang lebih baik.

Mereka adalah pembawa obor intelektualitas yang berani menerangi sudut-sudut gelap kekuasaan, penjaga nalar publik yang tidak pernah lelah bersuara. Inilah yang membuat mereka layak menjadi garda terdepan untuk mengkritisi setiap persoalan bangsa.

Jadi, pertanyaannya apakah kita benar-benar siap melestarikan warisan ini, di tengah konsekuensi yang tidak mencerminkan negara demokrasi? atau kita lebih memilih negara yang aman dan damai tanpa perlawanan, bahkan terhadap kebodohan sekalipun? []

Mahasiswa Univeritas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *