Ilmu, Tanah, Batu, dan Cinta Bumi Bertemu di Sorowako
Essay : Nurul Jannah*)
Langit Menjadi Atap Kelas
Pukul dua belas kurang sedikit, matahari menggantung nyaris tepat di ubun-ubun. Udara panas menekan kulit, memantul dari permukaan tambang yang berwarna merah bata menyala, seperti bara yang masih hidup. Debu halus menari di udara, sementara angin kering membawa aroma logam dan tanah basah yang samar.
Di hadapan kami, hamparan bekas galian bumi terbentang luas, sunyi, tapi seolah sedang berbicara. Tak ada proyektor, tak ada layar presentasi. Yang ada hanya batu, tanah, dan langit yang menjadi saksi pertemuan ilmu dan kesadaran.
“Baik, teman-teman,” seru Dr. Irdika, Ketua Tim Audit dan ahli reklamasi tambang IPB University, dengan suara hangat tapi berwibawa.
“Sekarang, kita mulai kuliah lapangan tentang batu bersama Prof. Iskandar!”
Kami: Pak Charles, Pak Andri, Pak Abkar, Bu Bela, Bu Febry, Bu Nisa, Pak Febriyanto, Dr. Irdika, Dr. Fitri, Dr. Edi, dan aku sendiri, tersenyum, setengah menahan panas, setengah menahan takjub.
Di bawah helm putih dan rompi oranye, kami mendadak berubah menjadi mahasiswa geologi satu hari, sementara Prof. Iskandar menjadi dosen lapangan yang mengajar dengan bahasa bumi, bukan buku.
Batu Bicara dalam Bahasa Unsur Bumi
Prof. Iskandar menunduk, mengambil sepotong batu berwarna gelap kehijauan, lalu mengangkatnya tinggi ke arah cahaya matahari. “Perhatikan warnanya,” katanya, suara beratnya nyaris kalah oleh desir angin siang.
“Dari batu, lapuk menjadi tanah yang berwarna merah bata kekuningan, bahkan mendekati jingga. Warna ini berasal dari oksida besi yang tinggi, hasil pelapukan batuan ultrabasa selama jutaan tahun.”
Beliau menggenggam batu itu erat, seolah sedang memegang rahasia umur bumi. “Batuan induk tanah ini kaya dengan mineral² fero-magnesium silikat, campuran antara fero (besi) dan magnesium.”
Aku mendekat, memperhatikan kilau halus di permukaannya. “Jadi warna merah ini bukan hanya cantik, ya, Prof?” tanyaku.
Prof Iskandar tersenyum, wajahnya teduh meski keringat mengalir di pelipis.
“Tidak hanya cantik, tapi juga cerdas,” ujarnya sambil mengangkat batu merah yang berkilau di bawah sinar matahari.
“Warna ini muncul karena oksida besinya tinggi. Dan setiap kadar itu memengaruhi reaksi tanah di sekitarnya. Makanya kita perlu memahami pH H₂O dan pH KCl untuk membaca keseimbangan muatan di dalamnya.”
Dr. Irdika menatap penuh minat. “Bedanya apa, Prof? Maksudnya, kenapa dua-duanya harus diukur?”
Prof Iskandar tertawa kecil, lalu menjawab dengan sabar.
“pH H₂O itu seperti watak asli tanah, bagaimana sifatnya tanpa campur tangan apa pun. Sedangkan pH KCl membantu kita tahu bagaimana tanah itu bereaksi saat disentuh zat lain, misalnya pupuk atau mineral logam. Nah, di tambang seperti ini, muatan tanahnya adalah nett positif karena oksida besi mendominasi. Jadi untuk menyeimbangkan, PT Vale melakukan pemupukan dan pembenahan tanah secara hati-hati dan terencana. Bumi ini sensitif. Ia tidak bisa dipaksa, tapi bisa diajak berdamai.”
Dialog Membumi, Ilmu yang Mengakar
Pak Andri mengangkat tangan, wajahnya serius namun berseri. “Prof, pemupukannya harus organik, ya?”
Prof Iskandar tertawa lebar, suaranya memantul di dinding tambang yang berundak.
“Pertanyaan bagus! Tapi jawabannya, tergantung jenis tambangnya.”
Kalau di batubara, pembenah tanah yang diberikan bisa organik atau anorganik secara seimbang relatif aman. Tapi kalau nikel atau timah, ceritanya berbeda.
“Kandungan besi oksida yang jumlahnya banyak di tanah pucuk berwarna merah ini bisa bereaksi dengan unsur pupuk tertentu,” jelasnya.
“Maka, semuanya harus disesuaikan dengan kimia tanah dan karakter mineralnya.”
