Oleh : Arifa Prizfadillah*)
Banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai wilayah Sumatra Barat pada akhir November menjadi peristiwa kemanusiaan yang menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis bagi masyarakat.
Artikel opini ilmiah ini bertujuan untuk membaca fenomena bencana tersebut tidak hanya dari sudut pandang alamiah, tetapi juga dari perspektif teologis dan moral. Dengan pendekatan reflektif-argumentatif berbasis kajian keislaman dan lingkungan, artikel ini menegaskan bahwa bencana alam dapat dimaknai sebagai teguran Tuhan atas perilaku manusia yang abai terhadap etika lingkungan.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa krisis lingkungan di Sumatra Barat berkaitan erat dengan kerusakan ekologi akibat aktivitas manusia, sehingga diperlukan refleksi akhir tahun yang mendorong perubahan sikap, kebijakan, dan tanggung jawab kolektif.
Banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra Barat pada akhir November tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alam biasa. Ia hadir di penghujung tahun, saat manusia seharusnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi dan evaluasi.
Di tengah duka para korban, rusaknya infrastruktur, dan lumpuhnya aktivitas ekonomi masyarakat, bencana ini mengandung pesan moral yang layak dibaca secara serius dengan pendekatan ilmiah sekaligus kesadaran keimanan.
Secara geografis, Sumatra Barat merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana hidrometeorologi. Topografi berbukit hingga bergunung, banyaknya daerah aliran sungai, serta meningkatnya curah hujan menjelang akhir tahun menjadi faktor utama terjadinya banjir dan longsor.
Pada akhir November, hujan berintensitas tinggi terjadi hampir merata dan memicu bencana di Kabupaten Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Pasaman, Pasaman Barat, serta beberapa wilayah di Kota Padang.
Bencana Alam dan Peran Manusia
Banjir yang terjadi merendam permukiman warga, merusak lahan pertanian, serta memutus akses transportasi. Di daerah perbukitan, longsor menyebabkan terisolasinya nagari-nagari tertentu dan memaksa sebagian warga mengungsi.
Dampak tersebut tidak hanya berupa kerugian material, tetapi juga tekanan psikologis dan penurunan pendapatan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi kecil.
Namun, menjelaskan bencana hanya sebagai akibat curah hujan tinggi adalah pandangan yang tidak utuh. Faktor manusia memiliki peran signifikan dalam memperbesar dampak bencana.
Alih fungsi lahan, berkurangnya kawasan hutan, pendangkalan sungai, serta lemahnya pengawasan tata ruang menyebabkan daya dukung lingkungan menurun. Ketika keseimbangan alam terganggu, hujan yang seharusnya menjadi rahmat justru berubah menjadi musibah.
Makna Teguran Tuhan dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, bencana alam tidak selalu dimaknai sebagai hukuman, tetapi dapat dipahami sebagai ujian, peringatan, dan teguran dari Tuhan. Al-Qur’an menyatakan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi dari perilaku manusia sendiri. Banjir dan longsor di Sumatra Barat mencerminkan bagaimana manusia sering lalai menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi.
Alam diperlakukan hanya sebagai objek eksploitasi ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Refleksi Akhir Tahun dan Kearifan Lokal
Akhir tahun memberikan dimensi reflektif yang lebih kuat terhadap bencana ini. Pergantian tahun seharusnya tidak hanya diisi dengan perayaan seremonial, tetapi juga muhasabah kolektif atas relasi manusia dengan alam dan sesamanya.
Kehadiran bencana di penghujung tahun seakan menjadi alarm kesadaran agar manusia tidak larut dalam euforia waktu.
Dalam konteks Sumatra Barat, refleksi ini sejalan dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Nilai ini menegaskan bahwa adat, agama, dan kehidupan sosial merupakan satu kesatuan.
Alam bukan sekadar ruang hidup, melainkan amanah Tuhan yang harus dijaga. Ketika nilai tersebut tidak terimplementasi dalam kebijakan dan perilaku, bencana menjadi cermin kegagalan kolektif.
Dapat kita jadikan pembelajaran bahwa banjir dan longsor di Sumatra Barat pada akhir November merupakan pesan keras bahwa krisis lingkungan bukan ancaman masa depan, melainkan kenyataan hari ini.
Memaknai bencana sebagai teguran Tuhan tidak berarti menolak sains, tetapi justru menegaskan bahwa iman, ilmu, dan kebijakan harus berjalan seiring. Jika refleksi akhir tahun hanya berhenti pada simpati sesaat tanpa perubahan perilaku dan kebijakan nyata, maka teguran serupa akan terus berulang.
Akhir tahun seharusnya menjadi titik balik: dari abai menjadi peduli, dari eksploitatif menjadi bertanggung jawab, dan dari lalai menjadi sadar akan amanah Tuhan terhadap alam dan kehidupan.
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Imam Bonjol Padang*)
