Ketika Guru “Berobah” Menjadi Seorang Penulis

Oleh : Refdinal Castera*)

DI ERA tahun 2000-an, ada suatu yang menarik, dan menggelitik terjadi. Sewaktu saya bergabung di sebuah media sosial WhatsApp (WA) sastra, oleh pendiri grup sekaligus admin, juga rekan sesama penulis dan wartawan, ia langsung bicara.

“Bapak guru, tolong menjadi koordinator kepenulisan antologi cerpen, esai, dan puisi. Penulisnya mereka berprofesi guru, sama dengan bapak. Nanti tulisan mereka kita terbitkan menjadi buku antologi, sehingga guru tidak hanya menulis di sekolah terhadap siswa. Tetapi, menulis dan bekarya menerbitkan buku bekarya untuk semua”.

Waktu itu saya menilai, tawaran ini merupakan suatu moment tepat sekaligus kesempatan baik untuk guru. Karena ketika guru menulis di sekolah, hanya siswa dan kalangan sekolah yang mengetahui. Tetapi, ketika guru diminta untuk menulis, dan diterbitkan menjadi sebuah buku antologi, beredar di pasaran?

Tentu telah lain ceritanya, karena tulisan atau “buah pikiran” para guru tersebut akan dibaca oleh banyak orang. Dari berbagai kalangan dengan disiplin ilmu yang berbeda, karena mereka di sekolah dulunya diajar dan belajar dengan guru.

Tawaran baik dan menarik itu, saya sampaikan diberbagai grup WA (dikenal), yang personalnya berprofesi sebagai guru. Mulai dari berprofesi guru Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), SLTP dan SLTA. Sebagai batas waktu agar tidak menganggu aktivitas rutin, saya kasih tempo waktu 3 bulan untuk menyiapkan naskahnya. Bisa naskah itu berupa puisi, esai, dan cerpen. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika hampir mendekati 3 bulan apa yang terjadi?

Saya kembali mulai, menghubungi kawan-kawan berprofesi guru, bahkan ada diantara mereka telah berprofesi sebagai kepala sekolah. Lebih tepatnya lagi, mereka telah berjanji menulis sebuah naskah telah disampaikan jauh-jauh hari, sekaligus sepakat untuk menyiapkan naskah tulisannya tersebut. Apa yang terjadi kemudian, rupanya diluar dugaan dan tidak diprediksi sebelumnya.

“Saya tidak bisa menulis, puisi, esai atau cerpen. Susah untuk memulai,  dan entah dari mana memulai menulisnya. Apalagi naskah tulisan itu untuk diterbitkan menjadi sebuah buku.  Lain waktu dan kesempatanlah! Sekarang saya sedang sibuk,”

Ketika saya mencoba menghubungi rekan lain dari tingkatan sekolah yang berbeda, mereka juga menjawab sama. Hanya cara penyampaikan kalimatnya yang berbeda. Mereka mengeluh dan menyatakan keberatan.

“Saya tidak bisa menulis cerpen atau esai kawan. Walau itu hanya sebuah naskah esai atau cerpen, saya tidak mampu. Mungkin tidak berbakat untuk menulis puisi, esai atau cerpen,” Karena ada kendala seperti itu, saya mencoba mengulur waktu dengan menambah waktu 2 bulan lagi.

Namun hasil yang didapatkan juga sama. Tidak jadi menerbitkan buku antologi yang penulisnya berprofesi guru. Sekarang tentunya timbul pertanyaan, apakah memang seperti kenyataannya? Sekaligus menjadi PR bagi pemangku dunia pendidikan, untuk mencari akar permasalahan dan solusinya.  

Kenapa Guru Enggan untuk Menulis?

Kita tahu dan mengetahui, bahwa guru berada di garda terdepan untuk mencerdaskan generasi bangsa. Tanpa ada guru yang mengajar dulunya, tak mungkin seorang bisa menjadi peneliti, menteri, anggota DPR bahkan presiden.

Bahkan, ada yang berprofesi kembali menjadi guru diberbagai tingkatan pendidikan. Tetapi kenapa ada wacana, guru enggan untuk menulis? Untuk menjawab semua itu, ada baiknya kita ketahui yang menjadi penyebabnya.

