Kolom  

Pahlawan yang Hilang: Ketika Semangat 10 November Hanya Tinggal Seremoni

Oleh : Nur Saadah Khudri, S.Hum., MA*)

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Namun di tengah gegap gempita upacara dan slogan, pertanyaan penting patut kita ajukan: masihkah kita benar-benar memahami makna “pahlawan” itu sendiri? 

Apakah Hari Pahlawan masih menjadi momentum refleksi, atau sekadar rutinitas tahunan yang kehilangan ruh perjuangan?

Sejarah mencatat, Pertempuran Surabaya 10 November 1945 bukan sekadar peristiwa heroik, tetapi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penjajahan. Bung Tomo, melalui pidato-pidatonya, membakar semangat rakyat agar tidak tunduk pada intimidasi kekuatan asing.

Di balik pertempuran itu ada nilai yang lebih dalam: pengorbanan tanpa pamrih dan keberanian moral untuk melawan ketidakadilan. Nilai yang kini semakin langka dalam kehidupan publik kita.

Pahlawan di Zaman yang Berubah

Dalam konteks kekinian, pahlawan tidak lagi diartikan semata sebagai mereka yang berperang dengan senjata. Pahlawan hari ini adalah siapa pun yang berjuang untuk kebaikan bersama, meski dalam ruang kecil dan tanpa sorotan kamera.

Guru yang mengajar di pelosok dengan fasilitas terbatas, dokter yang bertugas di daerah terisolasi, peneliti yang mengabdi demi kemajuan ilmu, hingga relawan sosial yang membantu korban bencana, semuanya mewarisi semangat yang sama.

Namun, realitas sosial kita menunjukkan pergeseran nilai. Kata “pahlawan” kerap kehilangan makna substansialnya, tergantikan oleh budaya populer yang lebih menonjolkan popularitas daripada kontribusi. Masyarakat lebih mengenal selebritas ketimbang ilmuwan, lebih kagum pada konten viral daripada kerja sosial. Fenomena ini mengindikasikan krisis keteladanan, di mana nilai perjuangan bergeser menjadi pencitraan.

Padahal, sebagaimana dikatakan Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Namun penghormatan sejati tidak hanya dalam bentuk tugu atau nama jalan, melainkan dalam bentuk teladan moral dan integritas yang diwarisi dan dihidupkan kembali.

Ujian Kepahlawanan di Masa Damai

Kepahlawanan sejati justru diuji di masa damai, ketika tantangan datang dalam bentuk yang lebih halus: korupsi, intoleransi, kemiskinan, dan disinformasi. Musuh kita kini bukan lagi kolonialisme bersenjata, tetapi mentalitas pragmatis dan apatisme sosial.

Pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa jiwa kepahlawanan tidak pernah mati. Tenaga medis, relawan, dan masyarakat biasa saling bahu-membahu melawan wabah. Mereka adalah “pahlawan kemanusiaan” yang membuktikan bahwa nilai perjuangan tidak lekang oleh zaman.

Namun setelah pandemi mereda, semangat solidaritas itu perlahan memudar, tergantikan kembali oleh kompetisi individualistik dan polarisasi sosial. Kini, menjelang dua dekade Indonesia Reformasi, kita dihadapkan pada krisis moral dan krisis kepercayaan publik.

Keteladanan dari elit politik semakin sulit ditemukan, praktik korupsi masih marak, dan ujaran kebencian menjalar di ruang digital. Dalam situasi seperti ini, peringatan Hari Pahlawan seharusnya menjadi cermin untuk bercermin, bukan sekadar seremoni.

Refleksi Akademik: Dari Nilai Historis ke Nilai Sosial

Sebagai akademisi, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menafsir ulang makna kepahlawanan secara kontekstual. Dalam bahasa sosiologi, nilai kepahlawanan adalah produk sosial yang terbentuk dari interaksi masyarakat dengan sejarahnya.

Artinya, nilai itu tidak statis; ia harus terus direinterpretasi agar relevan dengan tantangan zaman. Pahlawan 1945 berjuang melawan kolonialisme. Pahlawan abad ke-21 berjuang melawan kemiskinan struktural, kebodohan digital, dan disintegrasi moral. Jika dulu perjuangan dilakukan dengan bambu runcing, kini perjuangan dilakukan dengan inovasi, pendidikan, dan keberanian melawan ketidakjujuran. Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menghidupkan semangat ini.

