Essay : Nurul Jannah*)
Sebuah Pertemuan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan
Kadang, kebahagiaan datang dengan cara paling sederhana : segelas ice caffe latte, sepiring camilan hangat, dan pertemuan yang diam-diam menyalakan cahaya di relung hati.
Pagi itu, langit Banjar Baru berwarna lembut seperti latte yang baru diaduk.
Udara masih sejuk, pepohonan bergoyang malu-malu di tepi jalan, seolah ikut menyambut hari yang akan membawa kejutan manis.
Aku baru saja menyelesaikan tugas kedinasan ketika hati kecil berbisik lirih; “Jangan lewatkan kesempatan ini. Ada pertemuan yang menunggu untuk menjadi kenangan.”
Maka kuambil ponsel dan menulis pesan untuk Mbak Julia Pasca, mentor video kesayangan NJD yang selama ini hanya kulihat lewat layar.
Masih muda, manis, dan selalu bersemangat. Aura positifnya menular, membuat siapa pun yang berinteraksi dengannya ikut tersenyum dan merasa hidup kembali. Meski belum pernah bertatap muka, aku seperti sudah mengenalnya lama. Lewat karya, tawa, dan semangatnya yang tidak pernah padam.
Tak lama, notifikasi balasan itu muncul. Pesannya pendek, tapi hangat, seperti sinar matahari yang menembus tirai kamar: “Bu, saya jemput di hotel aja ya. Sekalian kita ngopi santai di Relung Kopi.”
Aku tersenyum. Ada getar halus yang sulit dijelaskan: seperti ketika Tuhan mengirimkan kejutan kecil yang kau tahu, bukan kebetulan semata.
Perjalanan Menuju Relung Kopi
Mbak Julia datang menjemput dengan langkah ringan dan senyum yang memantulkan cahaya pagi. Kerudung coklatnya tampak lembut di wajahnya yang manis; seolah warna itu memang diciptakan untuknya. Matanya berbinar hangat, dan hidup.
“Selamat datang di Banjar Baru, Bu. Rasanya kayak mimpi bisa ketemu Ibu langsung,” ucapnya sambil menyerahkan tas anyaman ungu nan cantik, “Oleh-oleh khas Banjar Baru untuk Ibu.”
Aku tertegun dan spontan merespon: “Masya Allah, belum mulai ngobrol sudah disambut cinta seperti ini. Terima kasih, Mbak Julia… mimpi yang akhirnya jadi nyata. Sekarang kita bisa bercerita tanpa layar yang membatasi ya….”
Mobil mungilnya melaju perlahan melewati jalanan teduh Banjar Baru. Pohon trembesi menjuntai seolah memberi salam, sementara angin membawa aroma tanah yang baru saja dicium hujan.
Percakapan kami mengalir alami: tentang menulis, tentang hidup, dan tentang bagaimana kata bisa menyembuhkan luka.
“Bu, Relung Kopi itu tempat favorit anak muda di sini. Banyak yang datang bukan cuma buat nongkrong, tapi juga buat merenung,” katanya sambil tersenyum.
Aku menjawab cepat, “Wah, cocok buat kita juga dong… yang selalu merasa muda.”
Kami tergelak serempak, menertawakan diri sendiri dengan jujur. Membuka tirai pagi dengan lembut, seakan menyambut cahaya yang baru lahir.
Relung Kopi, Tempat Cerita Bertemu
Kafe itu sederhana tapi memikat. Dinding abu lembut, lampu gantung hangat, dan aroma espresso yang menari di udara membuat siapa pun ingin berlama-lama. Kami memilih duduk di pojok jendela, tempat di mana cahaya masuk pelan, membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa.
Mbak Julia menatapku dengan binar lembut.
“Akhirnya ya, Bu… rasanya seperti ketemu guru sekaligus teman.”
Aku tersenyum.
“Ah, Mbak Julia mah bukan murid atuh. Tapi sahabat seperjalanan. Kita sama-sama belajar menulis dan menyalakan cahaya di hati orang lain.”
Matanya berbinar, terasa sekali bahagianya.
“Percirengan dan
Croissant Nutella
Mbak Julia memesan camilan viral anak muda Banjar Baru: percirengan, campuran cireng, cilok, pangsit ori, dan tulang rangu: gurih, pedas, renyah, seperti hidup yang tak pernah datar.
