“Ketika Alam Menangis, Langit Tidak Diam”

Oleh : Nurul Jannah*)

Bumi tidak sedang marah.
Ia sedang menangis.

Tangis itu tidak berisik, tidak demonstratif, dan tidak meminta simpati. Ia hadir dalam bentuk yang paling sunyi sekaligus paling mematikan.

Banjir yang berulang, longsor yang merenggut nyawa, kekeringan yang memiskinkan, dan musim yang tak lagi bisa ditebak. Kita menyebutnya bencana alam; seolah ingin mencuci tangan dari keterlibatan manusia di dalamnya.

Padahal, alam tidak pernah tiba-tiba rusak. Ia dilukai perlahan, dilegalkan bertahap, dan dibungkam dengan bahasa pembangunan.

Apa yang Terjadi

Yang kita hadapi hari ini bukan sekadar krisis lingkungan, melainkan krisis relasi. Relasi manusia dengan bumi yang telah bergeser dari amanah menjadi eksploitasi. Tanah digali melampaui daya pulihnya, hutan ditebang melampaui batas regenerasinya, sungai dipaksa menanggung beban yang tak pernah ia janjikan sanggup.

Bumi tidak runtuh sekaligus. Ia rapuh perlahan, dan dengan tenang kita menamainya kemajuan.

Siapa yang Bertanggung Jawab

Terlalu mudah menyalahkan hujan. Terlalu cepat menunjuk cuaca ekstrem.

Namun yang paling bertanggung jawab adalah manusia, kita semua. Mereka yang membuat kebijakan. Mereka yang menandatangani izin. Mereka yang menikmati hasil. Dan mereka yang memilih diam saat tahu ada yang keliru.

Kerusakan lingkungan bukan kesalahan satu pihak. Ia adalah kesepakatan diam-diam.

Luka alam tidak hanya berada di hulu sungai atau kawasan terpencil. Ia kini hadir di ruang hidup kita sendiri: di kota yang tenggelam, di udara yang memendekkan napas anak-anak, di air yang tak lagi aman diminum, di ladang yang kehilangan kesuburan.

Alam menangis di tempat kita paling nyaman. Dan kita tetap menyebutnya musibah.

Kapan Semua Ini Dimulai

Bukan hari ini.
Bukan kemarin.

Semua ini bermula ketika peringatan ilmiah diabaikan, ketika kajian dipermudah, ketika pengawasan berubah menjadi formalitas administratif, dan ketika nurani kalah oleh target ekonomi.

Kita tidak kekurangan waktu. Kita kekurangan keberanian untuk berhenti dan berkata cukup.

Membaca Krisis Dengan Jujur

Mengapa Alam Menjadi Rapuh. Karena kita memperlakukan alam sebagai objek, bukan amanah. Karena ekonomi dipisahkan dari etika. Karena kita mengira bumi selalu sanggup memaafkan.

Padahal alam tunduk pada sunnatullah. Ada batas yang tak bisa dinegosiasikan, ada keseimbangan yang tak bisa disuap.

Ketika batas itu dilampaui, alam tidak membalas, ia hanya menagih.

Membaca krisis lingkungan dengan jujur menuntut sesuatu yang selama ini kita hindari. Keberanian bercermin. Bukan sekadar menyusun data, bukan hanya merapikan grafik, tetapi menatap wajah kita sendiri di balik setiap izin, proyek, dan pembiaran. Krisis ini tidak lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari pengetahuan yang sengaja diabaikan.

Kita tahu risikonya. Kita membaca peringatannya. Kita mendengar dampaknya. Namun kita tetap melangkah, sambil berharap kerusakan itu tidak terjadi di halaman rumah kita.

Manusia bukan pusat semesta, melainkan penjaga sementara. Ketika manusia lupa posisinya, ia bertindak seolah bumi tak punya batas, seolah generasi mendatang bisa bernegosiasi dengan tanah yang telah mati dan air yang telah tercemar.

Krisis lingkungan adalah krisis moral. Bukan karena kita tidak tahu mana yang benar, melainkan karena kita tahu dan tetap melakukannya. Kita menyebut kompromi sebagai kebijaksanaan, padahal setiap kompromi terhadap nurani adalah retakan kecil yang kelak meruntuhkan sistemnya sendiri.

Sumber daya alam bukan warisan bebas pakai, melainkan titipan yang penuh konsekuensi. Setiap sungai yang rusak dan tanah yang kehilangan daya hidupnya adalah hutang ekologis. Hutang yang tidak bisa dilunasi dengan laporan tahunan atau janji pemulihan.

Kerusakan tidak lahir karena ketiadaan sistem, melainkan karena sistem yang memilih lunak pada kepentingan dan keras pada kehidupan.

Manajemen tanpa nurani akan melahirkan keputusan rapi di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.

Setiap keputusan hari ini adalah surat wasiat bagi generasi berikutnya.

Pertanyaannya sederhana sekaligus kejam; warisan apa yang sedang kita siapkan?

Jika bumi kehilangan daya pulihnya, maka generasi mendatang tidak mewarisi pembangunan, mereka mewarisi beban yang tidak mereka pilih.

Membaca krisis dengan jujur berarti berhenti berdalih. Berhenti menyebut kehancuran sebagai takdir. Dan mulai mengakui bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya lingkungan, melainkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Bagaimana Seharusnya Kita Bertindak

Jawabannya tidak romantis. Tidak heroik.
Dan sering kali tidak populer.

Ia hadir dalam keputusan sunyi. Menolak izin yang cacat, menegakkan hukum yang menyakitkan kepentingan, mengorbankan keuntungan jangka pendek
demi kehidupan yang masih layak diwariskan.

Cinta pada bumi bukan slogan. Ia adalah keberanian untuk kehilangan sesuatu hari ini,
agar generasi esok tidak kehilangan segalanya.

Refleksi Diri

Alam tidak bersuara seperti manusia. Ia berdoa dengan caranya sendiri, melalui tanah yang retak, air yang meluap, dan musim yang berubah arah.

Dan ketika doa itu naik, langit tidak diam.

Barangkali yang sedang diuji bukan kekuatan alam,
melainkan kejujuran iman kita. Masih layakkah kita menyebut diri khalifah, jika yang kita wariskan hanyalah luka?

Jika hari ini alam menangis,
pertanyaannya sederhana namun mengguncang Arsy:
apakah kita masih mau mendengar, atau tetap menutup telinga dengan berjuta alasan?

Jakarta, 18 Desember 2025.

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version