Cerpen : Hendri Parjiga*)
Pudin termenung di bibir sungai yang airnya mulai surut. Sejak dua bulan terakhir, kampung itu digulung musim kemarau. Tanah sawah mengering, merekah seperti kulit tua yang retak. Angin kering berdebu membawa aroma getir, aroma gagal panen yang mulai menghantui setiap petani.
Laki-laki paruh baya itu sudah duduk di situ sejak matahari belum muncul. Usai salat Subuh di surau kecil dekat rumah, ia melangkah ke sungai, hanya berjarak dua ratus meter dari rumah sederhananya. Rumah yang oleh warga lebih sering disebut pondok tonggak sembilan.
Rumah itu kecil, berdiri di atas sembilan kayu seukuran batang pinang, ditopang beton-beton kecil setinggi lutut, agar tidak lapuk dan aman dari banjir. Lantainya papan, dindingnya lempengan kayu murah yang dibelinya di pengolahan kayu milik Haji Rozali. Atapnya seng bekas yang masih kuat menahan hujan.
Di rumah itulah Pudin tinggal bersama istrinya, Rakena, dan dua anak mereka: Syarifah, siswi kelas dua SMA, dan Radit, siswa SMP kelas satu.
Hidup Pudin seperti air sungai di hadapannya. Kadang mengalir, kadang kering. Saat musim tanam, ia jadi buruh tani. Saat sawah lengang, ia memecah batu di sungai. Kalau ada rezeki, ia memuat, batu, pasir atau kerikil ke truk di sungai. Tak punya lahan, tak punya sawah, tapi punya tekad: apa pun asal halal, akan ia kerjakan.
Tumpukan batu pecah di pinggir sungai itu hasil jerih payahnya selama hampir tiga minggu. Kalau beruntung, Toke Burhan akan datang hari ini untuk membeli. Uang itu sudah ditunggu-tunggu, terutama oleh Syarifah.
“Yah,” kata gadis remaja itu malam tadi setelah salat Isya berjemaah yang diimami Pudin. “Dua hari lagi uang SPP harus dibayar. Kalau nggak, Ipah nggak bisa ikut ujian tengah semester.”
Pudin hanya tersenyum lelah sambil mengusap kepala anaknya yang masih mengenakan mukena.
“Doakan saja, Nak. Besok kalau batu Ayah dibeli Toke Burhan, uangnya langsung Ayah kasih buat bayar SPP.”
Rakena dan Radit ikut mengaminkan. Suasana malam itu hening, hanya suara jangkrik yang menemani harapan sederhana keluarga kecil itu.
***
Pagi itu, udara terasa berbeda. Langit berawan, angin membawa bau tanah basah yang hampir dilupakan warga kampung.
Hujan, pikir Pudin. Barangkali hujan akan turun hari ini. Ia menatap tumpukan batu yang siap dijual. “Semoga sempat,” gumamnya.
Benar saja. Tak lama, langit yang tadi kelabu berubah menjadi hitam. Angin kencang menampar wajahnya. Lalu, hujan turun tanpa aba-aba. Lebat, deras, seolah langit membalas dendam setelah lama menahan airnya.
Pudin berlari ke pondok darurat di tepi sungai, tempatnya biasa beristirahat. Dari situ, ia melihat air mulai naik, menyapu ranting dan dedaunan. Hujan tak kunjung reda. Sejam, dua jam. Air terus meninggi, suara gemuruh dari hulu terdengar makin jelas.
“Ya Allah…” desisnya. Air kini hampir menyentuh tumpukan batu pecahnya. Batu-batu itu adalah hasil peluh dan sabarnya selama 20 hari terakhir. Batu pecah itu bukan sekadar batu. Di situ ada uang SPP anaknya, ada beras untuk dapur, ada harapan kecil yang ia tumpuk dengan tangan kasar dan doa panjang.
Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari hulu sungai. Tak lama, datanglah arus cokelat pekat membawa batang-batang pohon besar. Air bah menggulung, melahap apa pun yang di depannya. Tumpukan pecahan batu Pudin hilang dalam sekejap, diseret derasnya arus tanpa sisa.
Pudin hanya berdiri terpaku. Tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Matanya nanar, tubuhnya gemetar. Hujan belum juga reda, tapi air di matanya lebih deras dari itu.
Ia jatuh terduduk di tanah becek, pasrah menatap sungai yang kini mengalirkan mimpi yang hanyut bersama batu-batu itu.
***
Di pondok kecil tengah sawah, senja itu, Pudin menatap hujan yang kembali turun. Suara air menimpa atap seng seperti lagu lama yang getir. Ia menarik napas panjang. “Mungkin Tuhan ingin aku mulai lagi dari nol,” bisiknya pelan.
Rakena memandangnya dari dapur kecil, sambil menanak nasi dari beras terakhir di karung.
“Yang penting kita masih punya harapan, Uda,” katanya lembut, mencoba meneguhkan hati dan semangat lelaki yang sudah menemaninya sejak 20 tahun lalu itu.
Pudin mengangguk.
Ia tahu, esok pagi, ia akan kembali ke sungai, tempat yang sama, dengan doa yang sama, tapi semangat yang tidak pernah benar-benar habis. []
(Pondok tengah sawah, di tengah hujan malam Minggu, 8 November 2025)
Biodata Singkat Penulis*)
Hendri Parjiga mulai menulis cerpen, puisi dan esay sejak duduk di bangku SMA. Waktu itu karyanya dimuat di media lokal Sumatera Barat seperti Harian Haluan, Singgalang, Semangat dan Mingguan Csnang. Seiring perjalanan waktu, ia terus mengasah kemampuan menulisnya. Sehingga, selain tetap dimuat media lokal, beberapa cerpennya akhirnya mampu menembus media Ibu Kota. Namun sejak berprofesi wartawan yang banyak menyita waktu dan fikiran di awal tahun 90 an, tidak banyak lagi cerpen dan puisi yang ditelorkan pria kelahiran Padang ini. Kalau pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dalam setahunnya. Kini, semangat menulis cerpennya kembali menyala.




