Oleh : Aulia Rahimi*)
Banjir parah yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 tidak semata-mata disebabkan oleh curah hujan tinggi. Rangkaian bencana ini justru menyingkap persoalan yang lebih mendasar, yakni krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatera yang telah berlangsung lama dan kian diperparah oleh anomali iklim.
Banjir dan longsor yang menghancurkan berbagai wilayah di Sumatera menjadi sinyal kuat bahwa model pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam telah mencapai titik buntu.
Daya dukung lingkungan yang terus tergerus membuat lanskap alam kehilangan kemampuan alaminya dalam mengelola air hujan.
Padahal, secara ekologis, kawasan hutan hujan tropis seperti di Sumatera memiliki peran penting dalam siklus hidrologi. Tajuk hutan mampu menangkap dan menyimpan hingga sekitar 35 persen air hujan, sementara 65 persen lainnya mencapai permukaan tanah.
Dalam kondisi ideal, ketika permukaan tanah tidak terganggu oleh aktivitas pembangunan atau pembukaan lahan, sekitar 55 persen air hujan dapat meresap ke dalam tanah. Sisanya, hanya sekitar 10–20 persen yang mengalir ke sungai.
Neraca air inilah yang menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah terjadinya banjir besar. Namun, kerusakan tutupan hutan dan alih fungsi lahan secara masif telah mengacaukan keseimbangan tersebut, sehingga air hujan lebih cepat menjadi limpasan permukaan dan memicu banjir.
Situasi ini semakin kompleks dengan munculnya fenomena anomali iklim. Salah satunya adalah siklon tropis Senyar, yang menunjukkan perilaku tidak biasa. Bibit siklon ini terpantau muncul di kawasan Selat Malaka, bagian timur Aceh, dan bergerak dengan lintasan zigzag.
Berbeda dari pola umum, siklon Senyar tidak melemah ketika memasuki daratan, melainkan tetap kuat dan bahkan menyeberang wilayah Sumatera. Akibatnya, hujan berintensitas tinggi mengguyur Pulau Sumatera selama beberapa hari berturut-turut.
Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa fenomena tersebut merupakan sebuah anomali.
Ia menegaskan bahwa biasanya siklon akan kehilangan energi ketika memasuki daratan, namun kali ini justru tetap aktif dan berpindah-pindah wilayah, sehingga dampaknya dirasakan secara bersamaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah mengeluarkan peringatan dini pada 21 November 2025 terkait potensi cuaca ekstrem.
Dalam konferensi pers pada 26 November 2025, Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menyatakan bahwa kondisi atmosfer saat itu masih berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan sekitarnya dalam beberapa hari ke depan.
Pada Rabu malam, 26 November 2025, hujan dengan intensitas sangat tinggi melanda Aceh dan memicu banjir besar. Namun, laporan menunjukkan bahwa sehari sebelumnya banjir telah lebih dahulu merendam wilayah Solok di Sumatera Barat.
Banjir yang terjadi di berbagai daerah ini tidak hanya membawa air, tetapi juga lumpur dan kayu gelondongan. Ribuan meter kubik kayu ditemukan terseret banjir, mulai dari Pidie Jaya di Aceh, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara, hingga Kota Padang di Sumatera Barat, memperkuat indikasi kerusakan hutan di daerah hulu.
Hingga Sabtu, 6 Desember 2025, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dampak kemanusiaan yang sangat besar. Jumlah korban meninggal dunia mencapai 916 jiwa, korban hilang sebanyak 274 jiwa, dan korban luka-luka sekitar 4.200 jiwa.
Angka-angka ini menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akumulasi dari krisis ekologis, tata kelola ruang yang lemah, serta tantangan perubahan iklim yang semakin nyata. []
Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Ekonomi Syariah*)
