“Gerimis Jatuh di Lido”

Essay : Nurul Jannah*)

Romansa di Atas Air dan Kebahagiaan yang Tenang di Dasar Hati

Karena ada saat di mana tubuh ingin berhenti sejenak, tetapi hati justru ingin bersyukur lebih dalam.

Setelah perjalanan panjang dan malam penuh syahdu di Villa Selayang Enau, kami bersembilan: aku, adik, anak-anak, serta keluarga besar besan yang hangat dan penuh cinta, memutuskan menutup hari dengan lebih istimewa. Makan siang di atas air, di Rumah Makan Terapung Yuliana Lido, di tengah danau yang dikelilingi bukit hijau dan kabut lembut.

“Kita ke Lido saja, makan sambil lihat danau,” ucapku pelan.

“Ya, biar perjalanan ini tak hanya menempuh jarak, tapi juga menenangkan hati.” lanjutku.

Kami tak mencari kemewahan, hanya ingin larut dalam ketenangan yang menumbuhkan rasa syukur.

Langit, Waktu, dan Gerimis yang Menyapa

Siang menjelang sore. Langit menggantungkan awan kelabu selembut kapas doa, dan gerimis turun perlahan. Tetesannya jatuh di permukaan danau, membentuk lingkaran-lingkaran kecil seperti kenangan yang menepuk hati, lalu lenyap perlahan dalam sunyi.

Air danau tampak tenang, memantulkan wajah-wajah yang tersenyum dan hati-hati yang berdamai. Kami menaiki perahu kayu hijau tua, dan suara mesinnya berpadu lembut dengan tawa anak-anak yang membelah hening menjadi kebahagiaan.

“Masya Allah, indah sekali,” ucap besanku, Bu Heru sambil menatap Gunung Salak yang samar di balik kabut.

“Iya,” sahut pak Heru lirih, “indah seperti doa yang tak diucap, tapi dijawab oleh langit.”

Langit dan Air Bersekutu untuk Bahagia

Rumah Makan Terapung Yuliana Lido berdiri di tengah danau, seperti rumah doa yang tumbuh dari air dan cinta.

Saung-saung kayu berjajar di atas rakit, dihubungkan oleh jembatan bambu yang berkilau basah diterpa hujan.

Tulisan besar di kejauhan, Selamat Datang di Rumah Makan Terapung Yuliana Lido, terasa seperti sapaan lembut dari alam yang memeluk tanpa kata.

Aroma ikan bakar berpadu dengan wangi hujan, mengaduk rindu yang tiba-tiba muncul entah dari masa lalu yang mana. Seorang pelayan muda dengan wajah cerah menuntun kami memilih menu-menu favorit dan best seller.

“Makan sambil berlayar, nikmat sekali Bu. Pemandangannya indah, langsung ke arah gunung,” katanya dengan senyum ramah.

Kami duduk. Untuk sesaat, dunia berhenti berlari. Hanya ada kami, air, langit, dan rasa syukur yang menebar harum di udara.

Makanan yang Menjadi Cerita

Lalu datanglah keajaiban kecil dari dapur air itu, hidangan yang bukan semata makanan, tapi kenangan yang bisa dicicipi.

Udang bakar madu, jingga keemasan seperti senja yang menolak pergi, masih meninggalkan aroma arang di kulitnya. Ayam kampung bakar, gurih dan lembut, seperti pelukan ibu yang mengajarkan sabar tanpa kata. Ikan gurame bakar, segar dan bersahabat dengan sambal kecap pedas yang membangunkan selera dan kenangan.

Cumi goreng tepung, renyah di luar, lembut di dalam, seperti hidup, yang keras di permukaan namun rapuh di hati.

Nasi liwet Sunda mengepul harum, ditemani tahu dan tempe goreng yang membuat makan siang terasa seperti pulang ke masa kecil yang damai.

“Bu, sambalnya ini luar biasa,” kata Jihan sambil tertawa kecil. Aku tersenyum, “Hati-hati, nanti justru kangen sambalnya, bukan liburannya.”

Kami makan dengan bahagia, sambil berlayar pelan, memandang riak air yang menari di bawah saung. Dan, di antara aroma masakan itu, terselip rasa syukur yang dalam. Alhamdulillah.

Gerimis, Tawa, dan Gelombang di Hati

Gerimis masih turun, tapi tak ada yang ingin berteduh. Kami justru menikmati setiap tetesnya, karena di atas air ini, hujan terasa seperti berkah yang jatuh langsung ke dada.

Perahu-perahu kecil lewat perlahan, membawa suara tawa dari keluarga lain. Sementara kami, bersembilan yang berbeda darah, tapi disatukan oleh cinta, larut dalam hangatnya kebersamaan yang tak bisa dibeli.

Aku menatap danau yang beriak lembut dan berbisik pelan, “Kadang hidup seperti air ini, tampak tenang, padahal menyimpan gelombang rasa yang tak terlihat.”

Bu Heru menimpali lembut, “Iya, Bu Nurul… dan kita sedang belajar, bagaimana menikmati gelombang itu dengan sabar.”

Benar adanya. Hujan, canda, dan doa berpadu menjadi satu harmoni yang meneduhkan jiwa. Aroma teh manis, kayu basah, dan air danau menciptakan orkestra keheningan yang sulit dilupakan.

Rasa yang Menjelma Doa

Menjelang sore, gerimis perlahan berhenti. Langit merekah, dan cahaya oranye senja menari di atas air, seperti salam perpisahan dari hari yang indah.

Perahu kami merapat kembali ke dermaga, sementara restoran terapung itu perlahan menjauh, menjadi kenangan yang berlayar tenang di hati. Aku menoleh sekali lagi, menatap pantulan langit di air dan berkata dalam hati, “Bahagia ternyata sesederhana ini, setetes hujan di air, seulas tawa di antara keluarga, dan hati yang merasa cukup.”

Tak perlu kemewahan, tak harus jauh. Cukup bersama orang yang membuat hati teduh dan di tempat yang membuat jiwa merasa dekat pada Tuhan.

Hari itu, Danau Lido tidak hanya menyimpan air, ia menyimpan tawa, doa, dan cinta yang menenangkan jiwa. 💚🌹❤‍🔥

Bogor, 1 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *