Oleh : Alfino Saputra*)
Ketika banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dunia merespons dengan cara yang sudah semestinya. Pesan duka mengalir dari berbagai penjuru. Tawaran bantuan asing pun berdatangan. Mulai dari tim medis, logistik, hingga dukungan teknologi kebencanaan.
Dalam situasi ini, publik umumnya berasumsi bahwa negara akan membuka pintu selebar-lebarnya. Namun kali ini, Indonesia memilih jalan berbeda. Dikutip dari tribunnews.com. Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia masih mampu melakukan penanganan bencana Sumatra secara mandiri sehingga bantuan dari negara asing masih belum diperlukan.
Keputusan tersebut memicu tanda tanya besar di ruang publik, sebagian menganggapnya mandiri dan berani. Sebagian lagi mempertanyakan mengapa menolak bantuan disaat kita terluka?
Pertanyaan itu wajar. Namun jawabannya tidak sesederhana persoalan mau atau tidak mau menerima bantuan. Keputusan ini lahir dari perhitungan panjang, teknis, logistik, dan strategis, serta refleksi atas pengalaman sejarah Indonesia sendiri.
Indonesia hari ini bukan Indonesia dua puluh tahun lalu. Rentetan bencana besar yang dialami selama dua dekade terakhir telah membentuk kapasitas nasional yang semakin matang. Negara ini tidak lagi sepenuhnya reaktif setiap kali krisis datang. Sistem penanggulangan bencana dibangun, sumber daya manusia dilatih, dan koordinasi lintas lembaga diperkuat.
BNPB kini memiliki kerangka komando yang lebih jelas. Basarnas, TNI, dan Polri semakin terlatih dalam operasi penyelamatan. Jaringan relawan sipil tumbuh luas hingga ke daerah-daerah rawan. Organisasi kemanusiaan dalam negeri pun memiliki pengalaman panjang bekerja di medan bencana.
Dalam kondisi darurat, kecepatan dan kejelasan koordinasi sering kali lebih menentukan daripada banyaknya aktor yang terlibat. Bantuan asing, meskipun berniat baik, tidak selalu sejalan dengan kebutuhan lapangan. Perbedaan standar operasional, hambatan administrasi, hingga tumpang tindih kewenangan kerap justru memperlambat respons pada fase paling krusial.
Karena itu, keputusan untuk mengandalkan kekuatan sendiri dapat dibaca sebagai pilihan sesuai. Negara menilai kapasitas nasional masih sanggup untuk menangani skala bencana yang terjadi, setidaknya pada tahap tanggap darurat.
Namun di balik pertimbangan teknis, terdapat pesan yang lebih dalam. Pilihan ini mencerminkan upaya membangun kemandirian negara dalam sektor yang sangat menentukan keselamatan warga. Bukan sebagai penolakan terhadap solidaritas global, melainkan sebagai afirmasi bahwa tanggung jawab utama tetap berada di tangan negara itu sendiri.
Tentu, kemandirian bukan tanpa risiko. Keterbatasan tetap ada, dan kesalahan selalu mungkin terjadi. Tetapi justru di situlah proses pendewasaan negara diuji. Bangsa yang matang bukan bangsa yang tidak pernah meminta bantuan, melainkan bangsa yang mampu menakar kapan ia benar-benar membutuhkannya.
Di tengah puing-puing dan luka yang belum sepenuhnya sembuh, Indonesia sedang menyampaikan pesan yang sunyi sekaligus yang paling keras kepada dunia: bahwa ia ingin berdiri terlebih dahulu di atas kakinya sendiri. Bukan untuk menutup diri dari dunia, tetapi untuk memastikan bahwa ketika pintu itu dibuka, ia melangkah dengan keyakinan dan kendali. []
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang*)




