Narasi Reflektif: Dua Putri Santun dari Kota Bandung 🌸

Oleh : Ilda Peliana*)

Ada masa di mana seorang ibu belajar melepaskan, ketika satu per satu anak yang dulu digandeng dengan tangan kecilnya kini melangkah jauh menjemput ilmunya.

Dua putriku—anak ketiga dan keempat—menempuh pendidikan tinggi di Bandung, kota yang sejuk, ramah, dan santun. Udara yang menenangkan, lingkungan yang hangat, serta budaya. Ada rasa khawatir ketika melepas anak gadis belajar ke pulau Jawa. Tidak semua orang tua yang ikhlas melepas anak apalagi anak perempuan merantau.

Masyarakatnya yang sopan seolah ikut membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang lembut, peduli, dan penuh kasih.

Aku percaya, pergaulan mereka di kampus, teman-teman yang beretika, serta para dosen yang memberi teladan dengan sikap santun, turut mempengaruhi cara mereka berpikir dan bersikap. Dari sana, aku melihat bagaimana pendidikan sejati tidak hanya mengasah kecerdasan, tapi juga menghaluskan hati dan menumbuhkan rasa hormat terhadap orang lain—terutama kepada orang tua.

Kedua putriku sama-sama memiliki kepekaan dan kesantunan yang membuat hati ini hangat. Kakaknya telah lebih dulu menamatkan kuliah dengan penuh tanggung jawab, sementara sang adik baru saja menyusul dengan kebanggaan tersendiri. Di antara keduanya, aku menemukan benang merah yang indah: kedewasaan, kepedulian, dan rasa hormat yang tumbuh tanpa dibuat-buat.

Saat momen wisuda sang adik tiba, aku dan ayahnya berangkat berdua menghadirinya. Sejak jauh hari, anakku itu telah menyiapkan segalanya dengan penuh perhatian—memesan tiket, mencarikan penginapan yang nyaman namun hemat, hingga memastikan kami makan dengan baik.

Setiap ucapannya lembut, setiap tindakannya menunjukkan kasih. “Hati-hati ya, Nda,” katanya tiap kali kami berpindah tempat. Kalimat sederhana, tapi begitu menenangkan hati seorang ibu.

Sementara itu, sang kakak yang sudah lebih dulu tamat, dengan penuh tanggung jawab membantu semua keperluan dari rumah. Ia memastikan semuanya berjalan lancar, seolah ingin ikut hadir lewat kepeduliannya. Bahkan dari jauh, ia tetap berkoordinasi dengan adiknya, memastikan kami selamat sampai tujuan.

Ada satu momen kecil namun berkesan. Dalam perjalanan pulang, ponselku tak bisa dihubungi karena kehabisan pulsa. Tak lama kemudian, sang adik menelepon dengan suara cemas, “Bunda kok nggak aktif? Aku kirim pulsa ya.” Rupanya, ia sempat menghubungi kakaknya di Padang yang mencoba menelpon lewat WhatsApp tapi tak berdering.

Mereka berdua sama-sama khawatir, memastikan kami baik-baik saja. Dari kejadian kecil itu, aku merasakan kasih sayang dalam bentuk paling tulus—perhatian yang lahir dari cinta dan rasa hormat kepada orang tua.

Kini aku mengerti, keberhasilan sejati bukan hanya tentang toga dan gelar yang disematkan, tetapi tentang hati yang tumbuh dengan kasih, kesantunan, dan kepedulian.

Dua putriku yang belajar di Bandung telah membuktikan, bahwa pendidikan sejati bukan hanya di ruang kuliah, tapi juga di setiap interaksi, di setiap nilai hidup yang diteladankan oleh lingkungan yang baik.

Sebagai seorang ibu, aku merasa sangat bersyukur. Melihat mereka tumbuh menjadi putri yang berilmu, berakhlak, dan berhati lembut adalah anugerah yang tak ternilai. Bandung mungkin menjadi saksi perjalanan mereka, tapi yang paling indah adalah bagaimana kota itu turut membentuk kepribadian dua anakku menjadi pribadi yang santun, hangat, dan penuh kasih.

Jaga kepribadian mu nak! Tetaplah jadi wanita yang berkarakter baik. Sebagai orang tua kami yakin kalau kamu baik pasti dapat lingkungan kerja yg baik dan dapat jodoh orang baik pula.

Selamat bua ‘anak gadis kembar di luar rahim bunda’

Maro Bungo Sabtu, 18 Oktober 2025

Penulis adalah Instruktur Nasional PKB Kemenag RI 2021–2024, Pengawas Madrasah Kemenag Kota Padang*)

Exit mobile version