Pertama, karena sibuk dan sulit mengatur waktu. Dikatakan itu sebagai penyebab, rasanya tidak juga. Karena setiap kita punya waktu sehari semalam, 24 jam lamanya. Kalau guru itu mau menulis, silakan tentukan waktunya sendiri. Sungguh tidak ada patokan waktu tertentu, jam segini harus menulis. Semuanya terserah kepada kita menentukan waktu untuk menulis itu.

Kedua, tidak mempunyai ide atau gagasan untuk ditulis. Sebenarnya setiap kita dalam kehidupan sehari-hari, tidak saja guru pasti mempunyai ide atau pemikiran baru.

Muncul suatu pemikiran baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Karena ide itu sama dengan gagasan atau suatu pemikiran baru. Dalam keseharian, kita pasti mempunyai ide dan tak mungkin pikiran kosong saja. Ide itu bisa muncul ketika dihadapkan kepada suatu masalah, pergi ke alam terbuka, mendengarkan musik atau lagu, dikeramaian pasar atau jalan raya.  

Ketiga, punya ide tapi sulit mengembangkannya. Nah, ketika muncul ide merupakan suatu kesempatan untuk mulai menulis. Sekarang tinggal cara mengembangkan dan memelihara ide. Suatu ide atau gagasan bisa muncul secara tiba-tiba, serta hilang tiba-tiba.

Agar ide itu tetap ada dalam pemikiran, caranya ide itu kita tulis dan pindahkan ke kertas. Kalau sekarang bisa dituliskan di komputer, laptop atau HP. Saat ide muncul, langsunglah menulis. Biasanya ide atau gagasan pikiran itu bakal mengalir ibarat air. Terus dan teruslah menulis, sampai mentok.

Keempat, kesulitan dalam mencari referensi. Jika kesulitan dalam mencari referensi, cara jalan keluarnya, harus lebih banyak membaca lagi. Cari bermacam sumber dan jangan berhenti pada satu titik.

Kelima, belum merasa perlu dan kurang percaya diri. Untuk penyebab yang satu ini, bagi guru sangat murah untuk menghilangkannya. Buat menulis itu menjadi perlu, suatu yang penting seperti membuat modul ajar, dan kuatkan percaya diri. Guru yang lain bisa menulis, saya juga bisa seperti mereka. Karena saya guru, ia dan mereka juga guru satu profesi dengan saya.

Keenam, guru tidak gemar membaca dan sibuk dengan urusan administrasi. Untuk dua penyebab ini, juga kurang cocok untuk guru sebagai alasan enggan menulis. Karena guru itu, orangnya hendaklah gemar membaca dan senang menulis. Agar pengetahuannya terus bertambah dan tak boleh kalah dengan siswa. Lalu sibuk dengan urusan administrasi, rasanya tidak juga. Masih banyak waktu luangnya, dan tidak selalu sibuk menulis administrasi kelas.

Ketujuh, lingkungan kurang mendukung dan kurang penghargaan.  Lingkungan kurang mendukung seperti keluarga misalnya, bisa disikapi dengan kawan di komunitas kepenulisan. Banyak guru punya kegemaran menulis, ayo bergabung dengan komunitas mereka.

Kedelapan, kurangnya penghargaan untuk penulis. Memang dibanyak sisi, itu dialami oleh mereka berprofesi sebagai penulis. Katanya, penulis itu adalah pekerjaan diam-diam, kegiatan dalam senyap, tidak bisa dijadikan penghasil uang atau cuan namanya sekarang.

Untuk diketahui, menulis adalah pekerjaan intelektual (cerdas), karena tulisan bisa merobah pikiran seseorang dan dunia. Ada orang dikenal karena kepakarannya dalam menulis. Menulis adalah “meramu buah pikiran” dan menyampaikannya dalam bentuk tertulis. Untuk itu sibukkan diri: Mari Menjadi Guru yang Juga Seorang Penulis. Semoga bermanfaat.

Penulis Buku Motivasi, Cerpenis, Novelis, Konten Kreator, Youtuber dan Guru*)

Exit mobile version