Oleh : Ramli Yakub*)
Kita kerap merenungi posisi guru yang seolah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada “tuntunan”—peran suci sebagai pemandu, fasilitator, dan pendamping tumbuh kembang manusia seutuhnya.
Di sisi lain, ada “tuntutan”—beban administratif, target kurikulum, dan berbagai tuntutan profesional yang kerap menjauhkan mereka dari esensi mendidik.
Hakikat Pendidikan sebagai “Tuntunan”
Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses penuntunan, bukan pengisian. Filosofi ini telah lama digaungkan oleh para pemikir pendidikan dunia.
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, menegaskan bahwa “hakikat pendidikan adalah tuntunan. Artinya, mendidik bermakna menuntun bukan mengisi. Konsep Tut Wuri Handayani, menekankan peran guru sebagai pemberi dorongan dan motivasi dari belakang, memberdayakan potensi yang sudah ada dalam diri anak, bukan mendikte.
Pemikiran serupa diungkapkan oleh John Dewey, filsuf pendidikan progresif dari Amerika. Baginya, guru bukanlah sosok yang memaksakan ide atau kebiasaan tertentu,Guru adalah pemandu yang membantu siswa menafsirkan dan merespons pengalaman hidupnya.
Paulo Freire, melalui kritiknya terhadap banking concept of education, menolak praktik pendidikan yang menjadikan siswa sebagai bejana pasif. Pendidikan yang membebaskan, menurutnya adalah seniman yang berproses untuk penciptaan makna, bukan sekadar pemindahan data.
Dari ketiga pandangan ini, garis besarnya jelas esensi guru adalah sebagai pendidik, pembimbing, dan pemimpin pembelajaran yang menuntun anak meraih kemerdekaan berpikir dan bertindak.
Realitas “Tuntutan” yang Membelenggu
Ironisnya, realitas di lapangan seringkali berbanding terbalik dengan idealisme tersebut. Guru justru kian terseret menjadi “pegawai administrasi, terpaku pada pelaporan, unggah berkas, pengisian aplikasi, dan pemenuhan dokumen yang tak pernah selesai”.
Beberapa penelitian mengonfirmasi hal ini. Sebuah studi Badan Keahlian DPR RI (2024) menemukan bahwa 79,1% guru merasa platform digital justru menambah beban administratif, dan 51% menyelesaikan tugas ini di luar jam kerja.
Dampaknya langsung terasa pada kualitas pembelajaran: persiapan mengajar menjadi minimal, inovasi pedagogis menurun, dan interaksi personal dengan siswa berkurang.
Di Indonesia, posisi guru memang dilematis,“dihormati secara simbolis, tetapi sering dipinggirkan secara material dan kebijakan”.
Tuntutan untuk profesional dan inovatif terus digaungkan, namun sering kali tidak diimbangi dengan dukungan yang memadai. Guru juga dihadapkan pada tuntutan kompetensi seperti Penelitian Tindakan Kelas, yang dalam praktiknya masih banyak mengalami kendala
Mencari Jalan Tengah “ Merekoniliasi Tuntunan dan Tuntutan ”
Lalu, bagaimana kita keluar dari simpang siur ini? Beberapa langkah konkret perlu dipertimbangkan :
1. Mengembalikan Guru pada Khittahnya. Revisi regulasi, seperti UU Guru dan Dosen, harus secara tegas menegaskan bahwa tugas utama guru adalah proses pembelajaran, bukan administrasi. Penilaian kinerja harus berbasis pada kualitas interaksi di kelas dan dampaknya pada siswa, bukan pada tumpukan dokumen.
2. Menyederhanakan dan Mengintegrasikan Beban Administratif. Digitalisasi seharusnya mempermudah, bukan mempersulit. Integrasi berbagai platform dan penyederhanaan prosedur pelaporan mutlak diperlukan. Pemisahan tegas antara tugas pedagogis dan administratif dengan menambah tenaga administrasi profesional di sekolah juga menjadi keharusan.
3. Memberi Ruang Otonomi dan Pengembangan Diri. Guru membutuhkan ruang untuk berkreasi dan berinovasi tanpa terbelenggu birokrasi yang ketat. Program pengembangan kompetensi haruslah relevan, praktis, dan berkelanjutan, sehingga benar-benar memberdayakan guru menjadi pemandu yang lebih baik.
4. Membangun Kultur Sekolah yang Mendukung. Kepala sekolah dan pemangku kebijakan sekolah harus menjadi pelindung yang memastikan guru dapat fokus pada tugas utamanya: mengajar dan mendidik. Kultur sekolah harus menghargai proses pembelajaran yang mendalam, bukan sekadar pencapaian administratif.
Jadi, pertarungan antara “tuntunan” dan “tuntutan” dalam diri guru adalah cerminan dari tarik-ulur antara idealisme pendidikan dan realitas sistemik. Jika kita percaya bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas interaksi guru dan murid, maka sudah saatnya kita memilih sisi.
Kita harus secara kolektif memutuskan untuk membebaskan guru dari belenggu “tuntutan” yang tak substantif, dan memberinya ruang, kepercayaan, serta dukungan untuk menjalankan peran “tuntunan”nya secara penuh.
Hanya dengan itu, cita-cita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan sebagai penuntun kehidupan, serta impian Freire tentang pendidikan yang membebaskan, dapat terwujud di ruang-ruang kelas kita.
Sebuah refleksi untuk para pejuang pendidikan.
Sekretaris KKG PAI Padang Pariaman dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat*)




