Oleh: Muhamad Hapizin*)
Akhir tahun 2025 menjadi periode kelam bagi Pulau Sumatra. Banjir besar selain melanda Aceh dan Sumatra Utara, juga menimpa Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Riau. Longsor beruntun terjadi dan ribuan rumah terendam, ratusan hektare sawah rusak, dan jalur transportasi lumpuh.
Banyak yang menyalahkan cuaca ekstrem sebagai biang kerok. Namun, para ahli lingkungan menegaskan: hujan deras hanyalah pemicu, bukan penyebab utama.
Bencana yang terjadi adalah akibat degradasi ekosistem selama puluhan tahun yang menghilangkan kemampuan alam untuk melindungi dirinya sendiri.
Hujan Ekstrem Bukan Satu-satunya Penyebab
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) periode 2023-2024 mencatat bahwa perubahan iklim meningkatkan frekuensi hujan ekstrem hingga lebih dari 20 persen di Asia Tenggara.
Data satelit NASA Global Precipitation Measurement pada November-Desember 2025 juga menunjukkan anomali curah hujan tinggi di wilayah barat Sumatra.
Namun, hujan ekstrem tidak otomatis berubah menjadi bencana besar jika ekosistem di bawahnya masih sehat. Hutan alami dan tanah gambut berfungsi seperti spons raksasa yang mampu menahan air dalam jumlah besar.
Masalahnya, “spons” alami Sumatra kini rusak parah.
“Kalau hutan masih utuh, air hujan diserap perlahan ke dalam tanah. Tapi kalau hutannya sudah gundul, air langsung mengalir ke permukaan dan membawa material tanah,” jelas Dr. Roni Saputra, peneliti hidrologi dari Universitas Andalas dalam wawancara awal Desember 2025.
Deforestasi Menghilangkan Pelindung Alami
Selama dua dekade terakhir, Sumatra kehilangan jutaan hektare hutan primer. Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa meski laju deforestasi sempat melambat, pada tahun 2024-2025 terjadi lonjakan kehilangan tutupan hutan di beberapa provinsi.
Ketika hutan ditebang, tiga fungsi penting hilang sekaligus.
Pertama, akar pohon yang mengikat tanah dan mencegah longsor.
Kedua, kanopi yang menahan intensitas hujan sehingga air tidak langsung menghantam permukaan tanah.
Ketiga, serasah dan lapisan tanah hutan yang menyerap air dengan kapasitas besar.
Hasilnya, ketika hujan deras turun, tanah yang tidak lagi terikat kuat mudah longsor. Air berlebih langsung mengalir ke permukiman tanpa ada yang menahan.
Lahan Gambut Kering Kehilangan Fungsinya
Gambut adalah salah satu ekosistem paling unik di dunia. Menurut Wetlands International, gambut mampu menyimpan air hingga 20 kali beratnya sendiri. Namun, pembukaan lahan gambut untuk perkebunan, drainase, dan kebakaran berulang menyebabkan gambut mengering dan kehilangan kemampuan menahan air.
Di Riau dan Jambi, beberapa area gambut yang dulu selalu basah kini berubah menjadi lahan rentan banjir.
Ironisnya, gambut kering justru melepas air terlalu cepat ketika hujan ekstrem datang, memperparah banjir bandang.
“Gambut yang sehat itu seperti spon basah, bisa menahan air. Tapi kalau sudah kering dan rusak, malah jadi seperti plastik yang tidak menyerap apa-apa,” ujar Ibu Siti Rahma, aktivis lingkungan dari Pekanbaru saat diwawancarai pertengahan Desember 2025.
Urbanisasi Tanpa Drainase Memadai
Di kota-kota besar Sumatra seperti Palembang, Pekanbaru, dan Padang, urbanisasi berkembang jauh lebih cepat dari pembangunan infrastruktur drainase. Beton dan aspal menggantikan tanah resapan, membuat air hujan tidak punya tempat untuk meresap.
Ketika permukaan kedap air meningkat, bahkan hujan intensitas menengah pun dapat menyebabkan banjir. Pada akhir 2025, kondisi ini diperparah oleh penyempitan sungai akibat bangunan ilegal, sedimentasi sungai dari erosi hulu, dan drainase kota yang tidak pernah diperbarui sejak puluhan tahun lalu.
Potret Bencana di Beberapa Wilayah Riau:
Daerah aliran Sungai Kampar mengalami banjir yang lebih besar daripada tahun 2023. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedimentasi tinggi dari hulu membuat kapasitas sungai turun drastis.
Sumatra Barat: Kawasan perbukitan di Agam dan Tanah Datar mengalami longsor ganda setelah curah hujan ekstrem.
Data dari BPBD Sumatra Barat menunjukkan bahwa banyak area yang dulu hutan lindung kini berubah menjadi kebun campuran dan permukiman.
Sumatra Selatan: Lahan gambut yang terdrainase menyebabkan banjir berkepanjangan di Ogan Komering Ilir. Air tertahan berminggu-minggu karena struktur gambut yang rusak tidak lagi menyerap seperti dulu.
Cerita dari Lapangan
“Dulu kalau hujan deras, air naik sebentar saja. Sekarang belum ada satu jam sudah masuk rumah,” cerita Pak Rano, warga pinggiran Sungai Musi di Palembang.
Perubahan ini bukan hanya soal frekuensi, tetapi juga tentang semakin pendeknya waktu antara hujan turun dan banjir terjadi. Kisah-kisah seperti ini semakin sering terdengar, menjadi bukti nyata bahwa alam sudah kehilangan penyangga alaminya.
Di Kerinci, Ibu Aminah yang rumahnya tertimbun longsor bercerita dengan mata berkaca-kaca. “Kami sudah tinggal di sini puluhan tahun, tidak pernah ada longsor. Tapi sejak bukit di atas dibuka untuk kebun, setiap hujan deras kami takut,” katanya.
Kesimpulan
Banjir dan longsor di Sumatra akhir tahun 2025 bukan semata-mata akibat hujan ekstrem, melainkan konsekuensi dari degradasi ekosistem yang berlangsung bertahun-tahun.
Deforestasi, kerusakan lahan gambut,dan urbanisasi tanpa perencanaan yang baik telah menghilangkan kemampuan alam untuk menahan air dan mencegah bencana.
Solusi jangka panjang memerlukan komitmen bersama: penghentian deforestasi ilegal, restorasi gambut, perbaikan drainase perkotaan, dan penegakan hukum lingkungan yang tegas. Tanpa langkah nyata, bencana serupa akan terus berulang—dan semakin parah—di masa depan. []
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang*)




