Prof Djohermansyah Djohan: Pilkada Mahal Penyebab Korupsi Kepala Daerah tak Kunjung Berakhir

Pakar Otonomi Daerah dan Guru Besar IPDN Prof. Djohermansyah Djohan. (foto; doc)

JAKARTA, FOKUSSUMBAR.COM – Menjelang akhir tahun, publik kembali dikejutkan oleh rangkaian kasus korupsi yang menjerat kepala daerah hasil Pilkada 2024.

Dalam tiga bulan terakhir, empat kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT). Mereka adalah Bupati Kolaka Timur Abdul Ajis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, dan Bupati Lampung Tengah Ardhito Wijaya. Selain itu, Wakil Wali Kota Bandung Erwin juga ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan atas dugaan rasuah.

Rentetan kasus ini memantik kembali pertanyaan mendasar: mengapa kepala daerah kerap terjerat korupsi?

Menjawab persoalan itu Pakar Otonomi Daerah dan Guru Besar IPDN Prof. Djohermansyah Djohan menilai masalah korupsi kepala daerah sebetulnya bukan fenomena baru, melainkan penyakit struktural yang belum sembuh sejak 20 tahun lalu.

Pilkada Langsung dan “Kutukan Kutai Kertanegara”

Prof. Djohermansyah menyebut fenomena ini telah berlangsung sejak Indonesia menggelar Pilkada langsung pertama pada 1 Juni 2005.

Ia mengingat betul kasus perdana itu: Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kertanegara, kepala daerah pertama hasil pilkada langsung, justru masuk penjara akibat korupsi.

“Sejak itu, tanpa perbaikan regulasi yang signifikan, kasus serupa terus berulang setiap tahun,” kata Prof. Djo dalam wawancara khusus di Jakarta, Jumat kemarin (12/12/2025), .

Ia menyampaikan temuan mencengangkan:
Selama dua dekade pilkada langsung, 413 kepala daerah dan wakil kepala daerah telah terjerat kasus korupsi.

“Jumlahnya 413 orang. Gubernur saja sudah 38—sama dengan jumlah provinsi di Indonesia,” imbuh prof Djohermansyah Djohan.

Modus korupsi paling umum antara lain: penyimpangan pengadaan barang dan jasa, korupsi proyek pembangunan fisik, korupsi perizinan, serta jual beli jabatan dalam birokrasi daerah.

“Jabatan kepala dinas, sekretaris dinas, bahkan jabatan camat ada harganya. Ini jelas menyimpang dari “merit system,” tegasnya.

Pilkada Berbiaya Mahal: Akar Masalah yang Tak Kunjung Diobati

Menurut Prof. Djohermansyah, penyebab utama maraknya korupsi kepala daerah adalah mahalnya ongkos politik pilkada.

Ia merinci bahwa kandidat harus menanggung biaya: mahar partai politik, biaya kampanye dan logistik, pembentukan tim sukses berlapis hingga tingkat desa, honor saksi TPS yang jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu, dan beli suara (vote buying) berupa uang maupun sembako.

“Siapa yang berani bayar paling besar, dialah yang dipilih. Perilaku pemilih kita masih demikian tingkatannya,” ujarnya.

Riset menunjukkan, biaya pemenangan seorang kepala daerah dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Kabupaten kecil 30 miliar, kabupaten besar 150 miliar lebih. Penyelenggaraan pilkada sendiri menghabiskan anggaran besar melalui dana hibah APBD ke KPU daerah.

Akibatnya, setelah terpilih, langkah kepala daerah yang pertama adalah untuk mengembalikan ongkos pilkada lewat cara “abuse of power”. Mengintervensi administrasi, dan memaksa pejabat birokrasi untuk memberinya “fee project”. Ini sering disebut pegawai sebagai “jatah preman”. Maka, terbukalah pintu masuk korupsi kepala daerah.

“Mereka berusaha balik modal. Ada uang pribadi, uang pinjaman, atau sponsor dari cukong. Maka korupsi tak terhindarkan.

Ia mengingatkan bahwa menjelang akhir tahun, transaksi proyek biasanya meningkat—baik pembayaran termin, pencairan anggaran, maupun penyelesaian kontrak. Momentum ini sering menjadi celah terjadinya korupsi.

“Jika OTT dilakukan masif di bulan Desember ini, saya yakin jumlah kepala daerah tergaruk lebih banyak.” ungkap prof Djo.

Jaringan Internal, Broker, dan Kode Rahasia

Di banyak kasus, kepala daerah tidak bekerja sendirian. Ada jaringan informal: kerabat dekat, staf khusus, tenaga ahli, hingga anggota DPRD.

Mereka menjadi perantara dalam penarikan fee proyek atau jual beli jabatan. Ada pejabat daerah yang menggunakan kode tertentu dalam komunikasi, seperti “meter” atau “batang,” untuk menyamarkan nilai uang.
“Ini mudah sekali dilacak lewat penyadapan,” ujarnya.

Ringannya Hukuman, Lemahnya Efek Jera

Prof. Djo juga menyoroti buruknya penegakan hukum.

Pelaku korupsi: bisa tertawa ketika diperiksa, senyum senyum di ruang pengadilan, mendapat remisi, keluar lebih cepat, bahkan boleh maju lagi dalam pilkada berikutnya asal minta maaf padahal sudah melakukan perbuatan tercela.

“Ada yang sudah dipenjara, keluar, maju lagi, menang lagi, dan ditahan lagi. Ini rusak sekali.” ujar prof Djo.

Ia membandingkan dengan negara lain yang menerapkan: hukuman sangat berat, penyitaan total aset, dan pelarangan seumur hidup untuk jabatan publik.

Butuh Reformasi Total Sistem Pilkada

Pada akhir wawancara, Prof. Djo menekankan bahwa solusi tidak bisa dilakukan parsial.

Perbaikan harus dilakukan dari hulu ke hilir:

  1. Mereformasi sistem pemilihan kepala daerah agar tidak berbiaya mahal melalui perbaikan sistem pilkada yang sesuai dengan konstitusi UUD 1945 dan filosofi Pancasila.
  2. Menata ulang proses elektoral mulai dari rekrutmen kandidat oleh partai harus dengan melibatkan publik, perbaikan syarat-syarat calon kepala daerah dengan menekankan pada faktor “jam terbang”, “track records”, dan pengalaman, serta mengunci pintu politik dinasti. pengetatan seleksi anggota KPU dan Bawaslu sehingga betul-betul diperoleh komisioner yg independen dan berintegritas, yaitu dari “prominent person” atau orang yang sudah selesai dengan dirinya”.
  3. Memperkuat penegakan hukum, dengan hukuman yang memberi efek jera serta pelarangan politik bagi mantan koruptor.
  4. Membangun kultur politik bersih, termasuk edukasi pemilih agar tidak tergoda politik uang.

Tanpa perbaikan itu semua, Prof. Djo pesimistis korupsi kepala daerah bisa dicegah.

“Selama sistemnya seperti ini, selama pilkada tetap mahal, maka korupsi kepala daerah akan terus berulang,” tegas prof Djo. (rls)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *