Transformasi Politik Gen Z di Era Digital: Dari Aktivisme Online ke Strategi Elektoral Parpol

Penulis : Yola Andri Yani

Generasi Z atau gen Z kini mulai menjadi penentu arah politik Indonesia. Dengan dominasi jumlah pemilih dan kebiasaan hidup di dunia digital, cara mereka berpatisipasi dalam politik telah berubah drastis: dari panggung kampanye konvensional ke ruang media sosial atau non-konvensional.

Perubahan ini memaksa partai politik beradaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi demikian, bukan hanya lewat pencitraan, tetapi juga melalui gagasan nyata yang mampu menjawab kebutuhan generasi muda.

Pemilu 2024 memperlihatkan betapa besarnya peran pemilih muda, terkhusus generasi Z dalam dinamika politik Indonesia.

Data KPU menunjukan bahwa kelompok Generasi Z dan Milenial mendominasi Pemilu 2024 dengan persentase mencapai 55 persen (Mellaz, KPU.go.id).

Persentase mereka yang mendominasi daftar pemilih tetap menjadikan suara anak muda sebagai salah satu faktor penentu hasil pemilu. Namun, cara generasi Z berpatisipasi dalam politik berbeda dari generasi sebelumnya.

Hal ini disebabkan oleh mereka yang tumbuh dalam lingkungan serba digital, terbiasa dengan media sosial, dan lebih memilih mengekspresikan pandangan politik lewat dunia maya atau platform digital ketimbang forum konvensional.

Transformasi ini juga sejalan dengan teori Gabriel Almond (dalam Kareth dkk.,2018), yang membagi partisipasi politik menjadi konvensional (voting, kampanye, diskusi) dan non-konvensional (petisi, demonstrasi, protes).

Aktivisme digital Generasi Z dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi non-konvensional yang kini semakin dominan. Twiter/X, Instagram, Tiktok, hingga YouTube menjadi ruang politik baru di mana isu public diperdebatkan, solidaritas ditunjukan, dan gerakan sosial diorganisir.

Faktor-faktor pendorong partisipasi juga pernah dijelaskan Milbrath (dalam Kareth.,2018): mulai dari peran media, karakter pribadi, status sosial ekonomi, serta dinamika politik politik yang sedang berlangsung.

Bagi Generasi Z, faktor media khususnya media sosial menjadi penentu paling kuat. Melalui konten singkat, visual menarik, dan penyajian kreatif, partisipasi politik anak muda lebih mudah terbangun dibandingkan melalui pola komunikasi tatap muka tradisional.

Kondisi ini menuntut partai politik untuk melakukan penyesuaian strategi. Jika sebelumnya partai mengandalkan baliho atau rapat umum, kini hal tersebut tidak lagi memadai dalam menjangkau pemilih muda.

Sebagai gantinya, partai mulai memanfaatkan media sosial sebagai sarana pembentukan citra politik, melalui pengelolaan akun resmi, penyajian konten kreatif, hingga pelibatan influencer guna menarik perhatian dan dukungan Generasi Z.

Meski demikian, keberhasilan partai tidak hanya diukur dari seberapa viral konten mereka, tetapi juga seberapa relevan pesan yang disampaikan.

Generasi Z cenderung kritis terhadap isu substantif: lingkungan hidup, kesetaraan pendidikan, peluang kerja, dan transparansi politik.

Karena itu, sebagaiman dicatat Marcus Mietzner (2013), tantangan terbesar demokrasi Indonesia adalah menggeser politik tranksaksional menuju politik berbasis gagasan.

Transformasi ini membawa implikasi besar bagi dinamika kepartaian di Indonesia. Pertama, partai politik dituntut untuk beradaptasi dengan proses digitalisasi, tidak hanya pada ranah kampanye, melainkan juga dalam kaderisasi serta pendidikan politik.

Kedua, partai perlu membangun pola komunikasi yang lebih terbuka, mengingat Generasi Z telah terbiasa dengan budaya transparansi informasi.

Ketiga, kaum muda seharusnya diberi peran nyata dalam struktur internal partai, bukan semata dijadikan instrumen perolehan suara.

Meski demikian, sejumlah risiko tetap perlu diantisipasi. Proses digitalisasi politik berpotensi menimbulkan kesenjangan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi.

Selain itu, apabila media sosial hanya difungsikan sebagai sarana propaganda, maka praktik politik cenderung terjebak pada aspek visualsemata tanpa memperlihatkan kedalaman substansi.

Karena itu, pemanfaatan ruang digital sebaiknya diarahkan pada penguatan pendidikan politik serta pembangunan dialog yang lebih bermakna dengan masyarakat, terutama kalangan pemilih muda.

Generasi Z merupakan kekuatan politk yang tidak dapat diabaikan. Kehadiran mereka tidak sekedar menjadi bonus demografi, melainkan faktor penentu arah perkembangan politik di masa depan.

Transformasi pola partisipasi melalui aktivisme digital menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tengah memasuki fase baru.

Tantangan utama bagi partai politik adalah bagaimana menghubungkan energi digital generasi muda ini dengan strategi elektoral yang efektif serta kebijakan publik yang konkret.

Dengan demikian, transformasi politik Generasi Z tidak dapat dipandang sekadar sebagai fenomena digital, melainkan sebagai tantangan sekaligus peluang bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Pertanyaan pentingnya adalah apakah partai politik akan berhenti pada praktik pencitraan melalui media digital, atau justru mampu mengelola energi politik anak muda untuk membangun basis politik yang berorientasi pada gagasan.

Cara partai menjawab tantangan ini akan sangat menentukan arah dan kualitas demokrasi Indonesia pada masa mendatang. (*)

Penulis adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Andalas

Exit mobile version