Oleh : Alirman Sori*)
Abstrak
Keadilan merupakan fondasi normatif negara hukum yang dijanjikan oleh konstitusi kepada seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Namun dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, keadilan kerap tampil timpang, selektif, dan tunduk pada relasi kuasa. Artikel
ini mengajukan kritik konstitusional keras terhadap realitas tersebut dengan mempertanyakan orientasi keadilan yang dijalankan negara: apakah keadilan benar-benar diperuntukkan bagi seluruh warga negara, atau justru dikonstruksikan untuk melindungi kepentingan kekuasaan.
Melalui pendekatan hukum normatif-konstitusional dengan analisis peraturan perundang-undangan, teori negara hukum, dan doktrin konstitusionalisme, artikel ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran keadilan dari nilai konstitusional menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.
Kondisi ini bukan sekadar problem penegakan hukum, melainkan gejala krisis konstitusional yang mengancam legitimasi negara hukum demokratis.
Kata kunci: keadilan konstitusional, negara hukum, kekuasaan, penegakan hukum, legitimasi negara.
I. Pendahuluan: Keadilan yang Dipertanyakan
Keadilan sejak awal diposisikan sebagai tujuan utama pembentukan negara dan hukum. Dalam konteks Indonesia, keadilan tidak hanya bersifat filosofis, melainkan telah dikonstruksikan sebagai norma konstitusional yang mengikat penyelenggara negara.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menempatkan keadilan sosial sebagai cita-cita fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, realitas penegakan hukum menunjukkan ironi konstitusional. Hukum berjalan, prosedur dipenuhi, putusan dijatuhkan, tetapi rasa keadilan justru absen dalam pengalaman masyarakat. Hukum tampak tegas ke bawah dan lunak ke atas.
Fenomena ini melahirkan pertanyaan mendasar yang tidak lagi bersifat retoris, melainkan konstitusional: keadilan yang ditegakkan negara itu sesungguhnya diperuntukkan bagi siapa?
Pertanyaan ini menjadi relevan karena dalam negara hukum, keadilan tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Ketika keadilan kehilangan netralitasnya, maka hukum berhenti menjadi alat pembatas kekuasaan dan justru berubah menjadi mekanisme reproduksi ketimpangan (Asshiddiqie, 2015).
II. Keadilan sebagai Norma Konstitusional, Bukan Retorika Moral
Negara hukum meniscayakan bahwa hukum tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga adil secara substantif. A.V. Dicey menegaskan bahwa inti negara hukum terletak pada supremasi hukum dan kesetaraan mutlak setiap orang di hadapan hukum, tanpa pengecualian berdasarkan status sosial atau kekuasaan (Dicey, 1959).
Konstitusi Indonesia mengafirmasi prinsip tersebut melalui Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), serta Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Secara normatif, konstitusi tidak membuka ruang bagi keadilan yang diskriminatif.
Namun ketika hukum dipraktikkan secara selektif, maka yang terjadi bukan sekadar kegagalan administratif, melainkan pengkhianatan terhadap mandat konstitusi itu sendiri (Mahfud MD, 2014).
Keadilan yang hanya hidup dalam teks konstitusi, tetapi mati dalam praktik, adalah keadilan simbolik yang kehilangan daya emansipatorisnya.
III. Distorsi Keadilan dalam Praktik Penegakan Hukum
Distorsi keadilan paling nyata terlihat dalam pola penegakan hukum yang tidak berimbang. Warga negara yang tidak memiliki akses kekuasaan kerap menjadi objek penegakan hukum yang represif, sementara aktor-aktor yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan memperoleh perlakuan yang lebih lunak, kompromistis, bahkan protektif.
Dalam perspektif konstitusional, praktik tersebut menunjukkan bahwa hukum telah bergeser dari fungsi korektif menjadi fungsi legitimatif.
