Menyibak Kenangan Lama

foto ilustrasi (doc)

Cerpen : Refdinal Castera*)

PAGI baru saja tiba, jalanan masih basah oleh sisa embun turun semalam. Simpang siur kendaraan roda dua dan empat baru terlihat satu-satu. Setelah memarkirkan kendaraan, aku membelok ke sebuah ruangan rumah sakit. Tiap ruangan rumah sakit yang dindingnya bewarna putih itu tampak sepi.

Kalaulah tidak karena anak sakit, tak mungkin aku rasanya berkunjung ke tempat itu. Namun siapa yang menyangka, kepergianku ke rumah sakit itu menyibak kenangan lama. Kenangan yang telah aku coba mengubur untuk selama-lamanya.

Malam sebelumnya, aku buru-buru ke rumah sakit karena si sulungku bernama Kartika 6 tahun, tiba-tiba muntah-muntah dan badannya lemas sekali. Aku langsung membawa kebagian Unit Gawat Darurat karena berharap Kartika cepat dapat pertolongan.

Namun langkahku yang tergesa itu ada yang menghentikan. Seorang berpakaian putih-putih dan berjilbab biru menghadang langkah ini. Bibirnya tersenyum sambil memperhatikan langkahku yang tergesa. “Maaf bu dokter, aku tergesa-gesa anak sakit,” ucapku mencoba melerai  keadaan.

“Boleh aku membantu dan menunggu anaknya di sini,” katanya lagi.

Dikejar dengan pertanyaan seperti itu, aku terdiam dan tidak habis pikir. Tanpa bergeming aku mengamati perempuan, beda usia sekitar 7 tahun dibawahku itu mulai dari ujung sepatu sampai jilbab dipakainya. Tapi aku bingung, sungguh lupa dengan perempuan itu. “Kalau boleh tahu, ibu dokter bertugas di rumah sakit ini?” tanyaku lagi.

Aku yang datang malam itu dengan urang rumah, makin bingung. Rasanya aku tidak punya kawan atau kenalan di rumah sakit. Apalagi seorang dokter, yang malam itu tiba-tiba menawarkan jasa baiknya.  Sesaat perempuan berpakaian putih-putih itu, berlalu ke dalam ruangan, dan tak sampai 10 menit keluar kembali. “Anak bapak telah lebih baik kondisinya, tidak lagi muntah-muntah,” katanya mengabari.

“Iya, terima kasih bu dokter. Terima kasih,” ucapku spontan.

“Tapi Kartika belum boleh pulang ke rumah. Ia perlu dirawat sekitar 2 hari lagi di sini. Ya, untuk memulihkan kesehatannya,” tambah perempuan itu lagi.

Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima saran itu. Akhirnya malam itu, aku pulang ke rumah tanpa Kartika. Sedangkan urang rumah memutuskan menunggu Kartika di rumah sakit.

Besok paginya sekitar pukul delapan, aku telah tiba di rumah sakit dan segera menuju ke ruangan Kartika dirawat. Sementara urang rumah, pulang karena telah menunggu semalaman.

“Eee, telah datang rupanya,” Ia yang tidak lain adalah bu dokter semalaman menawarkan jasa baiknya. “Kartika, lihat itu siapa yang datang,” tambahnya pula.

Kartika pagi itu tampak lebih sehat tersenyum. “Papa, kata bu dokter ini Kartika telah boleh pulang,”

Aku yang telah berdiri di samping Kartika sedang duduk, tersenyum. “Baguslah jika begitu, jangan sakit lagi,” ucapku sambil mengusap ubun-ubun si sulung.

“Tante dokter ini baik sekali Pa, ia juga ikut menunggui Kartika semalaman. Mama ikut terbantu

jadinya,” papar anak sulungku.

Aku hanya bisa tersenyum dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Aku telah duduk di samping Kartika, tanpa sengaja melirik ke  arah bu dokter yang masih ada dalam ruangan itu. Tampaknya perempuan, juga sedang memperhatikan aku itu, buru-buru membuang muka.

“Kenapa tidak pulang ke rumahnya bu dokter? Bukankah pergantian shif kerjanya pukul 7 tadi?” Kataku mencoba bertanya.

Bu dokter tadinya membuang muka itu, mencoba untuk tersenyum. “Iya pagi tadi bisa pulang. Tapi,…”

“Tapi menunggu suami  bu dokter menjemputnya dulu,” Entah kenapa, aku tiba-tiba berani saja bicara selancang itu. Kemudian aku lihat perempuan itu, diam. Lalu menunduk.

