Banjir Aceh Tamiang dan Luka Sosial yang Terus Berulang

Oleh : Nur Habibah*)

Banjir yang kembali melanda Aceh Tamiang bukanlah peristiwa baru bagi masyarakat setempat. Hampir setiap tahun, ketika curah hujan meningkat, wilayah ini kembali dikepung air yang meluap dari sungai dan menggenangi pemukiman warga.

Kondisi ini menjadikan banjir sebagai bencana yang seolah sudah “akrab” dengan kehidupan masyarakat, meskipun dampak yang ditimbulkan selalu meninggalkan penderitaan mendalam. Banjir bukan hanya merusak rumah dan harta benda, tetapi juga menciptakan luka sosial yang terus berulang dari waktu ke waktu.

Secara geografis, Aceh Tamiang berada di wilayah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai besar. Faktor ini menjadikan daerah tersebut rentan terhadap genangan air, terutama saat hujan deras turun dalam durasi panjang.

Namun, jika ditelaah lebih jauh, penyebab banjir tidak semata-mata berasal dari faktor alam. Perubahan tata guna lahan, pembukaan hutan secara masif, serta minimnya pengawasan lingkungan turut memperparah kondisi.

Daerah resapan air semakin berkurang, sementara sungai mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah yang menumpuk.

Luka sosial akibat banjir terasa sangat nyata di tengah masyarakat. Banyak warga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman dengan kondisi serba terbatas. Anak-anak terpaksa menghentikan aktivitas sekolah, sementara orang tua kehilangan sumber penghasilan.

Para petani mengalami gagal panen karena sawah terendam air dalam waktu lama. Pedagang kecil pun tidak dapat berjualan karena akses jalan terputus dan daya beli masyarakat menurun drastis. Situasi ini menyebabkan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga dan memperlebar kesenjangan sosial.

Selain itu, banjir juga memunculkan persoalan kesehatan yang serius. Lingkungan yang kotor dan air yang tercemar menjadi media penyebaran berbagai penyakit. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan terdampak.

Tidak sedikit warga yang mengalami trauma psikologis akibat banjir, terutama mereka yang berkali-kali kehilangan harta benda. Rasa cemas setiap kali hujan turun menjadi bayangan yang menghantui kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh Tamiang.

Upaya penanganan banjir sejauh ini lebih banyak bersifat reaktif. Ketika banjir terjadi, pemerintah dan relawan bergerak cepat untuk mengevakuasi korban, mendirikan posko pengungsian, serta menyalurkan bantuan logistik.

Langkah ini tentu patut diapresiasi, namun belum cukup untuk mengatasi persoalan secara menyeluruh. Tanpa upaya pencegahan jangka panjang, banjir akan terus berulang dan luka sosial akan semakin dalam.

Langkah strategis seperti normalisasi sungai, pembangunan tanggul yang ramah lingkungan, perbaikan sistem drainase, serta penataan tata ruang wilayah harus menjadi agenda utama.

Di samping itu, penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan perlu dilakukan secara tegas agar tidak terjadi eksploitasi alam yang berlebihan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan juga menjadi kunci dalam mengurangi risiko banjir.

Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan bencana. Kebiasaan sederhana seperti tidak membuang sampah ke sungai, menjaga kebersihan lingkungan, dan mendukung program penghijauan dapat memberikan dampak besar jika dilakukan secara bersama-sama.

Kesadaran kolektif ini menjadi fondasi penting dalam membangun ketahanan sosial menghadapi bencana.

Banjir Aceh Tamiang pada akhirnya menjadi cermin hubungan manusia dengan alam. Ketika keseimbangan alam diabaikan, maka bencana hadir sebagai pengingat yang menyakitkan. Luka sosial yang terus berulang seharusnya tidak dianggap sebagai hal biasa.

Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, Aceh Tamiang memiliki peluang untuk keluar dari siklus banjir tahunan dan menata kehidupan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. []

Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang Prodi Pendidikan bahasa Arab*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *