Oleh : Fahrizal Ardhi Nugroho S.E., M.M.*)
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa dalam Munas XI MUI pada 20-23 November 2025 mengeluarkan fatwa mengenai Pajak Berkeadilan. Fatwa ini merupakan dokumen hukum Islam yang secara eksplisit menanggapi keresahan masyarakat mengenai system perpajakan di Indonesia. Pemicu utama penerbitaan fatwa ini adalah hanya keresahan di dalam masyarakat akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap tidak adil.
Perhatian para ulama terhadap isu fiskal ini mencerminkan kebutuhan intervensi keagamaan untuk mengadvokasi keadilan social-ekonomi berdasar prisnsip syariah. Selain menyinggung isu pajak, fatwa ini juga mengaitkannya dengan masalah riil umat lainnya, seperti pengelolaan rekening tidur (dormant) yang dananya mencapai puluhan triliun.
Hal ini menegaskan bahwa peran ulama dapat meluas hingga mencakup aspek-aspek regulasi dan kebijakan public yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Fokus fatwa MUI ini ada pada PBB dan kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan bahwa sumber ketidakadilan fiskal yang utama dirasakan oleh sebagian besar masyarakat adalah pada pajak daerah. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan kewenangan pemerintah daerah (Pemda).
PBB-P2 sering kali disesuaikan oleh Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, ketika kenaikan tarif atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan bayar masyarakat, maka hal ini dianggap melanggar prinsip keadilan syariah. Secara implisit fatwa ini menantang implementasi desentralisasi fiskal pasca-UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang ditengarai cenderung membebankan rakyat di tingkat lokal.
Pernyataan MUI yang menyatakan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan umum adalah haram berfungsi sebagai penanda moral-etis yang memberikan tekanan non-legislatif (moral suasion) kepada pemerintah.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia yang mengakui norma agama dan sosial, sebuah fatwa yang mengklasifikasikan pungutan publik tertentu sebagai haram dapat berpotensi mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak Muslim.
Ini dapat mendorong regulator, khususnya Kemenkeu dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk segera berdialog (tabayyun) guna meredakan potensi polemik dan memastikan legitimasi kebijakan fiskal di mata masyarakat luas.
Fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan dengan landasan prinsip keadilan, amanah, transparansi, akuntabel, dan orientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah). Fatwa ini terbagi menjadi dua bagian utama: Ketentuan Hukum (yang bersifat syar’i) dan Rekomendasi Kebijakan (yang bersifat praktis).
- Ketentuan Hukum (Ketetapan Syar’i)
- Prinsip Kemampuan Membayar dan PTKP Syar’i
Pajak penghasilan (PPh) secara syar’i hanya boleh dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial yang memadai. Kemampuan finansial ini, menurut fatwa, secara minimal setara dengan nishab zakat mal, yaitu 85 gram emas. Ketentuan ini diusulkan untuk menjadi analogi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam sistem pajak nasional.
Dengan menetapkan PTKP pada standar ini, MUI secara efektif menuntut bahwa negara seharusnya hanya memajaki kelas menengah ke atas secara substansial. Jika 85 gram emas dihargai sekitar Rp 100 juta per tahun (tergantung harga emas saat penetapan), mayoritas pekerja informal dan masyarakat berpenghasilan rendah akan dikeluarkan dari basis PPh.
Hal ini secara fundamental mengalihkan fokus pemajakan kepada mereka yang memiliki harta produktif atau mengonsumsi barang sekunder dan tersier.
Penetapan standar ini berdasarkan pandangan bahwa pajak, jika dilegitimasi, harus berlandaskan pada kemampuan membayar yang tinggi. Analogi ini menempatkan pandangan bahwa fatwa ini adalah Fiqh terapan yang bersifat “tax-neutral” bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, tetapi “tax-focused” bagi kelompok yang mampu.
- Pembatasan Objek Pajak pada Harta Produktif dan Kebutuhan Sekunder/Tersier
Objek pajak hanya boleh dikenakan kepada harta yang memiliki potensi untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat). Ketentuan ini membatasi kewenangan negara untuk memajaki harta yang bersifat vital atau tidak produktif.
- Larangan Pajak Berulang pada Kebutuhan Primer (Dharuriyat)
Fatwa secara tegas menyatakan bahwa barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang (double tax). Salah satu pokok bahasan adalah bumi dan bangunan yang dihuni (rumah tinggal non-komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.
Pelarangan pajak pada PBB rumah huni non-komersial ini didasarkan pada pembedaan antara hunian sebagai aset vital yang tidak produktif dan aset komersial/produktif. Pengenaan PBB tahunan berulang pada tempat tinggal dianggap memberatkan rakyat kecil dan melanggar prinsip keadilan.
- Kedudukan Zakat sebagai Pengurang Pajak
Fatwa menegaskan bahwa zakat yang sudah dibayarkan oleh umat islam menjadi pengurang kewajiban pajak. Ini adalah upaya harmonisasi fiskal yang bertujuan mendorong kepatuhan Zakat formal dan menghindarkan persepsi tumpang tindih antara kewajiban Zakat dan Pajak.
- Sanksi Hukum Syar’i
Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, khususnya yang tidak berdasar pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umum, hukumnya haram.
- Rekomendasi Kebijakan (Seruan Reformasi Fiskal)
MUI mengeluarkan poin-poin rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah pusat (DPR, Kemenkeu) dan pemerintah daerah, menuntut perbaikan mendasar dalam system perpajakan:
- Pemerintah didesak untuk meninjau kembali beban perpajakan, terutama pajak progresif (seperti Pajak Kendaraan Bermotor/PKB dan PPh progresif), yang nilainya dirasakan terlalu besar dan tidak disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay).
- Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber kekayaan negara dan menindak para oknum nakal sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sebelum membebankan pajak yang tinggi kepada rakyat.
- Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan.
- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pemerintah daerah diminta mengevaluasi aturan mengenai PBB, Pajak Pembangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), yang kerap dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Pelarangan pajak berulang pada PBB hunian dan seruan evaluasi pajak daerah menekankan bahwa Pemda sering menggunakan pajak ini sebagai “alat pengumpul dana” yang pragmatis untuk meningkatkan PAD tanpa mengindahkan prinsip ability to pay. Oleh karena itu, fatwa ini menargetkan praktik di tingkat lokal yang memicu keresahan publik.
Landasan Fatwa Pajak Berkeadilan bersandar kuat pada prinsip-prinsip dasar Fiqh Muamalah dan Maqashid Syariah (tujuan syariah). Dalam tradisi Fiqh, pungutan pajak (dharibah) diperbolehkan negara hanya dalam keadaan darurat, yaitu jika kas negara (Baitul Mal) tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara demi kemaslahatan rakyat.
Fatwa ini menegaskan bahwa negara wajib mengelola seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terlebih dahulu, dan baru boleh memungut pajak jika kekayaan negara tidak cukup.
Penggunaan pajak harus memenuhi empat syarat penting: adil, amanah, transparan, dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umum. Jika syarat-syarat ini dilanggar, pungutan tersebut dapat dikategorikan sebagai maks, yaitu pajak zalim yang diharamkan dalam Islam. Dengan menyatakan bahwa pungutan pajak yang tidak adil adalah haram, MUI menempatkan isu pajak di bawah pengawasan etika keagamaan yang ketat.
Rasionalitas syariah di balik pembebasan pajak pada kebutuhan primer (sembako dan rumah hunian non-komersial) terletak pada perlindungan terhadap lima tujuan dasar syariah (Maqashid Sharia), khususnya Hifzh Al-Nafs (menjaga jiwa) dan Hifzh Al-Mal (menjaga harta).
Apabila implementasi fatwa ini dilaksanakan sepenuhnya maka akan timbul konsekuensi-konsekuensi fiskal yang signifikan, terutama dalam penentuan basis Pajak Penghasilan (PPh) dan stabilitas Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Jika batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan secara drastis untuk setara dengan nishab Zakat Mal (sekitar 85 gram emas), basis Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) PPh akan menyusut secara substansial. Hal ini secara langsung akan mengurangi penerimaan PPh pusat dari kelompok masyarakat menengah ke bawah. Kemenkeu harus meninjau ulang secara serius implikasi makroekonomi dari usulan ini.
Rekomendasi Zakat sebagai pengurang pajak berpotensi meningkatkan kepatuhan masyarakat Muslim terhadap Zakat formal melalui lembaga resmi. Meskipun ini dapat mengurangi PPh terutang, dampaknya mungkin lebih kecil dibandingkan dampak dari kenaikan PTKP.
