Tragedi Sumatra ’25

Puisi : Idal, M.Pd.*)

Di Tanah Sumatra, tahun dua ribu dua lima tercatat luka,
ketika hujan turun seperti amarah langit
dan sungai meluap membawa kabar duka
ke rumah-rumah yang tak sempat berbisik.

Di antara retak bumi yang menganga,
ada suara-suara pilu yang tak sempat mengeja luka.
Angin membawa kisah yang patah,
air mengalirkan duka yang tumpah.

Gunung mengerang, hutan merintih,
seakan alam menulis protesnya
dengan lumpur, arus, dan luapan kayu gelondongan yang tak berbelas.
Jalan-jalan berubah menjadi sungai gelap,
dan di tiap tikungan, ada nama
yang hilang sebelum sempat disebutkan.

Rumah-rumah rebah dalam sekejap,
menyisakan debu yang bercerita tentang kehilangan.
Langit kelabu menunduk diam,
seolah ikut berkabung atas hasrat manusia yang terhenti sebelum sempat pulang.

Anak-anak memanggil malam dengan suara serak,
menyebut rumah yang telah hanyut bersama kenangan.
Langit kelabu memantulkan cahaya lemah,
seolah turut mengantar kesedihan
yang tak selesai dalam satu hari.

Tragedi Sumatra tahun dua ribu dua lima bukan sekadar bencana,
tapi catatan panjang tentang tangis yang tertahan,
tentang ibu yang kehilangan pelukan,
tentang ayah yang berdiri di atas puing
mencari sisa harapan yang masih bernapas.

Di balik sisa-sisa puing yang berserak,
ada tangan-tangan kecil mencari hangat.
Ada ibu yang memanggil nama tanpa jawaban,
ada ayah yang menahan deras air mata demi sebuah harapan.

Tragedi Sumatra bukan hanya tentang tanah yang longsor,
atau sungai yang murka menghanyutkan segala.
Ia adalah tentang hati yang robek perlahan-lahan,
tentang mimpi yang terseret bersama arus kehilangan.

Tragedi Sumatra tahun dua ribu dua lima
kelak akan dikenang bukan hanya sebagai derita,
tetapi sebagai saksi bahwa dalam setiap kehancuran,
selalu ada keberanian untuk bangkit,
selalu ada cinta yang tetap menyalakan cahaya
meski dunia sedang gelap seluruhnya.

Namun di tengah kepiluan itu,
ada seberkas cahaya kecil tak mau padam.
Cahaya dari doa yang lirih,
dari pelukan yang saling menguatkan,
dari manusia yang kembali belajar menjadi manusia.

Wahai bumi yang terluka,
kami berdiri di sisimu dengan diam yang penuh makna.
Menyulam duka menjadi ketabahan,
mengumpulkan serpihan harapan yang tercecer,
agar esok tak lagi hanya menjadi cerita pahit,
melainkan awal dari bangkit yang lebih kuat.

Padang, 15 Desember 2025

Guru SMPN 18 Padang dan Dosen DLB UIN Imam Bonjol Padang*)

Exit mobile version