Oleh : Nafla Israg Faiza*)
Banjir yang melanda masyarakat Sumatera Barat mengakibatkan warga mengungsi. Sekolah yang awalnya menjadi tempat menimba ilmu sekarang beralih fungsi menjadi tempat ribuan warga berlindung. Meja yang tersusun rapi sekarang tertimbun oleh barang-barang pengungsi.
Ruang kelas yang semulanya tempat siswa belajar sekarang dipenuhi oleh keluarga yang kehilangan tempat tinggal.
Dalam situasi seperti ini muncul pertanyaan: apakah belajar masih mungkin dilakukan ketika sekolah beralih fungsi menjadi posko?
Dampak Bencana Terhadap Sekolah dan Pendidikan di Sumatera Barat
Bencana alam yang terjadi pada akhir November lalu berdampak besar terhadap dunia Pendidikan.
Menurut data dari Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukan bahwa 314 sekolah terdampak mulai dari PAUD hingga SMA/SMK.
Artinya, dampak yang dirasakan tidak hanya pada sekolah-sekolah besar, tetapi juga berdampak pada institusi Pendidikan dasar dan anak usia dini. Dampaknya sangat terlihat nyata pada beberapa Kabupaten.
Di Pasaman Barat dilaporkan kisaran 23 sekolah terendam banjir, dengan beberapa ruang kelas yang terisi air hingga menghancurkan meja dan kursi belajar.
Sementara di Kabupaten Agam merupakan salah satu daerah yang paling terdampak. Terdapat secara keseluruhan 102 sekolah yang terdampak bencana, 60 sekolah mengalami kerusakan parah dan sedang, sedangkan sisanya mengalami kerusakan ringan. Akibat dari kerusakan yang terjadi, Pemerintah Kabupaten Agam meliburkan proses belajar mengajar siswa di 93 sekolah sampai 22 Desember 2025.
Beberapa sekolah bahkan telah dialihfungsikan menjadi posko pengungsian, salah satunya yaitu SDN 02 Cupak Tangah.
Hal ini memaksa pihak sekolah dan pemerintah mengambil keputusan sulit dengan menghentikan proses belajar sementara waktu untuk prioritas penyelamatan warga. Sebagai akibatnya, siswa jadi kehilangan akses terhadap ruang belajar.
Upaya Pemulihan Dan Pembelajaran Darurat
Menyadari dampak besar terhadap pendidikan di Sumatera Barat, Pemerintah bergerak cepat. Mentri Pendidikan menyatakan bahwa dukungan pembangunan sekolah darurat menjadi prioritas nasional, termasuk pemetaan sekolah terdampak, relokasi bila perlu, serta penyediaan ruang belajar sementara.
Di lapangan, komunitas lokal, guru serta relawan ikut ambil peran. Di beberapa titik pengungsian di buka ruang belajar darurat. Anak-anak tetap bisa melakukan aktivitas edukasi seperta membaca dan menulis.
Tenda darurat atau musholah dijadikan sebagai kelas dadakan, sementara buku sumbangan dan alat tulis disediakan secara terbatas. Langkah-langkah tersebut menunjukan bahwa Pendidikan bukan hanya soal bangunan fisik, tapi tentang kemauan bersama menjaga hak anak-anak tetap bisa belajar, meskipun bencana menguji.
Tantang yang Harus Dihadapi
Meskipun upaya pemulihan berjalan, sejumlah kendala masih tetap terjadi diantaranya:
Kerusakan berat: Beberapa sekolah memerlukan renovasi menyeluruh dan relokasi, proses yang memakan waktu dan biaya besar.
Dampak psikologis: Kehilangan rumah dan ruang kelas membuat siswa cemas dan kehilangan rasa aman, menghambat minat belajar.
Keterbatasan sarana belajar darurat: Meja, kursi, papan tulis, dan buku masih terbatas, memaksa pembelajaran menjadi kreatif dan fleksibel.
Cuaca yang tidak menentu: Hujan lebat sewaktu-waktu bisa mengganggu proses belajar, menyulitkan perencanaan jangka panjang.
Kendala-kendala ini menunjukkan bahwa memulihkan pendidikan pasca bencana tidak cukup sekadar memperbaiki bangunan, tetapi membutuhkan perhatian terhadap aspek fisik, psikologis, dan sosial siswa.
Harapan di Tengah Krisis
Banjir dan longsor 2025 di Sumatera Barat memperlihatkan kerentanan sistem pendidikan saat bencana datang. Ratusan sekolah terdampak, banyak yang rusak atau dialihfungsikan, dan ribuan siswa kehilangan akses belajar.
Namun, solidaritas pemerintah, guru, orang tua, dan komunitas menunjukkan bahwa ruang belajar tidak selalu berbentuk gedung. Dengan kreativitas, kepedulian, dan kemauan bersama, pendidikan tetap bisa berlangsung di tenda darurat, posko pengungsian, maupun rumah warga.
Pertanyaan “Masih adakah ruang untuk belajar?” tidak memiliki jawaban tunggal, tapi jelas: ruang itu tetap ada jika kita semua memutuskan untuk menjaga hak pendidikan anak-anak di tengah krisis. []
Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang Prodi Pendidikan Bahasa Arab*)