Namun, sinergi ini penting karena dapat memperkuat penyaluran Zakat yang efektif untuk program jaminan sosial, sekaligus membuka ruang dialog antara otoritas fiskal dan keagamaan mengenai implementasi teknis.
Mengikat PTKP pada harga emas global menciptakan tantangan administratif dan fiskal. Karena harga emas fluktuatif, hal ini menyulitkan DJP dalam membuat proyeksi penerimaan pajak tahunan. Diperlukan mekanisme penetapan nilai nishab tahunan yang stabil dan disepakati oleh regulator untuk menghindari ketidakpastian kebijakan.
Sedangkan dari sisi Pajak daerah dan otonomi fiskal Isu yang paling sensitif dari fatwa ini adalah dampaknya pada PBB-P2. Pelarangan PBB berulang pada bumi dan bangunan yang dihuni (non-komersial) secara langsung menggerus tulang punggung PAD bagi banyak daerah.
Hal ini menimbulkan kebutuhan strategis bagi pemerintah pusat untuk mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan “pajak berulang” dan bagaimana membedakan secara tegas antara hunian dharuriyat (primer) dan hunian tahsiniyat (sekunder/mewah).
Desakan MUI agar Kemendagri dan Pemda mengevaluasi PKB dan pajak progresif daerah lainnya menunjukkan adanya kesadaran bahwa Pemda sering menaikkan tarif pajak tersebut tanpa pertimbangan keadilan, semata-mata untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Tak pelak Fatwa Pajak Berkeadilan telah memicu reaksi formal dari lembaga eksekutif dan legislatif, menunjukkan bahwa isu ini telah naik ke tingkat perumusan kebijakan nasional. Pimpinan DPR RI, melalui Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal, merespons fatwa MUI dengan menyatakan bahwa DPR akan bertanya kepada Kementerian Keuangan mengenai sikap resmi dan langkah pemerintah selanjutnya.
Ini menunjukkan bahwa DPR memandang fatwa ini sebagai masukan penting yang harus dipertimbangkan dalam perumusan undang-undang perpajakan.
Kemendagri, yang memiliki peran sentral dalam mengawasi PBB-P2 sebagai pajak daerah, merespons dengan menyatakan bahwa mereka akan mempelajari fatwa ini terlebih dahulu. Sikap hati-hati Kemendagri mencerminkan kekhawatiran terhadap dampak langsung implementasi fatwa pada PAD Pemda. Karena PBB merupakan kewenangan daerah, harmonisasi regulasi memerlukan koordinasi lintas sektor antara Kemendagri, Pemda, dan Kemenkeu.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu berencana melakukan “tabayyun” (klarifikasi atau dialog) dengan MUI. Tujuan utama tabayyun adalah menyamakan persepsi antara regulasi perpajakan yang berlaku dan prinsip keadilan yang ditegaskan dalam fatwa, serta mencegah timbulnya polemik di masyarakat. DJP mengakui bahwa negosiasi dengan otoritas keagamaan diperlukan untuk memastikan kebijakan fiskal tetap memiliki legitimasi moral dan etis di mata publik.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menyebutkan bahwa pertemuan pendahuluan dan Focus Group Discussion (FGD) telah dilakukan sebelumnya, dan MUI pada prinsipnya memahami terjemahan undang-undang yang dijelaskan DJP, namun fokus MUI adalah memastikan pemahaman yang lebih luas di kalangan umat Islam mengenai kesepakatan ulama tentang pajak.
Proses dialog (tabayyun) ini menunjukkan bahwa otoritas fiskal (teknokratis) di Indonesia secara strategis harus bernegosiasi dengan otoritas keagamaan (moral-etis) untuk menciptakan legitimasi publik terhadap kebijakan.
Kemenkeu menyadari bahwa jika aspek syar’i dari pajak dipertanyakan, kepatuhan sukarela (tax compliance) dapat menurun. Oleh karena itu, dialog ini adalah upaya manajemen risiko sosial dan politik untuk memastikan kebijakan fiskal yang komprehensif dan diterima masyarakat. []
Penyuluh Pajak KPP Perusahaan Masuk Bursa*)





Mantap penjelasannya pak