JAKARTA, FOKUSSUMBAR.COM – 10 nominasi pemenang Sastra BRICS telah diumumkan pada Senin, 27 Oktober 2025. Konferensi pers diselenggarakan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (Kompleks TIM Jakarta). Acara ini berlangsung di lantai empat Gedung Ali Sadikin dan dapat diakses secara daring oleh peserta dari berbagai negara.
Pembicara konferensi pers meliputi Sastri Bakry, Koordinator Nasional Jaringan Sastra BRICS di Indonesia, Vadim Teryokhin, penyair, tokoh masyarakat, Koordinator Umum Asosiasi Penulis BRICS, Wakil Ketua BRICS Literature Network (Rusia), Dr. Ganjar Harimansyah, Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), Nikita Sergeevith Shilikov, Direktur Russian House dan Ir Shadiq Pasadique, anggota DPR RI.
Para narasumber menyoroti peran penting penghargaan ini dalam mendorong kerja sama kemanusiaan, memperkuat tradisi sastra, dan membangun nilai-nilai bersama di antara negara-negara BRICS.
Dalam sambutannya, Sastri Bakry menegaskan kami sangat senang mengumumkan daftar shortlist Penghargaan Sastra BRICS 2025 di Indonesia. Penghargaan ini tidak hanya mengapresiasi karya sastra yang luar biasa dari negara-negara BRICS, tetapi juga mendorong pertukaran budaya dan kerja sama antarnegara.
“Khususnya bagi Indonesia, kesempatan ini mendekatkan kita pada dunia dan memperkenalkan kekayaan warisan budaya kita kepada audiens global,” ucap Sastri Bakry yang juga Ketua DPD SatuPena Sumbar.
Vadim Teryokhin menambahkan bahwa penghargaan BRICS memberikan peluang bagi penulis-penulis kontemporer dari berbagai negara untuk saling mengenal karya masing-masing, menilai posisi mereka dalam proses sastra global, dan menerapkan praktik terbaik dari rekan-rekan mereka di ranah kreatif mereka sendiri.
“Yang terpenting, kami mempersembahkan kepada pembaca dunia pengalaman unik tentang perkembangan dan karakter nasional bangsa kita. Penghargaan ini berkontribusi pada pengembangan kerja sama budaya, saling memperkaya khazanah sastra, memperkuat persaudaraan, saling pengertian, dan diplomasi antarbangsa,” ujarnya.
Penghargaan Sastra BRICS adalah penghargaan internasional baru yang didirikan pada November 2024 saat digelarnya Forum BRICS.
Penghargaan ini mendukung penulis-penulis kontemporer yang karyanya mencerminkan nilai budaya dan spiritual negara-negara BRICS, serta mendorong perkembangan penerjemahan dan penerbitan buku-buku baru.
Komite penyelenggara membentuk dewan juri yang terdiri dari para ahli dalam bidang sastra dan ilmu pengetahuan dari setiap negara. Pengajuan nominasi dapat dilakukan oleh anggota juri atau perwakilan yang mereka tunjuk (nominator).
Pemenang dipilih melalui tiga tahap, daftar panjang telah diumumkan sebulan yang lalu pada bulan September, di Forum BRICS kedua di Brasilia. Pemenang penghargaan Sastra BRICS akan diumumkan pada tanggal 27 November di Khabarovsk, Rusia.
Shortlist tahun 2025 mencakup 10 penulis yang mewakili negara-negara BRICS, Brasil: Ana Maria Gonçalves, Rusia: Alexey Varlamov, India: Sonu Saini, Tiongkok: Ma Boyong, Afrika Selatan: Nthabiseng JahRose Jafta, Uni Emirat Arab: Reem Al Kamali, Ethiopia: Abere Adamu, Iran: Mansour Alimoradi, Indonesia: Denny JA dan Mesir: Salwa Bakr.
Denny JA terpilih mewakili Indonesia
Nominasi dari Indonesia, penulis kenamaan Denny JA, berhasil meraih simpati juri menjadi pemuncak mewakili Indonesia. Bagi Denny penghargaan Sastra BRICS sepatutnya sejajar dengan Nobel Sastra.
“Jangan biarkan Hadiah Nobel tetap menjadi satu-satunya kompas sastra dunia. Selama lebih dari satu abad, setiap tahun umat manusia menantikan Stockholm –menunggu siapa yang akan berbicara atas nama kemanusiaan kali ini. Namun, sastra tidak boleh menjadi monarki nilai yang dikendalikan dari satu kutub peradaban. Di sinilah Penghargaan Sastra BRICS muncul–bukan untuk menyingkirkan Nobel, melainkan untuk melengkapinya. Penghargaan ini menawarkan kompas baru bagi sastra dunia–lebih beragam, lebih manusiawi, dan lebih adil,” ulasnya.
Ia menekankan bahwa negara-negara BRICS+ mewakili semangat Global South dan menyatukan hampir setengah penduduk dunia.
“BRICS telah menjadi poros baru peradaban global—tempat bersatunya nilai-nilai kuno dan visi modern, tempat suara-suara yang dulu dibungkam kini menemukan gaungnya. Dari semangat inilah Penghargaan Sastra BRICS lahir—untuk merayakan karya dari bangsa-bangsa yang terlalu sering dilabeli ‘pinggiran’ oleh pandangan Barat. Sebab di tanah-tanah inilah detak jantung kemanusiaan juga bergetar—dalam, kuat, dan tulus,” ucapnya.
Demikian Denny JA sebagai mana kutipan dalam berita internasional. Ia meyakini bahwa sastra BRICS mengembalikan keseimbangan gravitasi narasi dunia.
“Sastra BRICS berbicara untuk mereka yang lama tak terdengar –mereka yang pernah dijajah, para pekerja migran, masyarakat adat, perempuan di pinggiran kekuasaan. Selatan bukanlah subjek untuk dipelajari; ia adalah paduan suara yang harus didengar.”
Ia menyoroti peran unik sastra sebagai diplomasi yang paling lembut namun paling kuat. “Di zaman ketika politik dipagari sanksi dan tembok, sastra bergerak secara sunyi–melalui halaman-halaman, melalui hati, melalui empati. Jika G7 berbicara melalui kebijakan, maka BRICS dapat berbicara melalui puisi. Dalam wujud terbaiknya, sastra bukan propaganda–ia adalah wahyu,” tuturnya.
Sang penulis merangkum, bagi saya, BRICS adalah jembatan jiwa—pertemuan peradaban yang tidak berlomba-lomba untuk dominasi, melainkan untuk saling memahami. Sastra bukanlah kemewahan di masa damai, tetapi benih dari perdamaian itu sendiri.
“Marilah kita menulis dalam bahasa kasih sayang, menerjemahkan bukan hanya kata-kata melainkan juga dunia, dan mengingatkan manusia bahwa imajinasi juga adalah bentuk keadilan. Sebab ketika kekaisaran runtuh dan pasar berubah menjadi debu, yang tersisa—adalah kisah-kisah. Dan melalui kisah-kisah itulah, kita akan mengenang siapa kita dulu, siapa kita sekarang, dan siapa—bersama-sama—kita masih berani menjadi,” pungkasnya. (rls)
