Pajak untuk Bayar Utang

Oleh : Gusfahmi Arifin, SE., MA.*)

Ketika terjadi kekurangan/kekosongan kas negara (Baitul Mal), yang tidak terpenuhi dari sumber pendapatan negara yang utama, yaitu Ghanimah, Fa’i, Jizyah, Kharaj, ‘Usyur dan Zakat, maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Jika kebutuhan itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka khalifah diperbolehkan memungut Pajak (Dharibah) atau berutang untuk mendanai pengeluaran dimaksud.

Ijtihad memungut Pajak (Dharibah) harus memenuhi dua syarat: 1) Penerimaan pajak harus dipandang sebagai amanah dari rakyat dan harus dibelanjakan secara jujur dan efisien; dan 2) Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka yang wajib membayarnya.

Selama para pembayar pajak itu tidak memiliki jaminan bahwa dana yang mereka setor kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif, untuk mewujudkan maqadhid syari’ah, mereka tidak akan bersedia sepenuhnya bekerja sama dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak, dengan mengabaikan berapapun kewajiban moral untuk membayar pajak .

Banyak negara-negara muslim di dunia memiliki kekayaan berupa Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batu bara, gas alam, timah, bauksit, nikel, tembaga, emas, perak, kayu, ikan, dan berbagai sumber daya alam lainnya, namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill).

Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, negara dapat mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan pajak. Hal ini juga terjadi pada pemerintah Republik Indonesia.

Dalam APBN 2023, salah satu alokasi pengunaan dana yang terbesar adalah untuk pelunasan bunga utang, yaitu Rp441,4 triliun dari total utang pemerintah secara keseluruhan sebesar Rp.7.123,6 triliun. Pelunasan bunga utang Rp441,4 triliun jika dibandingkan dengan total belanja negara Rp3.613 triliun adalah 12,3%. Artinya, 12,3% dari APBN hanya untuk membayar bunga utang.

Jika bunga utang dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2023, yaitu Rp1.718 triliun, maka pelunasan bunga utang Rp441,4 triliun setara dengan 25,6% dari penerimaan pajak 2023, artinya, 25,6% uang pajak hanya digunakan untuk membayar bunga utang!

Ini adalah suatu kekeliruan besar dalam penggunaan uang Pajak. Jika total utang Rp.7.123,6 triliun dibagi dengan 275,7 juta penduduk Indonesia, maka masing-masing jiwa harus menanggung utang sekitar Rp. 25,8juta!

Memperhatikan hal demikian, maka sudah selayaknya pemerintah mengkaji ulang utang-utang negara yang sudah dibuat, apakah masih layak disebut utang negara yang harus dibayar dengan APBN yang bersumber terbesar dari pajak?

Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis (2022-2023) (Miliar Rupiah)

NoFungsiLKPP 2022LKPP 2023
1Belanja Pegawai416.619,5442.539,4
2Belanja Barang406.015,1376.934,4
3Belanja Modal232.772,3209.190,0
4Pembayaran Bunga Utang403.871,5441.400,0
5Dalam Negeri391.697,7426.800,0
6Luar Negeri12.173,814.600,0
7Subsidi284.585,1298.497,1
8Belanja Hibah5.031,610,1
9Bantuan Sosial143.666,1148.565,2
10Belanja Lain-Lain477.462,2329.321,7
Jumlah2.370.023,32.246.457,9

Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan 2023

Berutang dalam Islam dibolehkan, asalkan sesuai dengan syari’ah (QS. Al Baqarah [2]:282), yaitu: 1) tidak mengandung riba (QS. Al Baqarah [2]: 275); 2) untuk solusi sementara, tidak diambil kecuali pada keadaan darurat dan diyakini mampu melunasinya (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 2/86), baik untuk perorangan maupun untuk negara.

Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan (utang), dan beliau menggadaikan baju besinya (HR. Bukhari no. 2916). Beliau pernah juga berutang hingga datang harta (pemasukan), lalu beliau melunasinya (HR. Baihaqi no. 6/44).

Imam Nawawi mengatakan bahwa negara boleh berutang, dengan syarat: 1) Untuk kepentingan publik (masalah ‘ammah); 2) tidak menzalimi pihak pemberi pinjaman; dan 3) ada komitmen untuk melunasi. Ibnu Khaldun (kitab Muqaddimah, hal. 327) mengingatkan,”Ketika penguasa berlebihan dalam pembiayaan negara hingga harus berutang dan menaikkan pajak, maka itu tanda awal kehancuran peradaban.”

Utang negara yang sudah dibuat pemerintah, haruslah dibuat secara terbuka, disetujui oleh DPR sebagai dewan syura dan hasilnya dapat di audit. Korupsi, mark-up atau penyalahgunaan dana utang adalah khianat terhadap amanah umat (lihat QS. An-Nisa’ [4]: 58).

Pembangunan kereta api cepat bernama Whoosh, rute Jakarta ke Bandung misalnya, dengan cara berutang kepada pemerintah China, seharusnya dikaji dahulu tingkat kepentingannya, apakah sudah betul-betul mendesak (al-hājat) atau hanya ‘keinginan’ (al-raghbat).

Seandainya dibangun dengan dana utang, lalu utang dibayar dengan pajak yang merupakan amanah umat, hal tentu tidak sesuai dengan syari’ah, karena hal itu belum mendesak. Uang pajak (Dharibah) hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan pokok rakyat seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, bukan untuk hal-hal yang tidak mendesak dan mubazir. Wallahu a’lam. []

Gusfahmi Arifin, SE., MA. adalah Mahasiswa S3 Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, bekerja sebagai Penyuluh Pajak Ahli Madya di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau.*) 

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi dimana penulis bekerja.*) 

Exit mobile version