Hukum tidak lagi membatasi kekuasaan, melainkan dipakai untuk menjustifikasi dan mengamankan kepentingan kekuasaan. Pada titik ini, hukum kehilangan karakter moral dan konstitusionalnya (Asshiddiqie, 2010).
Keadilan yang seharusnya bersifat impersonal dan objektif berubah menjadi keadilan relasional yang ditentukan oleh posisi sosial dan politik subjek hukum.
IV. Keadilan yang Tersandera Kekuasaan: Kritik Konstitusional
Ketika keadilan tunduk pada kekuasaan, negara hukum berada dalam bahaya serius. Hans Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar yang mengendalikan seluruh sistem hukum. Setiap penyimpangan dari nilai konstitusional berarti merusak bangunan normatif negara hukum secara keseluruhan (Kelsen, 1961).
Dalam konteks Indonesia, ketidakadilan yang sistemik menunjukkan adanya kegagalan negara dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pelindung hak warga negara.
Negara tidak lagi hadir sebagai penjamin keadilan, melainkan sebagai aktor yang membiarkan bahkan mereproduksi ketidakadilan struktural.
Kondisi ini tidak dapat dinormalisasi sebagai “cacat implementasi”, karena telah berlangsung secara berulang dan berpola. Ketika pola ketidakadilan dibiarkan, maka yang terjadi adalah institusionalisasi ketidakadilan itu sendiri.
V. Krisis Legitimasi Negara Hukum
Legitimasi negara hukum tidak hanya ditentukan oleh keberadaan hukum tertulis atau prosedur formal, tetapi oleh kemampuan negara menghadirkan keadilan yang dirasakan secara nyata oleh warga negara. Ketika hukum kehilangan dimensi keadilannya, maka legitimasi konstitusional negara ikut tergerus (Mahfud MD, 2012).
Krisis keadilan akan bertransformasi menjadi krisis kepercayaan publik. Dalam kondisi tersebut, warga negara tidak lagi melihat hukum sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang adil, melainkan sebagai instrumen kekuasaan yang harus dihindari atau dilawan.
Jika situasi ini terus dibiarkan, negara hukum akan mengalami erosi dari dalam, bukan melalui pelanggaran terbuka terhadap konstitusi, tetapi melalui pembiaran sistemik terhadap ketidakadilan.
VI. Keadilan untuk Siapa: Penutup yang Menggugat
Pertanyaan “keadilan untuk siapa?” pada akhirnya adalah gugatan konstitusional terhadap arah penyelenggaraan hukum di Indonesia. Konstitusi menjanjikan keadilan bagi seluruh warga negara, bukan hanya bagi mereka yang memiliki akses kekuasaan, modal, atau pengaruh politik.
Keadilan yang berpihak pada kekuasaan adalah keadilan palsu. Ia mungkin sah secara prosedural, tetapi cacat secara konstitusional. Negara hukum yang membiarkan keadilan semacam ini sedang berjalan menuju delegitimasi dirinya sendiri.
Mengembalikan keadilan sebagai nilai konstitusional bukanlah pilihan moral, melainkan kewajiban konstitusional yang tidak dapat ditawar.
Kesimpulan
Keadilan dalam perspektif konstitusional Indonesia seharusnya bersifat setara, inklusif, dan berpihak pada perlindungan hak warga negara.
Namun praktik penegakan hukum menunjukkan adanya keadilan yang tersandera oleh kekuasaan. Kondisi ini mencerminkan krisis keadilan konstitusional yang mengancam legitimasi negara hukum.
Rekomendasi Kritis
- Reorientasi penegakan hukum agar kembali berlandaskan nilai keadilan konstitusional.
- Peneguhan prinsip persamaan di hadapan hukum tanpa kompromi terhadap kekuasaan.
- Penguatan mekanisme konstitusional untuk mengoreksi praktik hukum yang tidak adil. []
Penulis adalah Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI dan Ketua Dewan Redaksi www.fokussumbar.com*)




