“Ibu Tidak Pernah Menuntutku Kuat”

Oleh : Nurul Jannah*)

Ibu tidak pernah menuntutku kuat. Ia hanya menuntutku pulang, meski tanpa kata.

Di dunia yang gemar menguji keberanian dengan luka, Ibu memilih cara lain. Ia menaruh keberanian itu di dadanya, lalu membiarkanku menangis sampai napasku kembali utuh.

Ia tahu, ada letih yang tak butuh nasihat. Ada rindu yang tak perlu jawaban. Ada hari-hari ketika manusia hanya ingin dipeluk, bukan dikuatkan.

Aku tumbuh di tengah teriakan dunia: berdirilah, buktikan, tahanlah. Tapi Ibu mengajariku bahasa yang berbeda. Bahasa yang tidak gaduh. Bahasa yang tidak memamerkan kemenangan. Bahasa yang bekerja diam-diam, seperti doa yang menyelinap ke langit tanpa suara.

“Capek boleh,” katanya, lirih.

Kalimat itu sungguh seperti hujan pertama di tanah retak. Menyejukkan. Menyelamatkan.

Lalu ia menambahkan satu kata yang membuat dunia berhenti sebentar, “Menyerah jangan.”

Aku tidak tahu sejak kapan kalimat itu tumbuh menjadi tulang punggungku.

Yang kutahu, setiap kali hidup mengangkat palu, setiap kali aku nyaris runtuh oleh tuntutan yang tak kupilih, kalimat itu berdiri di antara aku dan keputusasaan.

Seperti tembok cahaya. Seperti pagar doa. Ibu tidak pernah meminta ceritaku selesai dengan bahagia. Ia hanya ingin aku baik-baik saja.

Dan demi itu, ia mengorbankan banyak hal yang tak pernah ia catat sebagai jasa.

Ia menunda lelahnya sendiri, menyimpan kecewanya rapat-rapat, lalu menyajikan ketenangan seolah hidup selalu ramah.

Di dapur, ia menjadi senyap.
Di kamar, ia menjadi sabar.
Di sajadah, ia menjadi paling berani, mengetuk langit dengan nama anaknya, berulang-ulang, seolah tak ada kata lain yang lebih pantas untuk disematkan.

“Ya Allah, jaga anakku…”

Doa itu mungkin pendek. Tapi getarnya panjang, melampaui malam, menembus takut, mengguncang Arsy, lalu turun kembali menjadi perlindungan yang tak pernah aku sadari.

Aku sering terlambat paham. Mengira kekuatan adalah menahan air mata. Mengira dewasa adalah tidak kembali. Padahal, dewasa justru tahu ke mana harus pulang saat dunia mematahkan lututnya.

Ibu mengizinkanku rapuh. Tanpa syarat. Tanpa pertanyaan. Ia tidak memintaku menjelaskan apa pun. Karena ia tahu, ada luka yang hanya bisa diredakan oleh diam dan ada doa yang hanya bisa dilangitkan oleh ibu.

Kini, ketika jarak dan waktu sering berlarian tak menentu, aku akhirnya mengerti: Ibu tidak pernah menuntutku kuat, karena ia telah lebih dulu kuat untukku.

Ia memanggul badai agar aku bisa berjalan. Ia menyimpan gelap agar aku belajar terang. Dan jika hari ini aku masih berdiri, itu bukan karena aku hebat, melainkan karena ada seorang perempuan yang memilih mencintaiku tanpa perhitungan.

Jika dunia terasa terlalu keras, aku tahu ke mana harus kembali. Ke satu nama yang tak pernah berubah menjadi syarat. Ibu.

Dan selama doa seorang ibu masih menyertai langkahku, aku tidak pernah benar-benar berjalan sendirian.❤‍🔥🌹🎀

Jakarta, 25 Desember 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version