Oleh : Ferdi Ansyah Nasution*)
Dalam beberapa waktu terakhir, bencana alam seolah datang tanpa jeda. Banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, hingga cuaca ekstrem silih berganti menghantam berbagai wilayah. Berita tentang rumah terendam, jalan terputus, dan warga yang harus mengungsi menjadi pemandangan yang semakin akrab di lini masa media sosial.
Rentetan peristiwa ini seakan menjadi suara alam yang berbicara lebih keras dari sebelumnya, mengingatkan manusia bahwa bumi memiliki batas yang tidak bisa terus-menerus dilanggar.
Fenomena alam sejatinya merupakan bagian dari sistem bumi yang telah berlangsung sejak lama. Gempa bumi terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik, hujan deras merupakan bagian dari siklus hidrologi, dan angin kencang muncul dari perbedaan tekanan udara.
Namun, yang patut menjadi perhatian hari ini adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana, serta dampak yang semakin luas terhadap kehidupan manusia. Alam memang bekerja sesuai hukumnya, tetapi kondisi lingkungan yang rusak membuat setiap fenomena kecil berpotensi berubah menjadi bencana besar.
Salah satu fenomena global yang berpengaruh besar adalah perubahan iklim. Kenaikan suhu bumi menyebabkan pola cuaca menjadi semakin tidak menentu. Musim hujan datang lebih ekstrem, sementara musim kemarau berlangsung lebih panjang dan kering.
Hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat membuat tanah tidak mampu menyerap air, sehingga banjir dan longsor menjadi ancaman nyata, terutama di daerah padat penduduk dan wilayah dengan tutupan hutan yang menurun.
Selain faktor alamiah, campur tangan manusia turut memperkeras dampak bencana. Deforestasi, penambangan berlebihan, serta pembangunan yang mengabaikan tata ruang memperlemah daya dukung lingkungan.
Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penahan air dan penjaga keseimbangan tanah justru beralih fungsi menjadi kawasan industri atau permukiman. Akibatnya, ketika hujan deras turun atau gempa terjadi, alam kehilangan pelindung alaminya.
Fenomena alam yang terjadi hari ini juga menunjukkan adanya ketimpangan antara pembangunan dan kesiapsiagaan bencana. Banyak wilayah yang berkembang pesat secara fisik, tetapi minim perencanaan mitigasi.
Jalur evakuasi tidak memadai, edukasi kebencanaan masih rendah, dan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana sering kali muncul setelah bencana itu terjadi. Padahal, memahami karakter alam di suatu wilayah adalah langkah awal untuk hidup berdampingan secara aman.
Namun di balik semua itu, alam sejatinya tidak bermaksud menghancurkan. Ia berbicara melalui tanda-tanda. Retakan tanah, perubahan cuaca ekstrem, dan peningkatan kejadian bencana merupakan peringatan ekologis yang meminta manusia untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi cara hidupnya. Alam tidak menuntut banyak—hanya keseimbangan dan penghormatan terhadap batas-batasnya.
Rentetan bencana ini juga seharusnya menjadi momen refleksi kolektif. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi juga setiap individu.
Mulai dari hal sederhana seperti menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, mendukung kebijakan ramah lingkungan, hingga meningkatkan literasi kebencanaan di masyarakat. Kesadaran kecil yang dilakukan bersama dapat memberikan dampak besar dalam jangka panjang.
Ketika alam berbicara lebih keras, sesungguhnya ia sedang mengajak manusia untuk berubah. Bukan dengan rasa takut, tetapi dengan kesadaran. Sebab jika peringatan ini terus diabaikan, suara alam bisa berubah menjadi amarah yang sulit dibendung. Kini, pilihan ada di tangan kita: terus menutup telinga, atau mulai mendengarkan dan bergerak menuju kehidupan yang lebih selaras dengan alam.
Mendengar Suara Alam, Mengubah Cara Kita Hidup
Pada akhirnya, rentetan bencana yang terjadi bukan sekadar rangkaian peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia adalah narasi panjang tentang hubungan manusia dan alam—hubungan yang selama ini sering timpang dan abai.
Alam telah memberi banyak ruang untuk manusia berkembang, tetapi ketika batas-batasnya dilanggar, ia berbicara melalui cara yang paling keras dan menyakitkan.
Mendengar suara alam bukan berarti hidup dalam ketakutan, melainkan hidup dengan kesadaran. Kesadaran bahwa setiap tindakan manusia, sekecil apa pun, memiliki dampak. Bahwa menjaga lingkungan bukan hanya pilihan moral, tetapi kebutuhan bersama untuk keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Ketika kita mulai menghormati alam, memahami ritmenya, dan menyesuaikan pembangunan dengan daya dukung lingkungan, maka bencana tidak lagi menjadi kejutan yang melumpuhkan.
Kini, suara itu telah terdengar jelas. Alam sedang berbicara lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mendengarnya, tetapi apakah kita bersedia berubah sebelum suara itu berubah menjadi kehilangan yang lebih besar.
Jika hari ini kita mulai mendengar dan bergerak, maka masih ada harapan bahwa alam dan manusia dapat kembali berjalan berdampingan—bukan sebagai lawan, tetapi sebagai bagian dari satu keseimbangan yang sama. []
Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang Prodi Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan*)




