Tenda Tertata Rapi dan Mendadak Tersedianya Air Bersih, Kepedulian Atau Strategi Pencitraan?

Oleh: Uci Maharani*)

Mengapa tenda tiba-tiba tertata rapi dan air bersih mengalir pas jelang kedatangan presiden bukti kepedulian atau sekadar pencitraan? Meski pemerintah kerap mengabarkan kemajuan akses air minum layak, data BPS justru memperlihatkan ironi: sekitar 7,36% rumah tangga setara jutaan orang masih hidup tanpa akses air bersih.

Fakta ini menegaskan bahwa air bukan sekadar simbol keberhasilan di atas panggung seremonial, melainkan kebutuhan dasar yang menunggu solusi nyata dan berkelanjutan. Data ini dirilis Badan Pusat Statistik Indonesia pada 9 Desember 2025.

Di lapangan, narasinya memicu tanda tanya: warga Aceh Tamiang menyebut tenda bertuliskan BNPB yang tampak rapi di jembatan baru dipasang beberapa jam sebelum kunjungan presiden, sementara kebutuhan paling mendesak yang mereka sebutkan adalah air untuk memasak dan minum bukan tata panggung yang rapi.

Kesaksian itu memancing dua pertanyaan besar sekaligus: apakah respons kemanusiaan berjalan sesuai urgensi, ataukah momen kunjungan menjadi pemicu aksi kilat yang lebih mengutamakan tampilan?

Pembaca diajak melihat lebih jauh: di balik tenda dan ember yang tiba-tiba terisi, siapa yang sebenarnya menerima manfaat jangka panjang, dan bagaimana ukuran keberpihakan pemerintah seharusnya dinilai?.

Sumatera kini dilanda musibah besar: sejak akhir November 2025 banjir bandang dan longsor telah merenggut ratusan nyawa, merusak lebih dari 10.000 rumah, dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi.

Di lapangan tampak bukan sekadar angka ada keluarga yang kehilangan tempat tinggal, anak-anak kedinginan, dan wajah-wajah lelah yang menunggu pertolongan nyata. Dilansir dari Detikcom pada tanggal 4 Desemser 2025.

Ironi besar muncul di tengah darurat itu: meski BPS melaporkan peningkatan akses air minum secara nasional, masih ada sekitar 7,36% rumah tangga yang belum menikmati akses air minum layak, artinya jutaan orang rentan ketika bencana melanda dan pasokan terganggu.

Statistik ini mengingatkan bahwa ketersediaan air bukan sekadar angka di laporan, melainkan masalah hidup-mati untuk pengungsi. Dirilis dari Badan Pusat Statistik Indonesia.

Di lapangan contoh konkret terasa: warga Aceh Tamiang menceritakan tenda bertuliskan BNPB yang baru dipasang jelang kunjungan pejabat, sementara kebutuhan mendesak mereka tetap air untuk memasak dan minum “kadang sekali dua hari datang mobil air,” kata salah satu pengungsi.

BNPB kemudian memberikan klarifikasi soal distribusi tenda, namun cerita warga menegaskan jurang antara distribusi logistik dan prioritas kebutuhan dasar. Dilansir dari Detikcom pada tanggal 2 Desember 2025.

Pakar menyoroti akar masalah yang lebih panjang: kerusakan hutan hulu, tata guna lahan yang rapuh, dan infrastruktur air yang belum memadai memperparah dampak hidrometeorologi.

Solusi nyata bukan sekadar penanganan visual adalah penguatan sistem penyediaan air minum (SPAM), restorasi kawasan hulu, dan logistik bantuan yang transparan serta berbasis kebutuhan lokal. Tanpa itu, tenda dan air “darurat” akan terus jadi obat sementara, bukan solusi berkelanjutan. Dilansir dari Detikcom pada tanggal 2 Desember 2025.

Pada akhirnya, tenda yang rapi dan air yang tiba-tiba mengalir menjelang kunjungan pejabat seharusnya tak lagi menjadi pusat cerita di tengah duka Sumatera. Data, kesaksian warga, dan analisis ahli sama-sama menunjukkan satu hal sederhana: bencana menuntut kehadiran negara yang konsisten, bukan musiman.

Air bersih, hunian layak, dan perlindungan jangka panjang bukan panggung seremonial, melainkan hak dasar yang harus hadir bahkan saat kamera tak menyala.

Dari Sumatera, kita diingatkan bahwa ukuran kepedulian sejati bukan seberapa indah yang tampak, tetapi seberapa lama dan adil dampaknya dirasakan oleh mereka yang paling terdampak. []

Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Prodi Pendidikan Bahasa Arab*)

Exit mobile version