SIANG itu, suasana arena pertandingan karate di Pekan Olahraga Nasional (PON) Beladiri II 2025 Kudus mendadak berubah khusyuk. Karpet digelar menutupi lantai gelanggang, matras pertandingan disingkirkan sementara, dan ratusan insan olahraga—atlet, pelatih, wasit, hingga ofisial dari berbagai provinsi—berjamaah dalam salat Jumat.
Di tengah-tengah suasana itu, sosok khatib naik ke mimbar dadakan nan sederhana yang disiapkan panitia. Dialah Ustadz Munandar Maska, wasit karate nasional asal Sumatera Barat, yang juga Ketua Masjid Raya Ganting Padang, salah satu masjid bersejarah di Indonesia.
Dengan suara teduh namun tegas, Munandar membuka khutbah dengan tema “Manusia yang Tidak Diterima Amalannya.” Sebuah pesan reflektif di tengah atmosfer kompetisi yang sarat semangat juang dan gengsi antar daerah.
“Banyak manusia berbuat amal, tapi tidak diterima oleh Allah karena hatinya tidak bersih. Karena sibuk mencari kesalahan orang lain, karena lebih cinta dunia, karena kehilangan rasa malu,” ujar Munandar dalam khutbahnya yang membuat jamaah hening mendengarkan.
Ia mengingatkan, di dunia olahraga yang penuh dinamika dan ambisi, godaan dunia sering kali datang tanpa disadari.
“Dunia ini hanya setetes, sementara akhirat itu seluas samudera. Jangan kita tertipu oleh setetes itu,” katanya lagi.
Munandar juga menyinggung soal malu sebagai bagian dari iman, menegaskan pentingnya menjaga integritas dalam setiap langkah, baik di lapangan maupun di luar arena.
“Kalau malu hilang, maka hilanglah iman. Maka berhati-hatilah ketika kita merasa biasa saja berbuat salah,” ucapnya menutup khutbah dengan nada menyejukkan.
Selepas salat Jumat, banyak atlet dan ofisial menghampirinya. Beberapa bahkan mengaku terinspirasi oleh pesan khutbah tersebut.
“Luar biasa, khotbahnya sederhana tapi mengena. Kami jadi diingatkan untuk menjaga niat dalam bertanding,” ujar salah seorang atlet asal Sulawesi.
Kehadiran Munandar Maska di arena PON Beladiri Kudus bukan hanya sebagai wasit yang menegakkan aturan pertandingan, tapi juga sebagai sosok yang menegakkan nilai-nilai keimanan di tengah kompetisi nasional.
Di antara gemuruh semangat medali dan perjuangan atlet, suara khatib dari Padang itu menjadi pengingat bahwa kemenangan sejati bukan hanya di podium—melainkan ketika amal kita diterima di sisi Tuhan. (hendri parjiga)