Sesaat kemudian ia angkat wajahnya, dan mulai berbicara. “Yach, waktu itu telah terbilang cukup lama. Sekitar 10 tahun yang lalu, sewaktu saya masih bertugas sebagai bidan desa di Kabupaten Solok. Saya hobi koresponden dan bersahabat pena sehingga mempunyai banyak sahabat,” jelas bu dokter itu.

Mendengar penyampaian tersebut, aku langsung termangu. Lalu mencoba mengingat aktivitasku, sekitar 10 tahun ke belakang. Waktu masih remaja yang suka berpetualang bepergian dari satu kota ke kota lain di negeri ini. Termasuk suka menulis cerpen dan berkorespondensi dengan sahabat pena.

“Kenapa bengong, Kartika memanggil itu. Memanggil Papanya, kenapa tidak terdengar,”

Aku langsung gugup dikejutkan seperti itu. Lalu buru-buru memperhatikan Kartika yang bertanya. “Papa, tante dokter ini, suka bercerita,” Mendengar pengakuan sisulung itu aku tersenyum, sekaligus semakin bingung. Apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kenapa ada dokter berprilaku sebaik itu.

“Tentunya lupa dengan saya, ya. Tapi, biarlah. Mungkin karena waktunya telah lama. Papa Kartika ini, namanya Uda Mahmud Amran kan?” bu dokter itu bersuara seperti meralat bicaranya.

Aku semakin tidak mengerti dengan yang terjadi diantara kami dalam ruangan itu. Apalagi sifat pelupa yang aku miliki kumat kembali.  

“Kalau begitu, ini bu dokter Nova. Ia bekerja sebagai bidan desa di Kabupaten Solok. Kita pernah bertemu dulu di puskemas dan di tempat praktek bidan desa.” ujarku mencoba menebak.

Sesaat kemudian aku melihat perempuan berpakaian putih-putih, tak jauh duduk dari aku itu tersenyum. “Maaf, kalau aku telah mengganggu waktunya bu dokter. Sekali lagi minta maaf,”

Waktu aku lihat lagi, rona muka dokter Nova berobah memerah. “Sejak malam tadi dinas, kenapa belum pulang. Atau mau pulang ke rumah setelah ini,”

“Ya, untuk apa cepat-cepat sampai di rumah. Menunggu di rumah hanya Mama, Papa telah meninggal beberapa tahun lalu,”

“Apa tidak kasihan dengan suaminya, ditinggal sendirian sejak malam tadi,” ujarku lagi. Takut pertanyaan aku itu terlalu menyelidik dan membuatnya tersinggung.

Wajah dokter Nova semakin merona merah. Ia mempermainkan kedua jemari tangannya. “Ah, tidak apa-apa. Mungkin Nova terlalu perasa. Nova masih seperti dulu, belum punya siapa-siapa. Belum punya suami,” Bicaranya pelan, langsung terhenti.

Lama wajah dokter, tidak lain bidan desa bernama Nova itu tertunduk. Diam. Nova aku kenal nama dan alamatnya, di sebuah koran mingguan terbitan ibu kota memiliki rubrik sahabat pena. Bidan desa yang aku kenal dan ingin dekat dengannya, bertemu dengan ibu dokter kepala puskesmas dan dibilang calon menantu.

Saat dulu itu aku masih ingat, kami berdua saling berpandangan. Entah menyimpan rasa atau tidak. Lalu kemudian tak pernah bertemu lagi, koresponden terhenti. Sekarang di rumah sakit itu wajah Nova terangkat, raut makanya telah berobah bias.

“Sungguh tidak disangka, Nova akan bertemu dengan Uda Mahmud Amran di rumah sakit ini,”. Perempuan telah menjadi dokter itu diam beberapa jenak. “Ternyata perjalanan waktulah yang mempertemukan kita. Entah kenapa, tak ada lelaki lain di hati ini. Nova masih menunggu,”suara itu hilang bersama embusan angin di luar jendela.

“Jadi Nova masih sendiri dan menunggu?”Tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur di bibirku.

Ingin rasanya aku raih jemari Nova, tapi aku sadar telah menjadi suami orang dan mempunyai anak. Tiba-tiba Kartika dari tadi asyik mempermainkan bonekanya, bertanya.”Kenapa tante dokter menangis?”.*

Penulis Buku Motivasi, Cerpenis, Novelis, Konten Kreator, Youtuber dan Guru*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *