Kolom  

Partai Politik di Persimpangan: Antara Publik dan Elite

Oleh : Afiif Farkad*)

Dalam sistem demokrasi, partai politik seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan. Melalui partai, aspirasi publik bisa diperjuangkan di parlemen atau dalam kebijakan pemerintah.

Tapi di Indonesia, kenyataannya sering tidak seideal itu. Partai politik kini seperti berada di persimpangan jalan — satu arah menuju kepentingan publik, dan arah lain menuju kepentingan elite.

Partai Politik: Wadah Publik atau Alat Kekuasaan?

Secara teori, partai politik dibentuk untuk menyalurkan suara rakyat, menciptakan kader pemimpin, dan memperjuangkan ideologi tertentu. Namun dalam praktiknya, banyak partai justru lebih sibuk menjaga kepentingan elite partai daripada mendengar suara masyarakat.

Fenomena seperti politik uang, mahar politik, dan politik dinasti menjadi bukti bahwa partai sering kali dijalankan seperti perusahaan keluarga atau alat dagang kekuasaan.

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap partai menurun drastis. Banyak anak muda yang apatis dan merasa “politik cuma urusan orang atas”. Padahal, kalau semua menjauh, yang tersisa hanyalah elite yang bermain di atas tanpa kontrol rakyat.

Hubungan yang Jauh dari Rakyat

Salah satu masalah besar partai di Indonesia adalah jarak sosial dan komunikasi dengan masyarakat. Ketika musim pemilu, partai ramai turun ke lapangan: bagi sembako, pasang baliho, dan kampanye “pro rakyat”.

Tapi setelah menang, kedekatan itu menguap. Janji-janji kampanye berubah jadi formalitas, sementara keputusan-keputusan penting diambil di ruang rapat tertutup, bukan hasil dialog dengan rakyat.

Contohnya bisa dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan kontroversial tetap disahkan meskipun ditolak publik — seperti UU Cipta Kerja atau revisi UU KPK. Ini menandakan bahwa partai lebih condong ke arah politik transaksional ketimbang politik partisipatif.

Elite Politik: Pemegang Kuasa Sebenarnya

Banyak partai di Indonesia dikendalikan oleh segelintir elite yang punya sumber daya besar — baik uang, jabatan, maupun pengaruh sosial.

Mereka menentukan siapa yang dapat tiket pencalonan, siapa yang duduk di struktur partai, hingga arah koalisi.

Dalam situasi ini, demokrasi internal partai menjadi lemah. Kader-kader muda yang idealis sering kali tersingkir karena tak punya “modal”. Akibatnya, regenerasi politik tersendat, dan wajah partai cenderung itu-itu saja.

Ini berbahaya karena partai yang tidak demokratis di dalam, sulit diharapkan bisa membangun demokrasi yang sehat di luar.

Publik yang Mulai Melawan

Meski begitu, masyarakat—terutama generasi muda—tidak sepenuhnya diam. Banyak anak muda yang mulai mengkritisi partai lewat media sosial, membentuk gerakan independen, bahkan ikut terjun dalam politik lokal dengan cara-cara baru.

Fenomena seperti munculnya relawan politik non-partai atau gerakan sosial digital menunjukkan bahwa publik mulai mencari jalur lain untuk menyuarakan pendapat, di luar struktur partai konvensional.

Namun, ini juga menjadi peringatan bagi partai: kalau mereka tidak berbenah, mereka bisa kehilangan relevansi. Rakyat akan mencari cara lain untuk berpolitik tanpa partai.

Saatnya Partai Berubah Arah

Agar partai kembali dipercaya, mereka harus berani berubah arah menuju publik. Beberapa langkah realistis bisa dilakukan:

  1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas — mulai dari dana kampanye hingga proses rekrutmen calon legislatif.
  2. Mendorong demokrasi internal — memberi ruang bagi kader muda dan suara minoritas di dalam partai.
  3. Membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat — bukan hanya saat pemilu, tetapi juga dalam perumusan kebijakan publik.
  4. Mengembalikan ideologi dan nilai perjuangan — agar partai tidak sekadar menjadi kendaraan kekuasaan, tapi juga tempat memperjuangkan cita-cita rakyat.

Penutup: Masa Depan di Tangan Publik dan Partai

Partai politik memang masih punya peran penting dalam sistem demokrasi, tapi kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan baliho atau jargon. Kalau partai tetap memilih jalan elite, mereka akan kehilangan legitimasi moral.

Tapi kalau mereka mau kembali ke akar — mendengar, melayani, dan melibatkan publik — partai bisa menjadi kekuatan yang benar-benar membawa perubahan.

Kini, semuanya tergantung pada pilihan mereka di persimpangan itu: menjadi alat rakyat atau alat kekuasaan. []

Mahasiswa Ilmu Politik pada Universitas Andalas*)

Exit mobile version