Pulang: Mencari Kedamaian di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Oleh : Fakhma Mumtaz*)

Banyak orang mungkin menganggap pulang cuma soal naik kereta atau mobil balik ke rumah lama. Tapi sejujurnya, pulang itu lebih dari itu. Ini tentang rasa nyaman yang nggak bisa dibeli dengan duit.

Saat kita capek banget karena kerjaan yang ngejar deadline, persaingan hidup yang bikin pusing, atau kegagalan yang bikin lemas, otak kita langsung cari jalan balik ke tempat yang bikin kita merasa diterima sepenuhnya.

Nah, itu inti dari pulang: perjalanan ke tempat atau orang yang nggak perlu kita pura-pura jadi orang lain.

Kenapa Kita Butuh Pulang?

Kenapa sih keinginan pulang terasa begitu kuat, apalagi kalau lagi stres?

Dari sisi psikologi, ini ada hubungannya dengan “Place Attachment” ikatan emosi ke tempat tertentu. Penelitian di jurnal Health & Place bilang, balik ke lingkungan yang familiar kayak rumah atau kampung halaman bisa bikin hormon stres di tubuh turun drastis.

Rumah itu bukan cuma bangunan, tapi “jangkar emosi” buat kita. Survei IKEA di laporan Life at Home nyebutin, sekitar 73% orang nganggap rumah sebagai satu-satunya tempat di mana mereka bisa jadi diri sendiri.

Ini bukti kalau kebutuhan pulang itu kebutuhan dasar manusia buat jaga kesehatan mental di dunia yang makin nuntut.

Kenangan, Bau, dan Mesin Waktu Tubuh

Selain ikatan tempat, ada alasan biologis unik kenapa pulang selalu pengaruhi emosi. Manusia punya sistem penciuman yang langsung nyambung ke bagian otak yang atur emosi dan memori jangka panjang.

Itu penjelasan ilmiah kenapa aroma masakan rumah atau bau tanah kampung setelah hujan bisa langsung bikin hati terenyuh.

Fenomena ini sering disebut “Proustian Moment” rangsangan sensorik kecil yang bisa picu kenangan masa lalu yang kuat banget. Saat pulang, semua indra kita kayak jalan-jalan di waktu, ngingetin masa-masa hidup terasa lebih sederhana dan beban belum seberat sekarang.

Dilema Orang Merantau dan Perjalanan ke Dalam Diri

Tapi, kita juga harus akui kalau jalan pulang nggak selalu mulus. Buat para perantau, sering muncul konflik batin antara kerinduan dan tanggung jawab buat sukses.

Riset dari University of Warwick bilang, kebahagiaan seseorang sering naik kalau ada keseimbangan antara hubungan keluarga dan pencapaian pribadi.

Kadang, kita merasa bersalah karena terlalu lama tinggalin rumah, tapi di sisi lain, kita tahu kalau “pergi” itu syarat buat tumbuh.

Kadang juga, pulang nggak selalu berarti balik ke alamat di peta. Ada saatnya kita perlu pulang “ke dalam diri sendiri”. Di era digital kayak sekarang, kita sering kehilangan koneksi dengan apa yang benar-benar kita mau karena terlalu sibuk liat standar hidup orang lain di medsos.

Pulang ke diri sendiri berarti ambil jeda, berhenti ngejar validasi orang lain, dan mulai dengerin lagi apa yang bikin hati tenang.

Menciptakan “Rumah” Di Mana Saja

Di zaman mobilitas tinggi kayak sekarang, makna pulang mulai bergeser jadi lebih fleksibel. Kita belajar kalau kalau belum bisa pulang fisik karena jarak atau biaya, kita bisa bikin “rumah” kecil di mana aja.

Caranya bisa sesederhana nelepon orang tua, masak makanan khas daerah asal, atau nongkrong bareng temen-temen sejawat. Ini bentuk adaptasi psikologis atau ketahanan biar mental kita tetap stabil meski di lingkungan asing.

Contoh Nyata dari Hidup Sehari-Hari

Buat paham lebih dalam, liat contoh sederhana dari kehidupan sehari-hari. Bayangin pekerja kantoran di kota besar yang setiap akhir pekan merasa lelah dan stres.

Dia mungkin nggak bisa pulang ke kampung halaman setiap minggu, tapi dengan bikin rutinitas kecil kayak dengerin lagu daerah asal atau liat foto keluarga, dia bisa rasain “pulang” secara emosional.

Studi dari Journal of Environmental Psychology (2020) nunjukin, praktik kayak gini bisa naikin kesejahteraan psikologis, karena bantu kurangin isolasi sosial di tengah kehidupan urban yang sibuk.

Tips Praktis Buat Rasain Pulang

Akhirnya, pulang itu tentang pemulihan. Sejauh apa pun kita pergi ngejar mimpi, setinggi apa pun posisi yang kita capai, kita tetap butuh tempat buat lepas

lelah. Jangan pernah anggap keinginan pulang sebagai tanda lemah atau menyerah. Justru, pulang itu cara kita hargai diri sendiri. Buat bantu Anda, coba terapin tips sederhana: bikin daftar hal-hal kecil yang bikin nyaman, kayak minum teh hangat sambil baca buku favorit, atau jalan-jalan di taman dekat rumah.

Menurut penelitian dari American Psychological Association, aktivitas ini bisa turunin tingkat kecemasan hingga 20%, bantu Anda temuin kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia.

Karena sekuat apa pun manusia, kita tetap butuh pelabuhan buat bersandar sebelum balik berlayar hadapi gelombang besok. Sebab, perjalanan paling indah bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi seberapa hangat sambutan yang kita dapat saat kembali. []

Mahasiswa Universitas Islam Negri Imam Bonjol Padang Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah*)

Exit mobile version