Pak Charles menimpali cepat, “Jadi kalau oksida besinya tinggi, pupuknya juga harus hati-hati, ya, Prof?”
“Tepat sekali!” jawab Prof Iskandar mantap.
“Kalau salah perlakuan, akar tanaman tidak bisa berkembang baik, sebagian unsur hara diikat kuat sebagian lagi malah tercuci. Karena itu,” katanya sambil menepuk tanah keras di kakinya, “sebelum menanam, kita harus mengenali dulu jiwanya tanah.”
Aku terdiam. Di tangan, batu kecil itu terasa berat, bukan karena massa, tapi karena makna. Setiap tanah punya jiwa, dan setiap batu punya bahasa. Tugas manusia hanyalah belajar mendengarkan.
Ketika Bahagia Menjadi Metode Belajar
Terik matahari tak menyurutkan semangat kami. Keringat menetes, namun tawa justru berderai.
Prof Iskandar memungut sebongkah batu besar dan bersuara lantang.
“Kalau batu ini bisa bicara, dia pasti bilang, ‘Hei manusia, jangan hanya gali aku, pahami aku!’”
Kami tertawa bersama.
“Baiklah, Prof,” sahut Dr. Irdika sambil tersenyum, “berarti kami ini sedang ikut ujian lisan langsung dari bumi?”
Prof Iskandar menepuk tangan keras-keras sambil berkata, “Betul! Dan kalau kalian lulus, saya kasih sertifikat dua SKS lapangan. Kuliah Batu dan Sabar Hidup!”
“Gratis, Prof?” celetuk Dr. Irdika lagi, disambut tawa meriah.
Prof Iskandar membalas dengan nada jenaka tapi bermakna, “Gratis, tapi nilainya tergantung keringat dan keikhlasan hati!”
Gelak tawa pecah di tengah terik yang menyengat. Tiba-tiba panas tak lagi terasa menyiksa, karena kami sedang belajar dengan bahagia.
Di Antara Sains dan Rasa
Kami berdiri di tengah bentang tambang terbuka. Langit biru perlahan memudar jadi putih pucat, dan awan tebal menggantung rendah seolah menatap dari kejauhan.
Aku memandang lapisan tanah yang berwarna merah, kuning, abu-abu. Setiap gradasi warnanya seperti bab sejarah yang ditulis tangan bumi sendiri. Ada batu serpentin kehijauan yang keras, dan ada tanah laterit lembut yang mudah luluh oleh air.
“Prof,” tanyaku pelan, “kalau semua ini terbentuk selama jutaan tahun, apakah manusia bisa benar-benar mengembalikannya seperti semula?”
Prof Iskandar menatap jauh ke arah perbukitan yang mulai hijau kembali.
“Tidak bisa sepenuhnya,” jawabnya tegas.
“Tapi kita bisa membantu bumi menemukan keseimbangannya lagi. Reklamasi bukan menggantikan alam, tapi menemani alam pulih dengan hormat dan cinta.”
Hening menyelimuti kami. Di tengah terik yang memeras keringat, tiba-tiba terasa sejuk di dada, mungkin karena kami sedang belajar, bukan hanya tentang tanah dan batu, tapi tentang kerendahan hati manusia di hadapan ciptaan Allah.
Bumi Mengajar Tanpa Suara
Sebelum meninggalkan lokasi, Prof Iskandar berdiri tegak di tengah lapangan, menghapus peluh di wajahnya, lalu berseru lantang: “Baik, para mahasiswa tambang dadakan! Kuliah hari ini selesai. Semua lulus dengan nilai A. Silakan ambil sertifikatnya di hati masing-masing, karena ilmu sejati tidak diberikan lewat kertas, melainkan lewat rasa hormat kepada bumi.”
Kami tertawa, bertepuk tangan, dan saling menatap penuh bahagia. Angin siang mulai berembus lembut, membawa debu menari di sekitar sepatu boot kami. Langit masih terik, tapi entah mengapa terasa teduh di hati.
Aku menatap kembali hamparan tanah merah yang berlapis-lapis,
seperti dada bumi yang kembali bernafas setelah lama tertidur. Kuliah batu hari itu bukan hanya tentang oksida besi, fero (besi), magnesium, atau pH KCl, tapi tentang bagaimana menjadi manusia yang memahami, bukan sekadar menambang.
Dan ketika kami melangkah meninggalkan lokasi tambang, aku menyadari satu hal bahwa bumi tidak pernah berhenti mengajar. Ia hanya diam, menunggu, siapa yang masih mau mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga.❤🔥🌹🎀
Bumi Allah, 31 Oktober 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)