Sementara aku memilih croissant Nutella dan ice caffe latte, perpaduan antara rasa Eropa dan cita rasa Nusantara.
Kami berdua tersenyum, seolah tahu: dua dunia bisa berpadu jika hatinya seirama.
“Bu, percirengan ini harus dicoba memang. Rasanya nano-nano, tapi nagih banget,” katanya sambil mencelupkan cilok ke saus cabai.
Aku tertawa, “Kayak hidup, Mbak Julia. Kadang pedas, kadang asin, kadang manis. Tapi justru itu yang bikin kita kuat.”
“Betul, Bu. Kalau hidup terlalu manis, malah nggak ada tantangannya,” jawabnya cepat.
Tawa kami pecah di antara aroma kopi dan musik lembut. Dan di sela gelak itu, aku tahu, ada kehangatan yang tak akan mudah hilang.
Dialog Hati di Tengah Cangkir Latte
Tiga jam berlalu tanpa terasa. Kami bicara tentang banyak hal; tentang hidup, kehilangan, perjuangan, dan cara tetap tersenyum ketika dunia seolah berpaling.
Mbak Julia menatap cangkirnya lama.
“Bu, kadang saya merasa lelah. Dunia cepat sekali berubah, orang mudah menilai. Kadang saya takut nggak cukup kuat.”
Aku mengaduk ice caffe latte perlahan, melihat busanya perlahan hilang, seperti waktu yang diam-diam mengajarkan sabar.
“Hidup itu seperti kopi, Mbak Julia. Kadang pahit di awal, tapi hangat di akhir. Jangan berhenti di tegukan pertama.”
Ia menatapku, lalu tersenyum tipis.
“Jadi harus tetap diminum, ya Bu, walau pahit?”
“Iya, Mbak Julia. Karena pahit hari ini bisa jadi manis di waktu yang Tuhan pilih.”
Kami terdiam. Tapi dalam diam itu, ada doa yang bergetar lembut di udara.
Catatan Hati
Jam menunjukkan pukul 12.57 WITA, waktunya berpisah.
“Terima kasih, Mbak Julia. Untuk waktu, untuk cerita, untuk kenangan indah yang tak akan pudar.”
Kami berpelukan erat. Dalam pelukan itu, ada kasih yang lahir dari keikhlasan, bukan karena darah, tapi karena cinta pada kata, dan kebaikan.
Siang itu, aku kembali ke hotel dengan hati yang lebih ringan dan penuh bahagia.
Tas anyaman ungu oleh-oleh dari Mbak Julia tergeletak di pangkuan, menjadi simbol kecil dari pertemuan besar yang tak terencana.
Hari itu, aku belajar lagi, bahwa kebahagiaan tak selalu hadir dengan kemegahan. Kadang ia datang lewat tawa, segelas ice caffe latte, dan pertemuan yang tulus.
Setiap jiwa yang kita temui bisa menjadi lentera kecil di relung hati. Bahagia bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa tulus kita berbagi waktu dan rasa.
Hidup memang tak selalu manis. Tapi jika kita berani meneguk pahitnya dengan sabar, Tuhan akan menggantinya dengan kedamaian tak terperi.
Di Relung Kopi, aku tidak hanya menyesap latte dan percirengan; lebih dari itu, aku menyesap makna hidup. Tentang sabar, tentang syukur, tentang menerima segala rasa dengan hati yang lapang.
Tiga jam terasa sangat singkat, tapi jejaknya menempel di hati seperti aroma kopi yang tak pernah hilang.
Kadang, Tuhan mempertemukan dua generasi bukan untuk membandingkan,
melainkan untuk saling meneruskan cahaya.
Satu membawa pengalaman, satu membawa energi. Dan di antara keduanya, lahirlah persaudaraan yang mulia.
Di Relung Kopi, kami berdua menemukan makna, bahwa hidup sejatinya bukan hanya tentang bertemu, tetapi tentang berbagi. Bukan semata berbagi kata, tetapi juga kehangatan.
Hidup, ternyata, seperti Relung Kopi itu sendiri: sederhana tapi sarat makna. Ia mengajarkan bahwa bahagia tidak selalu harus ditemukan di tempat megah, tapi dalam pertemuan kecil yang tulus dan meninggalkan gema di dada.🌹❤🔥🎀
Banjar Baru, 8 Oktober 2025
NURUL JANNAH adalah Seorang Penulis, Dosen dan Aktivis Lingkungan di ITB University.*)