Oleh : M. Aditya Al Maulana*)
Banjir merupakan peristiwa tergenangnya daratan akibat volume air yang melampaui kapasitas sungai, danau, atau sistem drainase. Fenomena ini umumnya terjadi saat curah hujan tinggi, khususnya di wilayah dataran rendah dan daerah aliran sungai.
Namun, dalam konteks saat ini, banjir tidak lagi semata-mata dipahami sebagai bencana alam. Kerusakan lingkungan dan perubahan fungsi lahan yang masif telah menjadi faktor utama yang memperparah dampak banjir dan bahkan memicu terjadinya tanah longsor.
Pada penghujung November 2025, bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Dampaknya sangat besar: ratusan desa terendam, infrastruktur vital lumpuh, dan ratusan korban jiwa berjatuhan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sejak awal tahun hingga November 2025 telah terjadi 2.726 bencana hidrometeorologi di Indonesia. Secara khusus, banjir bandang di tiga provinsi tersebut menewaskan lebih dari 400 orang, sehingga pemerintah daerah setempat menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.
Frekuensi dan skala bencana ini menunjukkan bahwa Indonesia, khususnya Pulau Sumatera, tengah menghadapi pola bencana hidrometeorologi yang semakin intens dalam dua dekade terakhir. Para ahli menilai bahwa kejadian ini bukan hanya dipicu oleh cuaca ekstrem, melainkan merupakan akumulasi dari kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama.
Hatma Suryatmojo, pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa curah hujan di sejumlah wilayah Sumatera Utara mencapai lebih dari 300 mm per hari pada puncak kejadian. Kondisi ini dipengaruhi oleh dinamika atmosfer, termasuk pembentukan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka pada akhir November 2025.
Meski demikian, menurutnya, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Kerusakan kawasan hulu dan hilangnya tutupan hutan menyebabkan air hujan tidak lagi terserap secara optimal ke dalam tanah, sehingga limpasan permukaan meningkat dan banjir menjadi jauh lebih destruktif (UGM, 2025).
Pandangan serupa disampaikan oleh Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Heri Andreas. Ia menegaskan bahwa parahnya banjir bandang tidak dapat dilepaskan dari menurunnya daya tampung lingkungan.
Dalam kondisi normal, air hujan sebagian besar akan meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai limpasan (runoff). Namun, alih fungsi lahan terutama dari hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan permukiman secara signifikan mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya, volume limpasan meningkat tajam dan meningkatkan risiko banjir bandang serta longsor (Detik, 2025).
Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana di Sumatera bukanlah peristiwa yang datang secara tiba-tiba. Ada relasi kuat antara kebijakan tata ruang, eksploitasi sumber daya alam, dan meningkatnya kerentanan wilayah terhadap bencana. Ketika kawasan resapan air terus dikorbankan atas nama pembangunan ekonomi jangka pendek, maka risiko ekologis jangka panjang menjadi harga yang harus dibayar masyarakat.
Oleh karena itu, mitigasi bencana tidak boleh dipahami hanya sebagai urusan teknis pasca-kejadian, melainkan sebagai bagian dari kesadaran ekologis kolektif. Langkah-langkah sederhana seperti membersihkan saluran drainase, tidak membuang sampah sembarangan, serta menjaga vegetasi di sekitar pemukiman dapat membantu mengurangi risiko banjir.
Penebangan pohon yang memang diperlukan demi keselamatan juga harus disertai dengan reboisasi agar fungsi ekologis kawasan tetap terjaga. Selain itu, pembangunan permukiman di bantaran sungai perlu ditinjau ulang karena kawasan tersebut secara alami merupakan daerah rawan banjir.
Lebih jauh, mitigasi bencana memerlukan keberpihakan kebijakan pada kelestarian lingkungan. Penataan ruang berbasis risiko, perlindungan kawasan hulu, serta pemanfaatan teknologi geospasial untuk pemetaan daerah rawan bencana harus menjadi prioritas. Tanpa perubahan pendekatan ini, bencana serupa akan terus berulang dengan skala yang semakin besar.
Kesadaran akan mitigasi bencana bukan hanya bertujuan meminimalisir kerugian material dan korban jiwa, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang tangguh dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
Bencana tidak selalu lahir dari alam semata, melainkan merupakan refleksi dari cara manusia memperlakukan alam. Oleh karena itu, kesiapsiagaan, kesadaran kolektif, dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi kunci utama agar tragedi serupa tidak terus terulang di masa depan. []
Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Program Studi Ekonomi Syariah*)
