Padang yang Membara

Oleh : Mutiara Maharani*)

Sejak awal berkuliah di Universitas Negeri Padang yang berlokasikan di Air Tawar, Padang saya merasakan banyak hal baru. Yang utama adalah Culture Shock dari segi dunia perkuliahan dan tugas-tugas yang menumpuk.

Namun, ternyata bukan hanya itu saja. Ada satu hal yang paling membuat saya terkejut yaitu “Panasnya Kota Padang”. Jujur saja ternyata cuaca juga menjadi salah satu bagian dari Culture Shock yang saya rasakan.

Di kota asal saya cuacanya, memang terkadang terik juga, tapi ketika angin berhembus masih ada rasa sejuk. Ini berbanding terbalik begitu pindah ke Padang karena rasa panasnya menurut saya berbeda ini dikarenakan panas Padang lebih terasa “menusuk”.

Keluar dari kos hanya untuk sekedar mencari makan siang saja suduh cukup untuk membuat tubuh berpeluh, maka hal lumrah sudah dapat dilihat di sekitaran Kampus Universitas Negeri Padang ini banyak mahasiswa yang menggunakan payung agar “bersembunyi” dari paparan panas matahari yang menusuk tersebut. 

Sebagaimana kita biasanya membahas mengenai Culture shock yang berisi konteks perbedaan budaya, bahasa atau kebiasaan sosial.

Namun ternyata, iklim pada akhirnya bisa masuk kedalam salah satu konteks Culture Shock tersebut. Panasnya Padang bukan hanya fenomena alam, tetapi juga sesuatu yang membentuk pola hidup warganya, termasuk mahasiswa seperti saya.

Di kampus pada saat kegiatan belajar mengajar, untungnya kampus Universitas Negeri Padang ini telah memfasilitasi tiap tiap ruangan kelas dengan AC. Banyak ditemui kelas-kelas yang setidaknya sudah memakai 2 AC atau bahkan ada juga kelas yang memiliki 3 AC di dalamnya.

Maka dalam hal ini banyak teman teman mahasiswa yang bahkan rela mencari kelas lain, jika AC yang ada di dalam kelas yang sedang digunakan itu sedang tidak bisa digunakan/mati karena tidak tahan dengan hawa panas yang ada. 

Di kantin, minuman dingin seperti pop ice, es jeruk, atau teh es selalu jadi incaran utama yang sering dibeli oleh mahasiswa jika jadwal kelas mereka usai di siang hari. Cuaca panas ini juga berdampak pada kegiatan luar ruangan. Contohnya yaitu kerja kelompok. Banyak teman-teman saya berkerumun di suatu cafe yang memiliki AC di dalamnya.

Cuaca panas sebenarnya sangat mempengaruhi mood. Ketika ada kelas dengan jadwal siang seperti jam 13.20 maka kami para mahasiswa biasanya akan merasa cepat Lelah, kesulitan berkonsentrasi di dalam kelas, bahkan dampak yang paling buruk yaitu menjadi gampang emosi karena gerah yang dirasakan. 

Baru kali itu saya sadar betapa besar pengaruh cuaca terhadap suasana hati. Untungnya, saya punya teman-teman asli Padang yang selalu bisa mencairkan suasana dengan humor khas mereka. Saat saya mengeluh soal panas, mereka biasanya hanya tertawa dan berkata, “Kalau nggak panas, bukan Padang namanya.”

Panas yang sering saya alami sebagai pengalaman pribadi saya ini, membuat saya berpikir dan mulai membaca berita berita dan artikel artikel yang membicarakan bagaimana cuaca ekstrem di Padang ini erat kaitannya dengan isu isu perubahan Iklim. 

Para ahli mengatakan, Padang sebagai kota pesisir akan lebih dulu merasakan dampaknya. Dapat dilihat juga dari letak kampus Universitas Negeri Padang ini yang bisa dikatakan sangat dekat dengan pantai. Hanya berjarak beberapa meter dari lingkungan kampus, pantai sudah nampak terlihat.

Biasanya pantai pantai tersebut menjadi spot favorit sebagai tempat nongkrong mahasiswa pada saat sore, membuat tugas, bercanda ria atau sekedar melihat indahnya pemandangan laut. Kami para mahasiswa sering menyebutnya pantai Parkit atau Pantai Gajah.

Lalu sebagai mahasiswa apa yang mesti diperbuat? Sebagai mahasiswa tentu saya tidak bisa langsung mengubah kebijakan kota. Tapi saya percaya pada langkah langkah kecil yang kita lakukan dapat mempunyai arti. 

Misalnya diskusi tentang lingkungan dan mungkin saja dapat dibentuk sebuah komunitas yang difasilitasi atau dibantu oleh pihak kampus untuk mulai menanam pepohonan pepohonan hijau di sekitar lingkungan kampus. 

Selain itu, saya sebagai mahasiswa belajar menyesuaikan diri. Misalnya membawa payung pada siang hari dan membawa tumblr berisikan air putih dingin jika ada jadwal kelas pada siang hari. Maka dari itu ada satu hal yang sebenarnya perlu diperhatikan, yairu ruang terbuka hijau (RTH) di lingkungan kampus sudah sebaiknya ditambah agar setidaknya ada tempat untuk berteduh dari panasnya cuaca Padang ini.

Kini, setelah beberapa bulan, saya mulai terbiasa. Panas tetap ada, keringat tetap bercucuran, tapi hati sudah lebih bisa menerima. Kadang, saat sore tiba dan matahari tenggelam, saya justru merasa beruntung bisa mengalami hal ini. Panas Padang yang dulu membuat saya kaget, sekarang jadi bagian dari cerita perantauan saya di Universitas Negeri Padang.

Barangkali, begitulah cara sebuah kota mendidik kita. Tidak hanya lewat dosen dan ruang kelas, tapi juga lewat terik matahari yang menyengat. Panas Padang adalah sebentuk culture shock yang pada akhirnya membentuk cara pandang saya: bahwa hidup memang penuh kejutan, dan kita hanya perlu belajar beradaptasi dengan kepala dingin, meski tubuh kepanasan. []

Mahasiswi Semester 5, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang*)

Exit mobile version