Oleh : Annisa Nayla Rahmadhani*)
Ada satu jenis lelah yang tidak selesai hanya dengan tidur. Ia tetap tinggal meski tubuh sudah beristirahat, membuat hati terasa hampa dan pikiran sulit tenang. Lelah ini sering kali kita alami di tengah dunia yang bergerak cepat, di mana tuntutan hidup seolah tidak pernah berhenti dan ada tekanan untuk selalu terlihat kuat.
Kita hidup di era produktivitas, di mana kesibukan sering kali dijadikan ukuran nilai diri. Semakin sibuk seseorang, semakin ia dianggap berhasil. Sayangnya, dalam perlombaan mengejar kesuksesan itu, kesehatan batin sering kali tertinggal jauh di belakang. Banyak orang mampu tersenyum lebar di luar, tetapi diam-diam sedang berjuang sendirian melawan kesunyian di dalam diri.
Di titik inilah, manusia sebenarnya sedang mencari satu hal sederhana namun paling mewah: ketenangan. Hari ini, istilah healing menjadi tren yang sangat digemari. Orang-orang berbondong-bondong mencari ketenangan lewat secangkir kopi, liburan ke tempat jauh, atau sekadar berbelanja barang-barang yang diinginkan untuk mengobati stres.
Namun, benarkah itu solusi yang kita butuhkan? Ketika kelelahan batin datang, banyak orang memilih pelarian sementara. Scrolling media sosial yang penuh warna, hiburan tanpa henti, atau kesibukan baru dijadikan cara untuk menghindari rasa sesak di dalam dada.
Namun, ketenangan semacam ini tidak pernah bertahan lama dan bersifat semu. Setelah semua hiruk pikuk itu selesai, rasa kosong justru sering kali muncul dengan lebih kuat. Hati tetap meronta mencari tempat pulang yang sesungguhnya.
Di sinilah Al-Qur’an sering kali luput dari perhatian kita. Bukan karena ia tidak relevan lagi dengan zaman, tetapi karena ada jarak psikologis yang tanpa sadar kita ciptakan sendiri.
Banyak di antara kita merasa belum cukup baik untuk mendekat kepada Al-Qur’an. Kita merasa terlalu banyak dosa, terlalu jauh dari Tuhan, atau merasa terlalu lalai dalam menjalankan perintah-Nya.
Padahal, Al-Qur’an tidak pernah meminta manusia datang dalam keadaan suci tanpa celah atau tanpa cacat sedikit pun untuk mulai membacanya.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an menjelaskan bahwa wahyu ini tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk hukum. Lebih dari itu, Al-Qur’an adalah penawar kegelisahan jiwa dan dialog sahabat manusia dalam menghadapi kenyataan hidup yang pahit.
Ia berbicara kepada akal, tetapi secara bersamaan menyentuh sisi emosional manusia. Oleh karena itu, satu ayat saja yang dibaca secara perlahan, atau bahkan hanya didengarkan dengan saksama, sering kali mampu menenangkan hati yang sedang tidak nyaman.
Al-Qur’an hadir dengan bahasa yang sangat manusiawi. Ia tidak menghakimi manusia karena ia mengakui
adanya rasa sedih, rasa takut, bahkan keputusasaan yang alami. Jika kita telusuri, kisah para nabi di dalamnya tidak diisi oleh kemenangan semata. Di sana ada air mata, doa-doa panjang yang penuh harap, dan penantian yang melelahkan.
Dari kisah-kisah tersebut, kita belajar bahwa merasa lelah bukanlah tanda kegagalan atau kurangnya iman, melainkan bagian dari perjalanan spiritual manusia menuju kedewasaan. Kelelahan batin yang tidak terobati sering kali berujung pada hilangnya orientasi hidup.
Dalam psikologi, kondisi ini bisa memicu perasaan tidak berdaya yang kronis. Al-Qur’an memberikan terapi berupa pengalihan fokus, dari tekanan dunia yang sempit menuju perspektif akhirat yang luas.
Ia mengingatkan bahwa beban yang kita pikul tidak akan melebihi kapasitas yang kita miliki, sebuah janji Tuhan yang memberikan rasa aman secara psikologis di tengah ketidakpastian dunia.
Dalam konteks kesehatan mental, nilai-nilai Al-Qur’an terasa semakin relevan. Ia mengajarkan kesabaran tanpa harus mematikan perasaan sedih, dan mengajarkan keikhlasan tanpa harus meniadakan usaha. Al-Qur’an menjadi jembatan penting untuk membangun hubungan spiritual yang sehat, di mana manusia merasa tidak sendirian menghadapi masalah.
Zakiah Daradjat menyebutkan bahwa ketenangan batin sangat berkaitan dengan hubungan spiritual yang sehat. Al-Qur’an mengajak kita untuk melepaskan beban yang tidak mampu kita kendalikan sendiri. Ada saatnya manusia perlu berserah diri atau tawakkal.
Berserah bukan berarti menyerah kalah, melainkan karena kita percaya ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mengatur segalanya.
Di Sumatra Barat, filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menguatkan peran Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Ia bukan sekadar teks yang dibaca saat upacara, melainkan kompas mental yang menuntun masyarakatnya untuk tetap teguh di tengah badai ujian hidup, sekaligus pengingat akan hakikat kemanusiaan yang lemah dan butuh pegangan.
Kembali kepada Al-Qur’an bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Kita mengakui bahwa sebagai manusia, kita memang bisa lelah, rapuh, dan terkadang kehilangan arah.
Di tengah dunia yang bising, Al-Qur’an hadir sebagai ruang hening yang menenangkan tempat hati bisa berhenti sejenak.
Dalam pelukan ayat-ayat-Nya, kita tidak hanya menemukan kedamaian, tetapi juga harapan baru untuk kembali melangkah. Seperti yang diungkapkan Komaruddin Hidayat, kebahagiaan sejati lahir ketika manusia memiliki cadangan makna dalam hidupnya.
Al-Qur’an adalah sumber makna yang tidak akan pernah kering untuk digali kapan saja. Pada akhirnya, perjalanan menuju ketenangan bukan tentang seberapa jauh kita pergi meninggalkan masalah, melainkan seberapa dekat kita berani mendekat pada sumber kedamaian itu sendiri.
Al-Qur’an mengundang kita untuk menanggalkan topeng kekuatan yang melelahkan dan menjadi manusia apa adanya di hadapan-Nya. Sebab, hanya dalam kejujuran spiritual itulah, kesembuhan batin yang sejati dapat dimulai.
Mungkin, ketenangan yang selama ini kita cari dengan susah payah di luar sana sebenarnya tidak jauh. Ia sudah lama menunggu untuk kita datangi kembali. Ia ada dalam kedekatan kita dengan Sang Pencipta lewat kalam-Nya, tempat di mana setiap lelah batin menemukan penawarnya dan setiap sesak di dada menemukan ruang untuk bernapas lega. []
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI PIQ Sumatera Barat*)




