Oleh : Annisha Arrahmani Channya*)
Bayangkan sebuah panggung besar bernama parlemen. Kursinya berderet rapih, kelihatan penuh, tapi tak sampai separuh 2/3. Bukan karena tak ada yang duduk, melainkan karena suara perempuan yang hadir di sana sering tak benar-benar terdengar.
Dari 575 kursi DPR RI hasil Pemilu 2024, hanya 128 yang diduduki perempuan, atau sekitar 22%. Padahal, aturan kuota 30% sudah lama berlaku, lebih dari dua dekade.
Parlemen yang hanya menyuarakan satu perspektif gender ibarat tubuh yang berjalan dengan satu kaki: pincang, mudah goyah, dan sulit berlari mengejar ketertinggalan.
Kuota yang Jadi Formalitas
Secara hukum, aturan kuota sudah jelas, partai politik wajib mencantumkan minimal 30% calon legislatif (caleg) perempuan. Bahkan di Pemilu 2024, hampir semua partai melampaui angka itu. Di atas kertas, tampak indah.
Namun praktiknya, banyak caleg perempuan hanya sekadar “pengisi daftar.” Ada yang ditempatkan di daerah pemilihan yang nyaris mustahil dimenangkan, ada pula yang hanya menjadi pelengkap karena hubungan keluarga dengan elite partai. Kuota akhirnya tak lebih dari tiket administratif, bukan komitmen politik.
Maka tak heran, hasil akhirnya tetap mandek di angka 20-an persen.
Lalu, bagaimana nasib perempuan yang berhasil melampaui rintangan administratif ini dan benar-benar duduk di parlemen?
Budaya Patriarki dan Hambatan Struktural
Perjuangan belum selesai. Perempuan yang lolos ke parlemen sering menghadapi tembok tak kasat mata. Mereka jarang didorong menempati posisi strategis seperti ketua komisi atau fraksi. Suara mereka kerap dianggap “pelengkap,” bukan penentu.
Di luar gedung parlemen, tantangannya berlipat ganda. Politik uang menuntut modal besar, sementara akses perempuan terhadap sumber finansial lebih terbatas.
Ditambah lagi, urusan domestik masih dianggap sepenuhnya tanggung jawab perempuan. Jadi, untuk melangkah ke gelanggang politik, perempuan harus berlari dengan beban yang lebih berat dibanding laki-laki.
Tentu saja, ada perempuan hebat yang berhasil menembus batas itu dan bersuara lantang di parlemen. Namun keberadaan mereka justru menegaskan masalah sistemik: mereka adalah pengecualian, bukan norma.
Demokrasi yang Cacat Representasi
Keterwakilan perempuan yang timpang membawa dampak nyata pada kualitas kebijakan. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) bertahun-tahun mandek. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender tak kunjung diprioritaskan. Isu-isu krusial seperti kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, hingga kesenjangan upah sering tersingkir ke pinggir meja.
Bandingkan dengan negara-negara lain. Rwanda berhasil menempatkan lebih dari 60% perempuan di parlemen. Timor Leste mencapai sekitar 40%. Di Indonesia? Masih bertahan di angka 22%. Demokrasi kita pincang karena hanya berjalan dengan satu kaki.
Upaya yang Setengah Hati
Memang ada aturan yang mencoba memperbaiki keadaan. KPU dan Bawaslu mengawasi agar kuota terpenuhi. Bahkan Mahkamah Agung pernah membatalkan aturan yang bisa merugikan caleg perempuan. Namun langkah-langkah ini ibarat tambal sulam.
Buktinya, masih ada banyak dapil yang tak memenuhi syarat kuota 30%. Sanksi pun lemah, sehingga partai bisa “main-main” dengan aturan tanpa takut konsekuensi.
Dari Kuota ke Representasi Substansial
Kalau begitu, apa yang harus dilakukan?
Pertama, aturan kuota perlu ditegakkan dengan sanksi yang jelas. Partai yang tak memenuhi syarat seharusnya kehilangan hak ikut di dapil tertentu atau terkena pemotongan bantuan dana.
Kedua, partai politik harus serius melakukan kaderisasi perempuan bukan sekadar memasukkan nama, tapi juga memberikan pelatihan, mentoring, dan dukungan dana kampanye.
Ketiga, pemilih juga punya peran penting. Kita bisa mendukung calon-calon perempuan yang benar-benar berintegritas, serta menekan partai politik lewat ruang publik dan media sosial agar kuota ini dijalankan secara substansial.
Penutup: Menghentikan Panggung yang Pincang
Kuota 30% adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Tanpa kemauan politik, ia hanya akan jadi etalase.
Parlemen yang pincang akan terus melahirkan kebijakan yang pincang. Demokrasi yang sehat hanya lahir ketika laki-laki dan perempuan duduk sejajar, bersuara setara, dan berjuang bersama.
Karena kursi di parlemen bukan sekadar tempat duduk.
Itu adalah panggung untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan rakyat Indonesia bukan hanya separuh laki-laki tapi juga separuh perempuan yang suaranya berhak mengisi panggung demokrasi ini dengan setara.[]
Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Andalas. *)