Pendidikan sejarah tidak seharusnya hanya menghafalkan nama dan tanggal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keberanian, tanggung jawab, dan solidaritas.

Mahasiswa perlu dilibatkan dalam proyek sosial yang menumbuhkan empati dan rasa kepemilikan terhadap bangsanya. Di sinilah konsep “kepahlawanan intelektual” menemukan relevansinya: intelektual yang tidak hanya berpikir untuk karier pribadi, tetapi juga berkontribusi bagi kemanusiaan.

Keteladanan sebagai Krisis Bangsa

Salah satu krisis paling serius bangsa kita hari ini adalah krisis keteladanan. Pahlawan sejati selalu memimpin dengan contoh, bukan hanya dengan kata.

Namun yang sering kita saksikan di ruang publik justru kebalikannya: tokoh yang lebih pandai berbicara daripada berbuat, lebih sibuk membangun citra daripada membangun karakter. Keteladanan adalah inti dari kepemimpinan moral. Tanpa itu, bangsa kehilangan arah moralitas.

Oleh karena itu, kepahlawanan modern harus dimulai dari ruang terkecil: keluarga, sekolah, dan komunitas. Orang tua yang menanamkan kejujuran kepada anak, guru yang menolak gratifikasi, dan pejabat yang berani berkata benar di tengah tekanan—semuanya adalah bentuk nyata dari kepahlawanan masa kini.

Nilai “Pahlawan” di era Digital

Era digital membawa tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, kita menghadapi derasnya arus informasi yang sering kali menyesatkan dan menimbulkan kebencian. Namun di sisi lain, dunia digital juga dapat menjadi media baru untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan. 

Generasi muda dapat menjadi pahlawan digital, yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan literasi, kebenaran, dan inspirasi. Pemanfaatan media digital ini dapat dimaksimalkan dengan mengangkat kisah pahlawan nasional, ini bisa dihidupkan kembali dalam bentuk konten edukatif yang menarik, bukan sekadar teks dalam buku pelajaran.

Semangat kepahlawanan bisa dikontekstualisasikan menjadi semangat kolaborasi, kreativitas, dan keberanian melawan hoaks. Pahlawan digital bukanlah mereka yang paling banyak pengikutnya, melainkan yang paling besar manfaatnya bagi masyarakat maya. Di tengah dunia yang semakin bising oleh kepentingan, suara kebenaran menjadi bentuk keberanian baru.

Membangun Kepahlawanan di Ranah Sosial

Untuk menumbuhkan kembali semangat kepahlawanan, ada tiga langkah reflektif yang bisa dilakukan bangsa ini:

1. Rehumanisasi Pendidikan.

        Sekolah dan kampus harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan nasionalisme melalui praktik sosial, bukan sekadar teori. Pendidikan tanpa nilai kemanusiaan  dan nasionalisme akan menghasilkan generasi cerdas tapi tak berkarakter.

        2. Revolusi Keteladanan.

        Para pemimpin, baik di pemerintahan, politik, maupun akademik, harus memimpin dengan contoh : Masyarakat tidak butuh slogan baru tentang semangat pahlawan, mereka butuh figur yang menunjukkan integritas.

        3. Rekonstruksi Solidaritas Sosial. 

        Gotong royong adalah bentuk asli kepahlawanan Indonesia. Dalam konteks modern, solidaritas sosial dapat diaktualisasikan melalui kolaborasi lintas profesi, relawan, dan komunitas digital yang berorientasi pada kebaikan publik.

        Penutup

        Delapan puluh tahun telah berlalu sejak pertempuran Surabaya. Waktu boleh berubah, tapi jiwa kepahlawanan tidak boleh pudar. Kita mungkin tidak lagi berhadapan dengan penjajah berseragam, tetapi kita masih berperang melawan keserakahan, kemalasan berpikir, dan keputusasaan moral.

        Peringatan Hari Pahlawan bukan sekadar mengingat masa lalu, tetapi menyusun masa depan dengan nilai yang sama: keberanian, kejujuran, dan cinta tanah air.

        Jika setiap warga negara menyalakan kembali api kecil kepahlawanan dalam dirinya, maka bangsa ini akan tetap menyala, tak padam dimakan zaman. Sebab kepahlawanan sejati tidak terletak pada gelar dan tanda jasa, melainkan pada kesediaan berbuat baik tanpa perlu dikenal. []

        Wakil Ketua DPW Sumatera Barat Partai Bulan Bintang, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNES Padang*)

        Tinggalkan Balasan

        Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *