Fenomena Overthinking di Era Digital: Antara Tekanan Sosial dan Kemampuan Mengelola Pikiran

Oleh : Khoirotul Fitriah Lissobidia*)

Di era digital seperti sekarang, banyak orang merasa lebih mudah terhubung, lebih cepat memperoleh informasi, dan lebih fleksibel dalam aktivitas sehari-hari. Namun, di balik semua kemudahan itu, muncul fenomena psikologis yang semakin sering dibicarakan: overthinking, atau kebiasaan berpikir secara berlebihan.

Fenomena ini bukan sekadar “kepikiran” biasa, tetapi kondisi ketika seseorang memikirkan suatu hal secara berulang dan mendalam hingga menimbulkan kecemasan, gangguan fokus, bahkan kelelahan mental. Menariknya, meskipun overthinking bukan istilah medis formal, gejala dan dampaknya sudah banyak dibuktikan oleh penelitian.

Era Digital Memperburuk Kebiasaan Overthinking?

Sebuah studi dari University of Michigan (2020) menemukan bahwa rumination atau kebiasaan memutar ulang pikiran negatif meningkat hingga 20% pada individu yang terlalu sering terpapar media sosial.

Alasannya sederhana: era digital menyediakan informasi tanpa batas, perbandingan sosial yang konstan, dan tekanan untuk tampil sempurna. Ketika seseorang melihat pencapaian orang lain, standar hidup teman-temannya, atau berita yang menegangkan, otak memproses semuanya secara berlebihan.

Bahkan menurut American Psychological Association (APA), paparan informasi berlebih (information overload) dapat memicu stres kronis, menghambat pengambilan keputusan, dan meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami episode overthinking.

Fenomena doom scrolling menjadi kebiasaan terus membaca berita buruk di internet juga memperburuk kondisi ini. Orang mudah terjebak dalam lingkaran kecemasan karena selalu merasa ada sesuatu yang mengancam atau harus dikhawatirkan.

Overthinking Berdampak Pada Kesehatan Mental dan Fisik?

Penelitian dari Harvard Health Publishing menjelaskan bahwa overthinking dapat memicu peningkatan hormon stres seperti kortisol. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bisa menyebabkan: 1. Gangguan tidur, 2. Penurunan konsentrasi, 3. Mudah marah, 4. Fatigue atau kelelahan berlebihan, 5. Masalah pencernaan, 6. Gangguan kecemasan, dan 7. Depresi ringan hingga berat

Tidak sedikit pula orang yang merasa hidupnya “berjalan di tempat” karena terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Akibatnya, produktivitas menurun, relasi sosial terganggu, dan kualitas hidup ikut menurun.

Media Sosial Seharusnya Jadi Alat, Bukan Akar Tekanan Baru

Akar terbesar dari overthinking di era digital bukan hanya media sosialnya, tetapi cara kita menggunakannya. Media sosial dirancang untuk membuat orang terus membuka, melihat, dan membandingkan. Namun, manusia tetap memiliki kendali dalam memilih apa yang mereka konsumsi dan bagaimana mereka merespons.

Sayangnya, banyak orang terjebak pada pola “melihat hidup orang lain sebagai standar. Ketika orang memposting pencapaian karier, liburan, hadiah dari pasangan, atau momen bahagia lainnya, sebagian pengguna lain tidak sadar menyimpan perasaan iri, tertekan, atau minder.

Dari sinilah overthinking mulai tumbuh:

“Aku kapan?”

“Aku kurang apa?”

“Kenapa hidupku nggak seperti itu? ”Dalam pandangan saya pribadi, pendidikan literasi digital masih kurang diajarkan di masyarakat, padahal ini sangat penting. Orang perlu tahu bahwa yang ditampilkan di media sosial bukan kehidupan nyata 100%, tapi bagian yang sudah dikurasi. Jika masyarakat lebih sadar hal ini, overthinking bisa berkurang secara signifikan.

Overthinking Bisa Dikendalikan Dengan Latihan Mental?

Saya berpendapat bahwa overthinking bukan sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Ini lebih mirip kebiasaan mental yang bisa dilatih untuk menjadi lebih baik. Salah satu cara yang menurutku paling efektif adalah mindfulness, yaitu kemampuan untuk menyadari apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan tanpa menghakiminya.

Selain itu, membatasi konsumsi media sosial juga penting. Tidak harus hilang sepenuhnya, tapi cukup dikurangi agar otak punya ruang bernapas. Mengalihkan fokus ke aktivitas lain seperti olahraga, membaca buku, atau melakukan hobi juga bisa mempersempit ruang bagi pikiran negatif untuk berkembang.

Overthinking di era digital adalah fenomena nyata yang dialami banyak orang. Fakta menunjukkan bahwa informasi berlebih dan tekanan sosial dari media sosial memperburuk kondisi ini. Dampaknya tidak hanya pada mental, tapi juga kesehatan fisik.

Namun, menurut opiniku, overthinking bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Dengan kesadaran digital, pengelolaan pikiran, dan perubahan kebiasaan, kita bisa meminimalkan dampaknya.

Era digital memberikan banyak keuntungan, tapi juga membawa tantangan baru. Pilihannya ada pada kita: apakah menenggelamkan diri dalam arus pikiran berlebihan, atau belajar mengendalikan pikiran agar hidup lebih tenang dan terkendali. []

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan Bahasa Arab UIN Imam Bonjol Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *