Pagi Terakhir di Griya Depok Asri

Oleh: Nurul Jannah*)

Menemani Kepergian Manini-Pipiet Senja, Sang Cahaya Literasi

Aku melangkah dengan langkah gontai, menuju sebuah rumah di Griya Depok Asri, G4 No. 4. Di balik pintu sederhana itu, terbaring sosok yang dulu begitu hidup: Manini, Pipiet Senja, Sang Cahaya Literasi.

Hari Minggu siang itu, aku masih sempat melihatnya di atas tempat tidur. Namun, pandangan matanya tak lagi mengenaliku.

Ia, yang biasanya memecah sunyi dengan tawa dan obrolan hangat, kini terdiam tanpa suara. Rumah Griya Depok berubah seketika menjadi samudra duka. Pintu yang dulu kerap terbuka dengan senyum ramah, kini menyimpan keheningan yang menikam relung terdalam.

Di ruang tengah, tubuh Manini terbujur diam, terbungkus kain batik sederhana. Di sekelilingnya, doa berdesis, air mata jatuh, dan hati-hati yang patah berusaha berdiri. Anak-anaknya, saudara-saudaranya, sahabat-sahabat setia; semua mencoba tegar. Namun aku tahu, di balik wajah mereka yang berusaha kuat, hati itu retak, pecah, luluh lantak.

Kenangan pun meloncat tanpa diminta.
Aku ingat betapa hangatnya setiap kunjungan bersama sahabat-sahabat NJD ke rumahnya. Meja selalu penuh kudapan, gelak tawa pecah tanpa jeda, obrolan mengalir deras seolah dunia tak pernah punya luka.

Bahkan ketika sakit menggerogoti tubuhnya, Manini tak kehilangan kejenakaannya.

“Neng… kalau sakit, jangan dipelihara. Ketawain aja, biar dia kapok datang lagi!” katanya sambil terkekeh pelan di RS UI.

Aku hanya bisa menatapnya dengan mata basah, lalu menjawab, “Manini, bahkan sakit pun tak berdaya melawan humor dan cahaya Manini.”

Dan ia tersenyum: senyum yang kini abadi dalam ingatan.

Setiap kali bertemu, selalu ada sesuatu yang ditinggalkan. Bukan sekadar cerita, ataupun cinta, melainkan energi baru, dorongan untuk menulis, dan “inside” positif yang menghidupkan jiwa.

Bagi Manini, menulis bukan hanya menorehkan kata, melainkan menorehkan hidup.

Kini, di ruang duka itu, aku tersadar, Manini tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah alamat: dari rumah fana menuju rumah abadi.

Aku menunggu hingga ambulans yang membawa jasadnya perlahan menjauh. Tubuh yang dulu penuh semangat kini terangkat, dibawa menuju perjalanan panjang ke Bandung: rumah terakhirnya sebelum menuju ke pangkuan Ilahi.

Dada ini terasa retak. Ingin rasanya menahan kepergiannya, namun aku tahu itu mustahil. Yang tersisa hanyalah doa, cinta, dan kerinduan yang kuantarkan ke langit, semoga sampai di Arsy Allah Yang Maha Perkasa.

Hari itu aku belajar banyak dari kepergianmu, Manini. Bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju keabadian.
Engkau mengajarkan kami cara menulis dengan cinta, bertahan dengan keteguhan, dan pulang dengan senyuman.

Jejakmu takkan pernah pudar. Setiap tawa, setiap kata, setiap nasihatmu kini menjelma warisan abadi.
Kami kehilangan ragamu, tetapi cahaya literasi yang kau tinggalkan akan terus hidup di hati kami.

Puisi Penghantar Kepulangan Sang Maestro Aksara: Pipiet Senja

“Senja yang Abadi”

Engkau pergi, Manini,
dengan senyum yang tetap bercahaya,
dengan tawa yang masih menari di ingatan,
dengan cinta yang menetes di setiap kata.

Tubuhmu kini diam,
namun ruhmu terbang bebas,
menjadi cahaya penuntun pena-pena kami,
menjadi doa yang menyatu di setiap kalimat.

Kami menangis,
bukan karena engkau hilang,
tetapi karena rindu ini terlalu berat dipikul,
dan cinta ini tak pernah sanggup berpaling.

Selamat jalan, Pipiet Senja,
pena senjamu kini menulis di langit,
cintamu bersemi di surga abadi,
dan di hati kami,
engkau tetap hidup, selamanya.

Al-Fatihah 🌹❤‍🔥

Bogor, 1 Oktober 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *