Korupsi Kepala Daerah Lagi

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan (foto/ist)

JAKARTA, FOKUSSUMBAR.COM – Kasus dugaan suap pengadaan proyek yang menjerat Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama ayahnya H.M. Kunang yang seorang kepala desa, kembali membuka luka lama dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu seolah menegaskan satu hal: korupsi di daerah bukan kecelakaan administratif, melainkan hasil dari sistem politik dan birokrasi yang dibiarkan cacat secara struktural.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, memandang kasus Bekasi bukan sebagai anomali, melainkan pengulangan dari pola yang terus direproduksi sejak pilkada langsung diberlakukan.

“Jika kita hanya sibuk membenahi prosedur pengadaan barang dan jasa, kita sedang menipu diri sendiri. Masalahnya jauh lebih dalam,” tegas Prof Djohermansyah, Senin (22/12/2025), dalam wawancaranya dengan jurnalis.

Ilusi Sistem Elektronik dan Manusia di Balik Layar

Selama ini, pengadaan barang dan jasa pemerintah sering dipersepsikan telah aman karena berbasis sistem elektronik.

Namun bagi Prof. Djohermansyah, kepercayaan berlebihan pada teknologi justru berbahaya bila mengabaikan faktor manusia.

Di balik layar sistem digital, selalu ada aktor yang mengendalikan arah kebijakan dan keputusan. Ia menyebut fenomena ini sebagai the man behind the screen—manusia yang dapat merekayasa proses tanpa meninggalkan jejak administratif.

“Secara dokumen semuanya tampak benar. Tapi proyek bisa diatur, bahkan sejak sebelum dilelang.
Sebelum anggaran berjalan, pemenang sudah ditentukan. Ini bukan soal sistem, ini soal kuasa yang menyimpang (abuse of power),” ujarnya.

Praktik “ijon proyek” menjadi salah satu bentuk paling vulgar dari penyimpangan ini: proyek belum dilelang, namun kesepakatan sudah lebih dulu dibuat oleh penguasa dengan oknum pengusaha.

Akar Masalah: Pilkada
Mahal dan Politik Balik Modal

Menurut Prof. Djohermansyah, sumber utama perilaku koruptif kepala daerah terletak pada biaya politik yang tidak masuk akal dalam sistem pilkada langsung.
Sejak 2005 hingga kini, ia mencatat lebih dari 400 kepala daerah terseret kasus korupsi. Angka itu, katanya, bukan sekadar statistik, melainkan indikator kegagalan sistemik.

“Kepala daerah yang mengeluarkan biaya besar untuk menang akan terdorong mengembalikan modal. Kekuasaan lalu berubah menjadi alat transaksi,” katanya.

Dalam situasi ini, proyek, perizinan, dan jabatan birokrasi menjadi komoditas politik. Negara pun kehilangan makna sebagai institusi pelayanan publik, bergeser menjadi arena tawar-menawar kepentingan.

Jual Beli Jabatan dan Runtuhnya Profesionalisme Birokrasi

Fenomena lain yang tak kalah merusak adalah jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah. Kepala daerah, sebagai pejabat pembina kepegawaian, memiliki kewenangan penuh menentukan posisi strategis birokrasi.

Namun kewenangan itu sering disalahgunakan untuk mengakomodasi tim sukses, donatur politik, atau jaringan kepentingan.

“Ketika jabatan menjadi alat balas jasa, birokrasi kehilangan integritasnya. Aparatur tidak lagi bekerja untuk publik, tetapi untuk kekuasaan,” ujar Prof. Djohermansyah.

Dalam kondisi ini, birokrasi yang seharusnya netral justru menjadi perpanjangan tangan politik, bahkan ikut aktif mengamankan proyek dan kepentingan tertentu.

Persoalan makin rumit ketika sistem pengawasan internal daerah tidak independen. Inspektorat daerah, yang seharusnya menjadi garda pengawasan, justru berada di bawah kendali kepala daerah.

“Bagaimana mungkin inspektorat berani mengawasi jika kariernya ditentukan oleh orang yang diawasi?” kata Prof. Djohermansyah.

Ia menilai Indonesia tertinggal dalam membangun sistem pengawasan yang kuat dan mandiri. Tanpa kontrol yang independen, kekuasaan di daerah nyaris tanpa rem.

Hukum yang Tidak Menakutkan bagi Elite

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap koruptor, khususnya pejabat publik, dinilai belum memberi efek jera. Hukuman yang relatif ringan, remisi yang mudah, hingga fasilitas lembaga pemasyarakatan yang nyaman justru melemahkan pesan moral hukum.

“Pemimpin yang menyalahgunakan mandat publik seharusnya dihukum lebih berat, dua atau tiga kali lipat, bukan lebih ringan dari rakyat biasa,” ujarnya.

Tanpa keberanian memperberat sanksi dan menutup celah privilese, hukum kehilangan daya korektifnya.

Korupsi sebagai Produk Sistem, Bukan Penyimpangan Individu

Bagi Prof. Djohermansyah, korupsi daerah harus dilihat sebagai produk sistemik, bukan sekadar kejahatan personal.

Selama pilkada mahal, partai politik transaksional, pengawasan lemah, dan birokrasi tidak netral terus dipertahankan, maka OTT hanya akan menjadi rutinitas tahunan.

“Jika sistem ini tidak diperbaiki, jumlah kepala daerah yang terseret kasus korupsi akan terus bertambah. Kita hanya mengganti pelaku, bukan memperbaiki panggungnya,” katanya.

Ia menegaskan perlunya reformasi menyeluruh: penataan ulang sistem pilkada, penguatan independensi pengawasan, pembenahan kepartaian, serta penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan.

Tanpa itu, korupsi akan terus menjadi wajah laten pemerintahan daerah—dan publik kembali dipaksa menerima skandal sebagai hal yang biasa. (*/rls)

Exit mobile version