Dialog Sunyi dengan Sebatang Pohon

Ketika Alam Menyampaikan Doa Lewat Diamnya yang Dalam

Essay : Nurul Jannah*)

Saat Dunia Terlalu Bising, Pohon Mengajarku Diam

Sore itu aku merasa lelah. Langkahku membawa ke taman kampus, ke tempat sebatang pohon tua berdiri sendirian di sana. Ia tidak berkata apa-apa, tapi entah kenapa, dari diamnya, aku merasa seolah sedang diajak berbicara.

Aku berhenti di depannya. Angin menggoyang rantingnya perlahan, seakan ia sedang menatapku dengan tatapan bersahabat.

Dan dalam keheningan itulah, dialog sunyi antara manusia dan pohon pun dimulai. Percakapan yang tak butuh suara. Cukup dengan bahasa batin.

Tentang Akar yang Mengajarkan Kerendahan

“Kau tahu apa yang membuatku bertahan?” bisiknya, membuka dialog.

“Bukan batangku yang tinggi, tapi akar-akar yang tak pernah terlihat.”

Aku terdiam. Pohon itu benar. Kekuatan sejati sering bersembunyi di tempat yang tak tampak. Kadang di bawah tanah, di kedalaman yang gelap, atau di ruang yang tak mencari sorot lampu.

“Kalian manusia,” lanjutnya, “terlalu sibuk tumbuh ke atas, tapi lupa menunduk untuk berakar. Maka saat badai datang, kalian rebah, bukan karena rapuh, tapi karena lupa dari mana kekuatan itu berasal.”

Aku menelan kalimat itu dalam-dalam. Terasa perih di tenggorokan. Betapa sering aku berlari mencari makna di langit, padahal jawabannya tersimpan di bumi. Di tempat yang sunyi, di tempat akar-akar menunggu tanpa suara.

Tentang Daun yang Gugur dan Hati yang Belajar

“Aku kehilangan daun setiap musim,” katanya, “tapi aku tak pernah menangis.”

“Angin melintas semaunya, menggugurkan daun-daunku ke tanah. Tapi tak ada ratapan…”,

“karena, setiap gugur adalah janji akan tumbuh yang baru,” lanjutnya.

“Tidak ada kehilangan yang abadi, hanya pergantian yang harus diterima dengan ikhlas.”

Aku terdiam beku. Menatap daun-daun yang jatuh. Mungkin memang begitu caranya hidup mengajar, lewat kehilangan, lewat perpisahan, agar kita bisa belajar tentang melepaskan tanpa harus melupakan. Melepaskan berarti memberi ruang bagi yang baru untuk tumbuh.

Tentang Waktu yang Tak Pernah Tergesa

“Aku tidak tahu kapan hujan datang,” katanya, “tapi aku selalu siap menadah.”

Kalimat itu menamparku dalam. Aku sadar, aku sering memaksa kehidupan untuk berjalan secepat pikiranku. Sementara pohon itu… ia berdiri tanpa jam, tanpa target, tanpa cemas. Ia hanya percaya bahwa setiap musim punya waktunya sendiri.

“Manusia kalah bukan karena tak mampu,” bisiknya, “tapi karena tak sabar menunggu.”

Aku menunduk. Kadang, yang hilang dari manusia bukan kemampuan, tapi kepercayaan, bahwa yang lambat pun bisa tiba tepat waktu.

Tentang Kerendahan dan Keabadian

“Kau berdiri dengan kepala di atas, aku dengan kepala di bawah,” katanya dengan suara nyaris tak terdengar.

“Kau menatap langit dan lupa pada tanah. Aku menatap tanah dan menemukan surga.”

Aku terdiam, memejamkan mata. Seketika aku merasa kecil. Pohon itu mengajariku bahwa menjadi tinggi bukan tujuan, tapi menjadi teduh adalah panggilan. Bahwa kebahagiaan tak datang dari menjulang, tapi dari memberi naungan bagi yang letih di bawahmu.

“Menjadi besar itu mudah,” katanya pelan, “tapi menjadi teduh adalah pilihan yang membutuhkan cinta.” tandasnya.

Doa dari Pohon untuk Manusia yang Lupa Mendengar

Senja pun datang perlahan. Sinar keemasan menembus celah dedaunan, menumpahkan cahaya di tanah yang lembab. Aku menatap pohon itu lama-lama, diam, kokoh, dan penuh kasih.

“Terima kasih,” kataku pelan.

“Kau tak pernah berbicara keras, tapi kau mengubah caraku memandang hidup.”

“Kembalilah,” jawabnya lembut, “bukan untuk bicara, tapi untuk diam bersama. Karena dalam diam, kau akan mendengar dirimu sendiri.”

Aku melangkah pergi dengan dada penuh, dengan hati lebih adem, seperti tanah yang baru saja disirami hujan pertama.

Dan aku tahu, di balik kesunyian itu, pohon sedang mendoakanku. Juga mendoakan setiap manusia yang melintas di sekitarnya.

Sebab pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa tinggi kita tumbuh, tetapi seberapa dalam kita berakar dan seberapa teduh keberadaan kita bagi sesama.🌹❤‍🔥🎀

Bumi Allah, 5 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version