Oleh : Dr. Raudhatul Hidayah, SE., ME., Ak., CA*)
Ketika bencana melanda Sumatera dan sirene ambulans memecah keheningan, empati publik bergerak lebih cepat daripada prosedur. Dalam hitungan jam, para influencer menjadi simpul penggalangan dana. Melalui satu unggahan, jutaan rupiah terkumpul, melampaui kecepatan banyak lembaga formal.
Fenomena ini menandai perubahan lanskap filantropi: dari institusional ke personal, dari terstruktur ke spontan. Namun, justru di titik inilah persoalan akuntabilitas muncul.
Dalam perspektif akuntansi, dana donasi bukan sekadar “uang masuk”. Ia adalah dana titipan (fiduciary fund) yang secara moral dan profesional melekat kewajiban pertanggungjawaban. Setiap rupiah yang diterima mengandung konsekuensi pencatatan, pengendalian, dan pelaporan.
Masalahnya, sebagian influencer tidak beroperasi dalam kerangka sistem akuntansi yang baku. Kadang tidak ada pemisahan rekening pribadi dan dana donasi, tidak ada pencatatan berbasis transaksi, dan jarang tersedia laporan realisasi penggunaan dana. Ketika bukti hanya berupa unggahan media sosial yang bersifat naratif, akuntabilitas menjadi lemah dan sulit diverifikasi.
Padahal, prinsip dasar akuntansi publik, transparansi, akuntabilitas, dan keandalan informasi seharusnya tetap berlaku, meskipun penggalangan dana dilakukan secara personal dan informal.
Dari sisi regulasi, ruang abu-abu masih terbuka lebar. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang memang mengatur penggalangan dana, namun lahir dalam konteks yang jauh dari era media sosial.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Sosial, maupun otoritas pajak belum secara spesifik mengatur mekanisme penggalangan dana berbasis influencer.
Akibatnya, ketika terjadi persoalan, pendekatan hukum sering bersifat reaktif, bukan preventif.
Di sinilah audit menemukan relevansinya. Audit tidak harus dimaknai sebagai proses yang kaku dan mahal. Dalam konteks donasi influencer, audit dapat berbentuk assurance sederhana: verifikasi penerimaan dan penyaluran dana, kecukupan bukti transaksi, serta kesesuaian antara dana yang dihimpun dan yang disalurkan.
Bagi influencer yang bertindak jujur, audit bukan ancaman, melainkan perlindungan. Ia melindungi reputasi, memperkuat legitimasi, dan menjaga kepercayaan publik. Lebih dari itu, audit berfungsi sebagai mekanisme pengendalian agar niat baik tidak terjebak dalam kelalaian administratif yang berpotensi menjadi masalah hukum.
Namun kekhawatiran bahwa audit akan memperlambat bantuan juga patut dipahami. Karena itu, pendekatan yang proporsional menjadi kunci. Transparansi tidak selalu menuntut laporan keuangan kompleks.
Laporan penerimaan dan pengeluaran sederhana, pemisahan rekening, dokumentasi bukti, serta publikasi ringkasan penyaluran dana sudah merupakan praktik akuntabilitas minimum.
Regulasi ke depan seharusnya tidak mematikan empati, melainkan mengarahkan kebaikan. Negara tidak perlu membatasi siapa yang boleh menggalang dana, tetapi perlu menetapkan standar minimum pertanggungjawaban. Kolaborasi antara influencer dan lembaga filantropi resmi dapat menjadi solusi antara kecepatan dan kepatuhan.
Pada akhirnya, isu ini bukan sekadar tentang audit, melainkan tentang tata kelola dana publik di ruang digital. Kepercayaan adalah aset yang tak tercatat dalam laporan posisi keuangan, namun menentukan keberlanjutan gerakan sosial.
Saat bencana memanggil empati, akuntansi dan regulasi seharusnya hadir bukan sebagai penghambat, tetapi sebagai penjaga amanah. []
Staf Pengajar Departemen Akuntansi, FEB Universitas Andalas*)
