Oleh : Ramli Yakub*)
Bencana hidrometeorologi telah kembali menyapa Pulau Sumatra dengan dampak yang memilukan. Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara pada akhir tahun 2025 bukan sekadar catatan statistik kerusakan.
Ia adalah trauma kolektif yang menyisakan duka mendalam, puluhan jiwa melayang, ribuan rumah terendam, dan akses vital terputus.
Dalam menghadapi kedahsyatan alam yang murka ini, masyarakat seringkali merenunginya dari tiga lensa spiritual utama: teguran, ujian, dan azab. Sebagai hamba Allah SWT yang lemah, penting bagi kita untuk menelaah ketiga konsep ini—bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mencari makna dan langkah bijak di tengah tragedi.
Tiga Makna di Balik Musibah
Dalam perspektif keagamaan, khususnya Islam, musibah dipandang memiliki spektrum makna yang luas, bergantung pada kondisi spiritual dan respons individu atau komunitas yang mengalaminya.
Pertama : Teguran (Peringatan)
Teguran diartikan sebagai peringatan dini dari Sang Pencipta agar manusia segera kembali ke jalan yang benar atau menghentikan perbuatan yang merusak. Sifatnya cenderung universal dan mengarahkan pada koreksi diri.
Keterkaitan dengan Bencana Sumatra: Banjir yang datang membawa serta kayu-kayu gelondongan dan lumpur pekat adalah bukti fisik dari kerusakan di hulu. Para ahli lingkungan secara tegas menyebut bencana di Sumatra ini sebagai bencana ekologis, bukan murni bencana alam.
Ini adalah respons alam terhadap kegagalan tata kelola lingkungan—pembukaan hutan secara masif untuk kepentingan ekstraktif dan eksploitatif.
Mungkinkah alam yang koyak adalah teguran keras bagi kita yang lalai menjaga amanah lingkungan? Teguran ini menuntut kita untuk mengoreksi kebijakan pembangunan dan gaya hidup yang merusak ekosistem vital Bukit Barisan.
Kedua : Ujian (Pencobaan Iman)
Ujian (ibtila’) adalah cobaan yang ditimpakan kepada orang-orang beriman untuk menguji ketabahan, kesabaran, dan kualitas keimanan mereka.
Ujian bisa datang dalam bentuk kesenangan maupun kesulitan, dan tujuannya adalah mengangkat derajat seseorang jika ia berhasil menyikapinya dengan penuh ketawakkalan.
Keterkaitan dengan Bencana Sumatra: Bagi para korban yang kehilangan harta benda dan orang terkasih, bencana ini adalah ujian keimanan yang luar biasa. Bagaimana mereka bangkit dari keterpurukan?
Bagaimana komunitas dan bangsa merespons duka ini dengan empati, solidaritas, dan gotong royong? Bencana ini menguji solidaritas nasional dan kemampuan kita untuk bersabar serta menerima takdir sambil tetap berikhtiar mencari solusi jangka panjang.
Jika disikapi dengan benar, musibah ini dapat menjadi pembersih dosa dan pengangkat derajat bagi yang tabah.
Ketiga : Azab (Hukuman)
Azab adalah hukuman atau balasan yang diturunkan kepada kaum atau individu yang secara terus-menerus ingkar, bergelimang maksiat, dan menolak seruan kebenaran setelah menerima peringatan berulang kali.
Azab seringkali dikaitkan dengan pemusnahan atau siksaan di dunia sebagai pendahuluan azab yang lebih besar di akhirat.
Keterkaitan dengan Bencana Sumatra: Menghindari vonis bahwa bencana alam adalah murni ‘azab’ adalah sikap yang bijaksana. Siapa kita untuk menghakimi intensi ilahi? Akan tetapi, kacamata ini memaksa kita untuk introspeksi.
Kerusakan lingkungan yang masif—ilegal logging, pertambangan tanpa izin, perusakan Daerah Aliran Sungai (DAS)—apakah ini bukan wujud kemaksiatan ekologis yang mengundang murka alam?
Jika bencana ini adalah azab, ia adalah azab yang disegerakan di dunia sebagai akibat dari dosa kolektif perusakan bumi yang dilakukan “tangan-tangan manusia” itu sendiri, sebagaimana difirmankan.
Dari Kontemplasi Menuju Aksi Nyata
Kita tidak akan pernah tahu secara pasti apa label ilahi untuk musibah yang menimpa Sumatra. Memvonisnya sebagai azab dapat menimbulkan keputusasaan dan menafikan tanggung jawab manusiawi.
Menganggapnya hanya ujian bisa membuat kita lalai terhadap akar masalah. Melihatnya hanya sebagai teguran mungkin tidak cukup mendesak untuk perubahan drastis.
Yang pasti, bencana di Sumatera ini adalah:
Pertama Kita lihat dari Konsekuensi Logis merupakan Hasil dari kerusakan lingkungan yang tak terkendali di wilayah hulu Bukit Barisan, diperparah oleh cuaca ekstrem (Teguran Fisik/Ekologis). Kemudian peristiwa ini merupakan Momentum Introspeksi untuk menguji ketabahan, memperkuat solidaritas, dan meninjau kembali hubungan kita dengan alam (Ujian Spiritual).
Serta Panggilan Mendesak sebagai Peringatan terakhir bagi pemerintah dan masyarakat untuk menghentikan praktik perusakan alam yang secara moral dan ekologis tidak dapat dibenarkan (Potensi Azab bagi yang Inkar).
Oleh karena itu, respons kita harus melampaui bantuan darurat. Perlu ada penegakan hukum yang keras terhadap perusak lingkungan, evaluasi total tata ruang, dan reforestasi kawasan hulu yang terintegrasi.
Kita harus mengubah narasi dari “menyalahkan hujan” menjadi “bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.”
Musibah ini harus menjadi titik balik,dari pasrah tanpa koreksi, menjadi teguh dalam iman sambil bertindak nyata merawat bumi pertiwi. []
Sekretaris KKG PAI Padang Pariaman dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat*)




