Oleh : Shintalya Azis*)
Bukan karena memilih tanggal, apalagi sekadar cocokologi. Hanya sebuah kebetulan bahwa jadwal dokter untuk operasi mata ibu saya jatuh pada tanggal 22 Desember 2026, hari yang di Indonesia ditahbiskan sebagai Hari Ibu.
Di tengah ramainya ucapan Selamat Hari Ibu, sembari menunggu proses operasi berlangsung, pikiran saya melayang. Saya membayangkan sosok ibu sebagai pribadi dengan pengorbanan yang begitu luar biasa, pengorbanan yang tak akan pernah mampu kita gantikan.
Sebagaimana Ibnu Umar berkata:
“Engkau belum dapat membalas budi ibumu, walaupun hanya setarik napas yang ia keluarkan saat melahirkan.”
Sebagai seorang anak, sekaligus sebagai seorang ibu, saya merasakan bahwa setidaknya ada beberapa hal yang sungguh tak tergantikan: air ketuban saat mengandung, darah yang tertumpah ketika melahirkan, air susu yang menghidupi, serta air mata yang mengalir lirih dalam doa-doa yang tak pernah putus bagi anak-anaknya.
Lantas, benarkah cukup jika kita hanya mengucapkan selamat, melontarkan pujian yang membahagiakan, bahkan merayakannya dengan meriah. Namun, hanya setahun sekali? Bukankah ibu berhak dihormati sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat yang dikandung badan?
Lihatlah, bukan hanya satu hari saat ia melahirkan. Jauh sebelum itu, lebih dari sembilan bulan lamanya ia mengandung kita, menjaga, dan meletakkan kita dengan penuh kehati-hatian di dalam tubuhnya sendiri.
Oleh karenanya, sungguh wajar bila rasa cinta kepada ibu seharusnya diungkapkan setiap hari, setiap waktu, melalui sikap, bakti, dan doa-doa terbaik yang terus kita panjatkan untuknya.
Palembang, 22 Desember 2026
Pojok RS Mata Sumatera Selatan
Penulis Gemar Menulis tentang Kehidupan, Budaya, dan Kisah-kisah Kecil yang Menginspirasi.*)
