Surat Terbuka Untuk Tuan Presiden dari Paduka Raja: Negara yang Menanam Banjir

Puisi : YURNALDI PADUKA RAJA*)

Tuan Presiden,
Negeri ini tampaknya telah menemukan rumus baru pembangunan:
tebang dulu, sesali belakangan.

Di depan kamera, kita diajari mencintai pohon.
Di balik layar, pohon diperlakukan seperti penghalang target.
Yang satu disebut pidato,
yang lain disebut kebijakan.

Tuan Presiden berkata hutan harus dijaga.
Lalu negara bertepuk tangan
sambil menyiapkan peta baru untuk menebangnya dengan rapi.

Papua, kata rencana, harus ditanami sawit.
Agar energi mengalir.
Agar mesin terus hidup.
Agar statistik tampak optimistis.

Tuan Presiden,
Kenapa hutan hujan tropis tertua di negeri ini
dipandang tak lebih dari BBM yang belum diperas.

Logika macam apa ini?
Membakar rumah untuk menghangatkan dapur.

Sumatera sudah lebih dulu dijadikan contoh.
Bukan contoh keberhasilan—
tetapi contoh ketidakmauan belajar.

Di sana, hutan habis.
Sawit berdiri.
Banjir rutin datang seperti tamu undangan tetap.
Setiap tahun, negara terkejut oleh tragedi yang sama—
seakan air datang dari langit tanpa sebab.

Padahal sebabnya jelas, berbaris rapi dalam laporan, jurnal, dan peringatan ilmiah
yang entah dibaca atau sekadar dijadikan hiasan rak kebijakan.

Namun negara memilih optimisme versi paling malas:
mengulang kesalahan sambil berharap hasilnya berbeda.

Papua kini dipanggil dengan nada yang sama.
Tanah kosong, kata mereka.
Padahal yang kosong hanya cara pandang.

Di sana ada sungai yang masih bernama,
ada hutan yang belum sempat dijadikan angka,
ada masyarakat adat yang tidak pernah diajak menawar masa depannya sendiri.

Tapi semua itu dianggap detail kecil
yang bisa ditenggelamkan oleh grafik pertumbuhan.

Sawit disebut solusi energi.
Aneh—karena setiap kali sawit tumbuh di bekas hutan,
yang ikut tumbuh adalah banjir, konflik lahan, dan krisis ekologis.
Energi memang mengalir,
tetapi juga air bah,
juga kemarahan,
juga ketidakadilan.

Negara tampaknya sangat yakin bahwa alam selalu bisa disuruh diam.
Padahal alam punya kebiasaan buruk:
ia membalas.

Dengan banjir.
Dengan longsor.
Dengan krisis air.
Dengan biaya bencana yang jauh lebih mahal daripada keuntungan sawit.

Seorang Presiden, katanya, memikirkan masa depan.
Namun masa depan seperti apa yang dibangun dengan menipiskan hutan
dan menebalkan anggaran penanggulangan bencana?

Jika Sumatera adalah luka terbuka,
Papua sedang diarahkan menjadi bekas jahitan yang sama—
dengan pisau yang tidak pernah dicuci dari darah kegagalan.

Sejarah kelak tidak akan bertanya:
apa niat baiknya?
Sejarah hanya akan menunjuk peta dan berkata:
di sinilah hutan terakhir ditebang,
atas nama pembangunan.

Padang Aro, 17/12/2025

Penulis adalah Wartawan Utama dan Penyair Indonesia*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *