DI usia yang seharusnya dipenuhi tawa dan celoteh, dunia Muhammad Achraf Albaihaqi, atau Haqi, justru sunyi. Terlalu sunyi untuk seorang balita yang baru berusia 3 tahun. Sejak lahir, Haqi tak pernah benar-benar mengenal apa itu suara. Bukan karena ia tak ingin mendengar, tetapi karena dunia memang menutup pintu suara itu rapat-rapat untuknya.
Kecurigaan itu mulai mengendap di hati sang ibu, Suci Fitri Syahni, ketika Haqi berusia delapan bulan. Setiap kali namanya dipanggil, Haqi tak menoleh. Dipanggil dari belakang saat bermain, ia tetap larut di dunianya. Bahkan suara keras pun tak membuatnya bereaksi. Saat tidur, Haqi terlelap pulas, seakan aktivitas di sekelilingnya tak pernah ada.
Sebagai orang tua, Suci tak tinggal diam. Ia membawa Haqi ke klinik, lalu dirujuk ke dokter spesialis anak di rumah sakit. Dari sana, Haqi kembali dirujuk ke dokter THT untuk pemeriksaan pendengaran yang lebih lengkap.
Hasilnya menghantam perasaan seorang ibu dengan keras: tes OAE dan BERA menunjukkan Haqi mengalami gangguan pendengaran sangat berat, 100 desibel di kedua telinganya.
“Derajat pendengarannya setara suara pesawat jet yang lepas landas tepat di dekatnya,” ujar dokter menjelaskan. Bagi Suci, kalimat itu bukan sekadar istilah medis. Itu adalah kenyataan pahit bahwa anaknya hidup dalam keheningan total.
Haqi didiagnosis mengalami Sensorineural Hearing Loss (SNHL), kerusakan saraf pendengaran yang membuat suara tak dapat diterjemahkan oleh otak. Padahal Haqi lahir normal, tanpa tanda apa pun selama kehamilan. Tak ada yang salah, namun semuanya terasa runtuh.
Dokter menyarankan dua pilihan: alat bantu dengar (ABD) atau implan koklea. Dengan penghasilan sebagai tenaga honorer SD, sementara sang suami juga tenaga honorer di sebuah pondok pesantren di Kota Padang, pilihan itu terasa seperti mimpi yang terlalu tinggi. Harga alat bantu dengar saja sudah di luar jangkauan, apalagi implan koklea.
Namun, cinta orang tua tak pernah mengenal kata menyerah.
Dengan meminjam dan mengetuk pintu saudara serta orang-orang baik, pada tahun 2024 Haqi akhirnya bisa menggunakan alat bantu dengar di telinga kiri. Ia juga mengikuti terapi Auditory Verbal Therapy (AVT). Setiap sesi menjadi harapan baru. Setiap suara yang diupayakan masuk ke telinganya adalah doa yang tak putus dipanjatkan.
Waktu berjalan. Terapi dilakukan. Pendampingan di rumah terus diupayakan. Namun respons Haqi belum juga konsisten. Terapis menyarankan penggunaan alat bantu dengar di telinga kanan agar pendengaran Haqi lebih optimal.
Sekali lagi, Suci harus menguatkan diri, meminjam, memohon, dan berharap. Bantuan dari keluarga dan BAZNAS menjadi cahaya kecil di tengah gelap. Alhamdulillah, di tahun 2025, Haqi akhirnya menggunakan alat bantu dengar di kedua telinganya.
Kini Haqi juga mengikuti terapi bicara di rumah sakit. Namun setelah hampir satu tahun pemakaian alat bantu dengar di kedua telinga, perubahan yang diharapkan belum juga datang. Derajat gangguan pendengaran yang sangat berat membuat alat bantu dengar belum mampu membawa suara hingga ke tahap pemahaman kata.
Di titik inilah harapan kembali bergantung pada implan koklea, satu-satunya jalan agar Haqi bisa benar-benar mendengar dan memahami dunia di sekitarnya.
Namun biayanya teramat besar, sekitar Rp600 juta untuk sepasang implan, belum termasuk pemeriksaan praoperasi dan terapi panjang pascaoperasi hingga Haqi mampu berkomunikasi dua arah.
Bagi keluarga honorer seperti mereka, angka itu terasa mustahil.
Namun bagi seorang ibu, harapan tak pernah diukur dengan logika semata. Harapan tumbuh dari cinta. Dari keyakinan bahwa setiap anak berhak mendapat kesempatan yang sama untuk hidup, berkomunikasi, dan mandiri di masa depan.
“Saya hanya ingin Haqi bisa mendengar, bisa berbicara, dan kelak bisa hidup mandiri,” ujar Suci lirih, namun penuh keteguhan.
Ini bukan sekadar cerita tentang keterbatasan. Ini adalah kisah tentang perjuangan, tentang orang tua yang terus berjalan meski langkahnya tertatih, dan tentang seorang anak kecil yang menunggu dunia memberinya suara.
Semoga dari cerita Haqi, lahir lebih banyak tangan-tangan baik yang tergerak. Karena bagi Haqi, satu bantuan bisa berarti satu suara. Dan satu suara bisa menjadi awal dari sebuah kehidupan yang utuh. Silakan hubungi ibu Haqi, Suci Putri Syahni di nomor HP +62 823-8560-2818. (hendri parjiga)




