Oleh : Nadia Kirana Velisa*)
Influencer merupakan bagian dari strategi pemasaran dengan cara memilih atau menunjuk orang (public figure) yang dianggap dapat memengaruhi masyarakat atau target konsumen yang dijadikan sebagai sasaran promosi dari merk produk (Wirapraja, Alexander, Hariyanti, Novi Tri: 2018).
Di era digital ini, influencer memiliki peran penting dalam memengaruhi keputusan pembelian, tren dan gaya hidup. Influencer media sosial adalah individu yang dianggap sebagai panutan di media sosial dalam minat tertentu seperti kecantikan, makanan, gaya hidup dan fashion (Bruns,2018).
Audiens begitu percaya kepada influencer karena audiens menganggap bahwa memiliki kedekatan hubungan personal karena merupakan influencer yang ia sukai. Ketika audiens menyukai salah satu influencer, maka ia akan melihat keseharian influencer melalui media sosial sehingga muncul kepercayaan.
Hasil riset dari Tirto dan Jakpat menunjukkan bahwa dari seluruh responden survei mayoritas 77,28% mengaku menonton atau melihat konten influencer setiap hari. Hasil survei juga menunjukkan 63,39% mengikuti akun influencer di media sosial, dengan rincian influencer fashion dan kecantikan 47,26% serta influencer keuangan (45,63 persen). Mayoritas responden yang mengikuti influencer fashion dan kecantikan adalah perempuan, sedangkan influencer keuangan, sebaliknya, banyak diikuti laki-laki.
Dari survei Tirto dan Jakpat (2025) menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengikuti influencer fashion dan kecantikan. Tak dapat dipungkiri hal ini tidak lagi sebuah fenomena yang mengejutkan karna di era sekarang tampilan dan perawatan lebih dipandang. Salah satu produk kecantikan yang paling sering dirivew oleh influencer yaitu skincare.
Fenomena review skincare oleh influencer ini menimbulkan dua sudut pandang. Di satu sisi dengan adanya review influencer ini dapat membantu audiens dalam menemukan produk yang cocok dan bagus untuk kulitnya.
Bahasa dan gaya influencer yang mudah dimengerti dan tidak monoton seperti di televisi membuat audiens semakin yakin. Serta visual yang ditampilkan menarik dan kreatif membuat audiens merasa ingin membeli produk tersebut. Tak heran jika brand kecantikan kerjasama dengan influencer sebagai strategi pemasaran dalam memasarkan produk.
Namun, di sisi lain muncul keraguan, review skincare tanpa memperlihatkan kelemahan produk, yang tentu saja berdampak menimbulkan keraguan pada diri audiens. Review influencer ini berdasarkan pengalaman pribadi atau sekedar promosi.
Permasalahan juga dapat muncul ketika ekspektasi audiens tidak sesuai dengan review influencer. Contohnya, “kulit glowing dalam tujuh hari” atau “bekas jerawat langsung memudar” yang dapat menimbulkan kekecewaan bahkan hilangnya rasa kepercayaan terhadap influencer.
Apalagi reaksi khasiat skincare amat tergantung pada karakteristik kulit wajah masing-masing yang berdasarkan faktor genetik, pola makan, hingga gaya hidup. Produk skincare yang cocok di kulit influencer belum tentu cocok di kulit audiens.
Selain itu, pola konsumsi media sosial dapat memperkuat pengaruh review skincare. Konten yang menampilkan before-after dalam waktu yang singkat sehingga lebih cepat viral dan menarik perhatian audiens. Meski di balik itu memerlukan waktu yang panjang tetapi influencer menunjukkan hasil yang singkat dan memukau.
Pengaruh persepsi ini yang membuat audiens merasa percaya terhadap produk skincare yang belum tentu memberikan efek yang sama di setiap individu.
Fenomena ini juga menjadi faktor psikologis yaitu Fear Of Missing Out (FOMO) yang membuat audiens harus membeli produk setelah melihat riview dari influencer. Ketika produk tersebut sedang viral, muncul keinginan untuk membeli agar tidak ketinggal tren atau takut tudak mengikuti trend yang sedang viral. Hal ini yang menjadikan influencer sebagai referensi utama yang membuat audiens tidak lagi melakukan riset yang mendalam sebelum membeli.
Meski begitu, tidak semua influencer yang bersikap berlebihan. Ada influencer yang tetap menjaga kredibilitasnya dengan berusaha riview secara transparan dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan produk. Beberapa influencer yang masih memiliki pengikut lebih sedikit justru lebih dipercaya karena riview berdasarkan pengalaman pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa audiens lebih menghargai kejujuran daripada kata-kata manis untuk promosi.
Fenomena ini menjadikan audiens untuk lebih kritis lagi terhadap review influencer. Jangan hanya terpaku ke dalam satu informasi saja, melainkan perlu mencari informasi dari berbagai sumber dengan membaca ulasan dari media sosial dan testimoni konsumen yang telah membeli produk tersebut. Dengan berpikir kritis ini review influencer bisa menjadi referensi tapi tidak menjadi dasar dalam mengambil keputusan untuk membeli.
Review influencer khususnya di bidang kecantikan dan skincare tidak bisa dilepas dari pemasaran digital. Influencer berada di kredibilitas dan promosi, antara kejujuran dan pengalaman pribadi dan kontrak kerjasama dengan brand. Jika audiens dapat memahami bahwa review yang diberikan influencer tidak semuanya benar, maka review menjadi sebuah pertimbangan.
Kuncinya berada di literasi digital dan kesadaran konsumen. Audiens perlu membangun kebiasaan untuk menyaring informasi, tidak sekedar ikutan tren atau fomo dan menyadari akan hal bahwa setiap kulit memiliki kebutuhan yang berbeda.
Influencer memang memiliki pengaruh yang besar namun keputusan pembelian tetap berasal dari audiens. Dengan berpikir kritis audiens dapat terhindar dari ekspektasi yang tinggi dan menghindari kekecewaan apabila produk yang digunakan tidak sesuai dengan review. []
Mahasiswi Semester 5, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang*)
