Tari Itik di Bawah Langit Banjarbaru

Ketika Langkah dan Sayap Menyatu dalam Doa Tanah Banua

Essay : Nurul Jannah*)

Langkah Pertama di Gerbang Cahaya

Tiga minggu berturut-turut aku menginjakkan kaki di Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru. Tiap kedatangan selalu menghadirkan nuansa berbeda, aroma tanah yang baru tersentuh hujan, angin lembut yang menyapa dari arah rawa, dan senyum hangat yang menyambut tanpa pamrih.

Namun siang itu, sesuatu yang lebih dari keindahan menyentuh pandanganku. Di tengah ruang kedatangan yang berkilau putih, tiga perempuan muda menari dengan anggun.

Busana mereka berkilat dalam balutan kuning keemasan dan hijau zamrud, hiasan kepala berbentuk paruh itik berayun lembut mengikuti irama gamelan Banjar yang berpadu dengan detak langkah manusia.

Gerak tangan mereka bagai ombak kecil di sawah selepas hujan, gemulai, jujur, dan penuh makna. Setiap lengkungan tubuhnya seperti menyampaikan doa kepada bumi, seolah berkata, “Kami masih menari, menjaga warisan agar tak tergerus oleh waktu.”

“Selamat datang di Banua, Bu,” ucap salah satu panitia dari Dinas Pariwisata. “Itu Tari Itik, kebanggaan Hulu Sungai Utara.” paparnya kemudian, dengan penuh rasa bangga.

Aku tersenyum. Tapi di hati, ada sesuatu yang mengalir, semacam rasa haru yang tak bisa dijelaskan oleh logika, hanya bisa dirasakan oleh jiwa.

Jejak Asal yang Penuh Makna

Tari Itik berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, tanah yang dilingkari rawa dan dialiri sungai-sungai kecil yang menyejukkan pandang. Tarian ini lahir dari tangan kreatif Gusti Jamhar pada tahun 1992, terinspirasi oleh kehidupan itik yang menjadi sahabat petani di Banua.

Dalam kesederhanaannya, ia menemukan filosofi besar: itik adalah lambang kerja keras, kebersamaan, dan kesetiaan pada alam. Ia bergerak beriringan, hidup dari air, dan tak pernah berhenti mencari kehidupan, begitulah manusia Banua menjalani hari-harinya: tekun, ikhlas, dan selalu pulang kepada tanah yang melahirkannya.

“Kami menarikan ini untuk mengenang leluhur kami, Bu,” ujar salah satu penari muda dengan mata berbinar.

“Tari Itik bukan hanya pertunjukan, ia adalah cara kami menjaga ingatan yang hampir terlupa.”

Aku menatapnya lama, dan dalam diam aku tahu, inilah yang disebut cinta kepada akar budaya, cinta yang tak butuh kata-kata besar, cukup diwujudkan dalam gerak yang jujur dan hati yang bergetar.

Warna yang Menyala dari Dalam

Busana para penari seolah berbicara tanpa suara. Kuning keemasan yang mereka kenakan memantulkan cahaya senja, lambang harapan dan keteguhan hati. Hijau zamrud di dada dan lengan melukiskan kesuburan tanah Banua, sementara mahkota berbentuk kepala itik menjadi pernyataan cinta kepada alam yang menjaga.

Setiap warna adalah bahasa rahasia: doa untuk kesejahteraan, lambang dari kehidupan yang seimbang.

Dan ketika tangan-tangan itu mengepak lembut, seperti sayap itik yang mengusir embun di pagi hari, aku bisa merasakan keheningan yang berisi, hening yang berbicara tentang kesetiaan kepada bumi, kepada akar, kepada sejarah.

“Kami berlatih setiap minggu, Bu,” kata sang penata tari. “Agar setiap gerak bukan hanya indah, tapi juga punya ruh.”

Ruh, iya, itulah kata yang paling tepat. Tarian ini bukan hanya tentang tubuh yang bergerak, tapi tentang jiwa yang berdialog dengan waktu.

Mengapa Tari Ini Jadi Ikon Kalimantan Selatan

Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Utara menjadikan Tari Itik sebagai ikon budaya Kalimantan Selatan. Bukan semata karena keindahannya, tetapi karena pesannya yang dalam, bahwa masyarakat Banjar hidup dari alam, dengan alam, dan untuk alam.

Di bawah inisiatif Wonderful Indonesia, Tari Itik kini tampil di berbagai ajang nasional dan internasional. Dan siang itu, aku menyaksikan sendiri bagaimana keanggunannya mengubah ruang bandara menjadi panggung jiwa, panggung di mana budaya tidak dipertontonkan, tapi dihayati.

“Kami ingin setiap tamu yang datang ke Banua tahu,” kata seorang petugas pariwisata, “bahwa tanah ini bukan hanya kaya sumber daya, tapi juga kaya rasa, kaya nurani.”

Kalimat itu terasa seperti mantra yang menenangkan. Kalimantan Selatan bukan hanya tempat orang bekerja, tapi juga tempat budaya berdiam dengan lembut.

Menari dalam Harmoni Banua

Aku duduk diam setelah pertunjukan selesai. Suara musik berhenti, tapi keindahan itu masih bergema di dada. Di tengah ruang bandara yang meriah, aku menyadari sesuatu yang sederhana tapi dalam, bahwa budaya adalah bentuk paling halus dari doa manusia kepada alam.

Sebagai auditor lingkungan, aku terbiasa menghitung angka, menilai data, dan menimbang dampak. Namun siang itu, di bawah kilau lampu terminal, aku belajar tentang nilai yang tak bisa diukur, yaitu rasa.

Budaya menjaga keseimbangan batin manusia sebagaimana pohon menjaga keseimbangan bumi.

“Terima kasih sudah menonton, Bu,” kata seorang penari muda sambil menunduk sopan.

Aku menatap mereka dengan bangga, “Teruslah menari. Dunia sedang kelelahan. Gerakmu adalah pengingat bahwa kehidupan masih bisa seindah ini.”

Di Bawah Sayap yang Menyala

Ketika mobil penjemput yang akan mengantarku menuju lokasi audit tiba, aku sempat menoleh sekali lagi. Tiga penari itu kini berdiri di sisi ruangan, membenahi kostum mereka sambil tertawa kecil. Pantulan lampu bandara membuat hiasan kepala mereka tampak seperti sayap cahaya.

Dan, di sanalah aku mengerti, Banua tidak hanya menambang kekayaan bumi, tapi juga menambang cahaya budaya.

Dalam catatan perjalananku hari itu, aku menulis satu kalimat yang terasa abadi.

“Tari Itik bukan hanya tentang gerak, tapi tentang cara Banua berbicara kepada langit: bahwa kerja keras pun bisa seindah doa, dan budaya adalah cara manusia berterima kasih kepada bumi.”❤‍🔥🎀🌹

Bumi Allah, 20 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *